Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Fiction’ Category

Pencuri Celana

Tengil.

Itu yang aku tahu untuk cowok macam begini.

Sepanjang siang dia dan temannya yang rupanya sudah saling mengenal, kerja mereka hanya terkekeh. Atau memberikan komentar konyol pada pengajar di depan kelas. Dari logat suara mereka, ada yang dari daerah barat Indonesia, dan ada juga yang dari timur Indonesia. Sebentar-sebentar dia dan temannya tertawa. Satu sama lain saling menimpali, akrab rupanya.

Dan terutama lelaki satu itu.

Dari tadi kertas kecil-kecil yang dia pulung menjadi bola-bola kecil, selalu dilemparnya kepadaku. Kena kepalaku. Kadang masuk ke kerah bajuku. Atau saat aku menoleh, kena juga ke pipiku. Aku hanya melotot, dan mengernyitkan mulutku saking kesal.  Tapi rupanya dia tidak kapok, sambil mengerjakan tugas yaitu melipat kertas membuat kapal-kapal perang dan kapal perusak es, yang nantinya tiap kelompok akan dinilai kapal mana yang layak jual,  masih saja dia menimpuki aku.

Astaga.

***

Karena training ini berlangsung satu minggu dan kami terisolasi di daerah terpencil, mau tak mau kita harus kenal satu sama lain. Tidak terpencil sekali sih, hanya jauh dari kota. Dekat danau dan hutan. Oke, kembali ke definisi awal, sepertinya tempat ini memang terpencil. Banyak tugas yang harus dikerjakan berkelompok, sehingga interaksi satu sama lain menjadi makin intens. Juga dengan cowok tengil bin nyebelin itu.

Namanya Kevin.

Tingginya sedang, dengan kulit coklat. Agak kurus, rambut ikal, mata agak sipit. Ada tahi lalat di sudut kanan atas bibirnya. Secara umum dia tampak biasa. Ramah iya, cenderung hiper aktif dan banyak komentar, kelebihan energi rupanya. Walau tidak cakep seperti anggota boyband Korea, bila tersenyum kadang-kadang dia bisa terlihat sangat menarik. Tarikan bibir dan senyumnya yang seolah geli kadang tampak sensual dengan pandangan matanya yang teduh beralis tebal agak acak-acakan terpeta di wajahnya.

Walau menyebalkan di awal, dia cukup baik kupikir.

Suatu sore selesai kegiatan, kami berjalan ke gedung tempat kami menginap. Hujan mulai turun, dan dia menyampirkan jaketnya ke bahuku.

Lalu kecamnya dengan sadis,

“Pake ini Kaila, bajumu tipis, melotot semua kami nanti lihat baju kamu basah”.

Ucapan terima kasih yang akan kuucapkan kutarik kembali. Ganti dengan bersungut-sungut.

***

Esok harinya di sore yang cerah, kegiatan pelatihan selesai lebih awal.

Aku memutuskan untuk berolahraga. Di tempat ini ada ruang fitness, kolam renang, dan track untuk lari.  Aku ingin mencoba fitness saja. Teman sekamarku setuju. Bersiap kami, handuk kecil, t-shirt, bra untuk olahraga, semua aku siapkan di tas kecil.

Kucari celana pendekku yang aku gantung di jemuran kecil di luar kamar.

Lho kok tidak ada?

Apa aku salah simpan. Bolak-balik kucari lagi. Celana pendek lain masih di laundry.

Mungkin terbawa oleh kamar sebelah, jemuran kami berdekatan.

Kuketuk kamar sebelahku, isinya dua cowok tengil bin nyebelin itu. Mereka berdua kompak, selalu berdua kemana-mana. Seperti sandal jepit. Walau sandal jepit yang jomplang, karena Jason tinggi dari Kevin.

“Hai..” kata Jason ramah.

“sini masuk, kita lagi bahas artikel seru di majalah Tempo”. Katanya sambil menunjukkan majalah tempo yang dibacanya.

“Rupanya bisnis lendir adalah bisnis multi million dollar,  saya dan Kevin lagi berpikir untuk investasi disana”.  Jason nyerocos riang.

“Bisnis lendir apaan sih…” gumamku tidak jelas. Kamar ini kasurnya double, tidak seperti aku dan Dian teman sekamarku. Ranjang kami satu ukuran King, jadi kami tidur sekasur. Agak terganggu juga karena Dian biasanya semalaman bertelepon dengan pacarnya. Bikin aku tidak bisa tidur.

“Ini aku mau cari celana pendek, siapa tau nyasar kebawa kesini..” tanyaku.

Jason tertawa dan menoleh pada Kevin yang secepat kilat sudah naik ke atas tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut sampai leher.

Apa-apaan sih nih orang, pikirku, kelakuannya minus bener.

“Sini sini lihat Kaila, coba tarik tuh selimut” Jason berjalan ke arah tempat tidur dan menarik-narik selimut yang menutupi Kevin.

“Jangan…Jangan…” Kevin menahan selimut dengan kedua tangannya.

Terjadilah adegan tidak penting antara mereka berdua. Saling tarik selimut, sampai akhirnya Kevin menyerah.

Mereka menoleh berdua ke arahku yang sedang bengong.

Selimut sudah tertarik melorot ke lantai.

Lalu kupandang dengan nanar, celana pendekku dipakai olehnya.

Read Full Post »

Cemburu

Bila rindu itu terasa menyayat maka cemburu itu terasa membakar. Bagaikan menelan segumpal api dia merasuk meracun membusuk di dada. 

Aku benci rasa itu, aku benci keadaan yang membuat itu, dan aku benci dia karenanya. Karena cemburu adalah pitam tak berdaya. Terikat oleh banyak batasan, dan lemah tak berdaya ini membuatku marah. 

Aku tak bisa katakan cemburu padanya. Dia akan menunjuk hidungku dan menyodorkan fakta dan logika. Tak ada alasan. Bahkan untuk fakta yang lebih menyakitkan, karena dia telah jadi miliknya secara nyata. Sejak lama.

Aku katakan aku rindu padanya, aku katakan aku memimpikannya, aku katakan jantungku berdegup seiring pikiran tentangnya. 

Dan jawabnya “Aku bersama dia”.

Kututup lembar itu dan aku buang tulisan itu. Dusta di setiap hurufnya. 

Dulu selalu berusaha aku percaya apa yang dia kata, bahwa:

…………………………………………….ruangku khusus ada di hatinya.

 

 

 

Read Full Post »

Menuju Altar

Terdengar suaramu di telepon, terdengar jelas walau melintasi pulau melintasi laut. Melintasi tahun kita tidak bertemu. Seperti biasa kau tanya aku sedang apa. Aku sedang di rumah. Jawabku.

Aku menerima teleponmu sambil menggendong anakku yang kedua. Si sulung menggelayuti kakiku menarik-narik bajuku, di umurnya yang terpaut hanya setahun beberapa bulan dari yang kedua, kasihan rasanya melihat kakinya yang belum kuat benar, masih ingin digendong. Apa daya adiknya sudah lahir menyusul.

Aku akan menikah, katamu.

Oh kapan, tanyaku. Terkejut dan mengingat-ingat kapan kau terakhir menelepon dan bercerita kau telah bertemu seorang gadis manis. Yang  kau tekankan,  dia mirip aku. Percakapan berlanjut kesana dan kemari. Sedikit basa-basi, dan sedikit canda. Obrolan untuk  mengaburkan pedih demi pedih yang datang dengan intensitas seperti gaung, yang makin lama makin menguat, setelah terpantul dari dinding ke dinding di dadaku.

Beberapa jam lagi jawabmu lagi, ini sedang bersiap-siap, berpakaian dan lainnya. Sebentar lagi akan berjanji di depan altar, dimana pengantin baju putihmu menunggu.

Kau katakan doakan aku ya, katamu ringan. Tentu jawabku.

Kilasan ingatan kembali ke saat-saat dimana kau memaksa datang, dengan taksi mencari rumahku, kubawa anakku saat itu baru satu dan kita bertemu di kafe itu. Saat itu kau tanyakan kenapa aku tinggalkan kamu. Akupun tak tahu. Sampai kini bahkan aku tak tahu.

Aku lihat jam di siang itu.

Di jam itu pastilah kau sedang berjanji,

I promise to be true to you in good times and in bad, in sickness and in health. I will love you and honor you all the days of my lifeImage

Read Full Post »

And Time Goes Fly…

Apa itu cinta? Mungkin kita tidak pernah mengerti.

Sudah terlalu banyak cerita, sudah terlalu banyak definisi. Sudah berjuta lagu, sudah berlarik miliyar puisi.

Apakah ini cinta? Kita juga tidak tahu pasti.

Namun rasa ini sudah mengental dan menua. Memabukkan sangat bagai arak usia lama.

Setahun dua tahun.. dan belasan sudah, mungkin melewati puluh atau kah akan melewati abad, saat kita berdua sudah beku dibalik nisan. Entahlah.

Melewati juta tahun cahaya, dari satu bintang pecah ke galaksi lainnya. Mungkinkah kita lewati juga.

Apa artinya satuan jarak, meter ataukah tahun cahaya, toh kita juga tidak pernah berdua di satu atap.

Kau disana dan aku disini. Bertemu untuk sejenak dua jenak, kemudian berlalu lagi.

Dan selalu pernyataan itu kembali, bahwa aku cinta kamu cinta walau jarak tak juga menepi.

Mungkin kau tak ingat

Di pantai itu kita pernah berjanji, suatu saat kita akan kembali.

Read Full Post »

« Newer Posts