Terdengar suaramu di telepon, terdengar jelas walau melintasi pulau melintasi laut. Melintasi tahun kita tidak bertemu. Seperti biasa kau tanya aku sedang apa. Aku sedang di rumah. Jawabku.
Aku menerima teleponmu sambil menggendong anakku yang kedua. Si sulung menggelayuti kakiku menarik-narik bajuku, di umurnya yang terpaut hanya setahun beberapa bulan dari yang kedua, kasihan rasanya melihat kakinya yang belum kuat benar, masih ingin digendong. Apa daya adiknya sudah lahir menyusul.
Aku akan menikah, katamu.
Oh kapan, tanyaku. Terkejut dan mengingat-ingat kapan kau terakhir menelepon dan bercerita kau telah bertemu seorang gadis manis. Yang kau tekankan, dia mirip aku. Percakapan berlanjut kesana dan kemari. Sedikit basa-basi, dan sedikit canda. Obrolan untuk mengaburkan pedih demi pedih yang datang dengan intensitas seperti gaung, yang makin lama makin menguat, setelah terpantul dari dinding ke dinding di dadaku.
Beberapa jam lagi jawabmu lagi, ini sedang bersiap-siap, berpakaian dan lainnya. Sebentar lagi akan berjanji di depan altar, dimana pengantin baju putihmu menunggu.
Kau katakan doakan aku ya, katamu ringan. Tentu jawabku.
Kilasan ingatan kembali ke saat-saat dimana kau memaksa datang, dengan taksi mencari rumahku, kubawa anakku saat itu baru satu dan kita bertemu di kafe itu. Saat itu kau tanyakan kenapa aku tinggalkan kamu. Akupun tak tahu. Sampai kini bahkan aku tak tahu.
Aku lihat jam di siang itu.
Di jam itu pastilah kau sedang berjanji,
I promise to be true to you in good times and in bad, in sickness and in health. I will love you and honor you all the days of my life
Leave a Reply