senja hari itu tampak menyemburat di langit barat. kemerahan bersaput jingga. seulas awan tampak dalam goresan panjang di langit sore, warnanya bergradasi karena gemilang cahaya mentari. layaknya coretan kuas atau bahkan selendang bidadari yang berkelebat panjang di angkasa.
udara mendingin di bandung utara. kafe bernuansa etinik dengan bangunan bambu dan kayu yang berada di keteduhan pepohonan raksasa usia ratusan ini kali sepi. lampu-lampu mulai dinyalakan, walau masih sinar matahari masih cukup terang. tak banyak suara terdengar hanya sesekali menggaung percakapan rendah dari bangunan bambu kecil lainnya.
Aku memandang segelas tinggi air jeruk yang tadi kupesan. ada payung yang menancap di seiris nanas dan buah ceri merah menggantung di bibir gelas. aku suka mengulum buah ceri. menggigitnya sedikit-sedikit dalam mulut. mencecap rasa maraschino yang telah terserap dalam setiap porinya. lalu menyisakan batangnya di dalam mulut, ada temanku mengatakan, bila aku bisa membuat simpul dengan lidahku di dalam mulut pada batang ceri itu, artinya aku jago french kiss. Aku tak pernah bisa. Mungkin aku memang tidak mahir berciuman.
Sebenarnya aku tidak ingin menyuapkan makanan apapun ke dalam mulutku. Tapi karena sedari tadi tingkahmu aneh, akhirnya kupesan juga nasi goreng. sekedar menghilangkan mati gaya. biasanya kau selalu ceria. banyak omong dan banyak cerita. hari ini kau diam. banyak berpikir. dan tidak asyik sama sekali.
Kopi hitam pekatmu pun tidak kau hirup. Kau mengusap rambut beberapa kali. Aku menatapmu dalam-dalam. Mau ngomong apa sih sebenarnya? Tanyaku dalam hati. Sebatang rokok yang sebenarnya seharusnya kau hindari karena aku tahu kau sedang mengikuti latihan intensif untuk pendakian kau hisap dengan gelisah.
Tak sadar kuikuti pandanganmu ke jari-jarimu. Jarimu yang kuat dan lentur. Mendaki tebing tinggi mungkin yang membuatnya demikian. Kemeja kotak-kotak yang kau lipat tangannya sampai ke batas lengan, tampak ngepas di lingkar lengan. Kau tidak tampak berotot. Tapi terlihat liat dan lentur. Namun aku tahu dibalik kemejamu otot perutmu terbentuk dengan indahnya. Aku menggumam tidak jelas oleh pikiranku sendiri.
“Kyra….” katamu tiba-tiba memecah diam.
“Hmm..” aku menjawabnya, melanjutkan gumam yang tadi terdengungkan.
“Aku akan pergi minggu depan”, lanjutmu, tanganmu memainkan Zippo. Bunyi tringnya menggangguku.
“Latihan akan lanjut di Cartenz”, lalu kau diam lagi. Aku sudah tahu bahwa kau akan pergi ke Himalaya, ke puncak terkejam dan tertinggi. Sagarmatha namanya. Nama lain untuk Mount Everest. Namamu sudah lama tercantum sebagai salah satu anggota tim utama. Latihan yang berat dan intensif sudah berlangsung berbulan-bulan lamanya.
“Oh ya..” kataku, tiba-tiba aku merasa antusias. Aku selalu senang mendengar ceritanya. Walau pengalamanku dalam mendaki bisa dibilang nihil. Satu bukitpun tak kuat kudaki. Setengah perjalanan aku malah digendong olehmu. Kataku padamu saat itu, anggap saja kau latihan beban ya sayang. Bisikku sambil nyengir iblis.
Belum sempat aku bertanya ini itu, Adrian menatapku lagi. Aku terdiam. Ada apa gerangan? Biasanya kau mesra, ceria, penuh canda. Kini kau muram seperti bulan tertutup awan cumulonimbus. Aku yang hendak berceloteh, jadi tidak enak hati.
Gelas berisi air jerukku dan nasi gorengku belum kusentuh benar. Aku jadi ikut gelisah dengan sikapmu.
“Kyra..aku ingin putus” tiba-tiba kau berkata.
“Huh?!” Aku terkaget. Hening. Kenapa Adrian? Kenapa? Apa salahku? Mengapa begitu tiba-tiba. Mengapa begitu mudah bagi kamu? Sejenak aku merasakan marah dan penasaran menyeruak. Namun semua belum terucap dari bibirku. Kusembunyikan getar di bibirku, aku menggigit lidah. dan rasanya ada harga diriku yang terkoyak. Aku belum pernah diputuskan oleh cowok sebelumnya. Waduh ini rekor pertamaku jadinya.
“Aku rasa kita tidak memiliki kecocokan. Aku pendaki, hidupku di hutan, di gunung, di tebing. Duniaku berbeda dengan duniamu. Kau bekerja eight to five, teman-temanmu juga sepertimu, kehidupanmu berbeda dengan kehidupanku, yang keras dan menantang maut. Kau layak mendapatkan yang lebih baik daripada lelaki seperti aku”.
Klise, pikirku. Namun apapun alasannya, dinyatakan putus ya putus. Artinya cuma satu. Dia tidak ingin lagi denganku. Itu kesimpulanku dalam pikiran-pikiran yang berkelabat bagai lampu kilat.
“Ok..” Jawabku tenang. Kutentang matanya dengan berani. Walu tenggorokanku rasa tercekat dan mataku terasa panas. Kuumpat diriku sendiri. Awas kalau aku menangis. Tidak akan aku menangis di depan laki-laki untuk urusan begini.
“Cuma ok?” Tanyanya seolah keheranan berat.
“Iya, Okay”. Aku mengangkat bahuku.
Adrian terhenyak. Kenapa aku tak tahu. Dan aku tidak ambil pusing. Lalu dengan tenang aku melanjutkan,
“Aku mau menghabiskan makananku dulu ya, sebelum pulang. Aku lapar”.
Dengan tenang aku menikmati nasi gorengku sampai lenyap tak berisa, lalu kuminum air jeruk segar sampai habis. Tak kuperhatikan dia depanku. Lalu setelah urusan bayar membayar selesai, aku beranjak ke mobilku. Lalu pergi tanpa menoleh lagi.
***
Diputusin itu beda efeknya dengan mutusin. Sama-sama engga enak. Tapi lebih bikin gondok yang diputusin. Ada rasa tidak terima. Ada rasa penasaran. Ada rasa tak berdaya. Kalau mutusin kan paling-paling yang dirasakan paling nyesek ya merasa bersalahnya. Tapi kalau diputusin? Ngekk. Sejuta tanya itu muter-muter di kepala. Juga ada hal-hal yang berkaitan dengan keinginan untuk meminta grasi, amnesti dan abolisi. Abolisi. Bukan aborsi.
Tapi tentu saja, itu tidak kulakukan. Lidahku masih kelu dan kaku seperti baru mengunyah daun Dieffenbachia. Sambil melangkah berusaha biasa-biasa tentunya, aku masuk ke dalam mobilku. Menyetirnya menuruni jalanan dari kafe ke arah jalan besar. Sepanjang jalan aku memutar balik sekiranya kesalahan apa yang kuperbuat. Mataku nanar menatap jalanan di depan. Berusaha waras berkendara dengan kecepatan normal.
Handphoneku berbunyi. Adrian. Tanganku gemetar saat mengangkatnya. Kupinggirkan mobilku.
“Ya, ada apa?” tanyaku masih dengan lidah yang kelu. Kuharap terdengar biasa saja olehnya.
“aku antar kamu pulang ya…?” Suaramu terdengar memaksa.
“Lho gimana cara? terus mobil kamu gimana?” maksudnya apa sih nih bocah, bikin aku pusing saja.
“kamu belum jauh kan? Ya udah tunggu deh, aku masih lihat mobilmu. Aku susul kesitu”
“Yaudah” jawabku.
Kisah yang menarik..
Terima kasih sudah mampir