Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘fiksi’

Lost in Translation dan Foto

Siang-siang bolong sedang berpikir setengah melamun untuk membuat konsep surat, Kevin menelepon. Seperti biasa tanpa basa-basi.

“Eh Kyra, dengarkan baik-baik ya…aku punya buku baru..”
“Buku apaan?”

Tumben banget Kevin baca buku. Sejauh dan seingat aku dia tidak suka baca buku apapun, buku terakhir yang dia baca dan itupun dia kasihkan buat kubaca berjudul “CARA MEMBACA SIFAT DARI WAJAH DAN TAHI LALAT”. Yang menurut dia itu buku yang bagus banget.

“Buku lelucon. Asli lucuuu banget!” katanya sambil tertawa geli sendiri.

“Aku bacakan ya? Dengerin!”, lanjut Kevin, terdengar bunyi kertas buku dibuka-buka. Lalu dia membacakan lelucon-lelucon berbahasa Manado. Oh ya Kevin ini memang suku Manado. Nama belakangnya adalah Kevin Rorimpandey. Manado asli. Kalau tidak salah dia pernah cerita bapaknya dari Sangir. Yang aku tahu dari buku IPS jaman SD banyak penduduknya jadi pelaut. Aku pernah bilang mungkin saja dia imigran dari Philipinna.

Dia membacakan sekitar belasan lelucon berbahasa Manado, yang mana dia baca sendiri, lalu ketawa sendiri. Aku sih mendengarkan saja sambil kadang ikut tertawa, padahal tidak mengerti. Sesekali menanyakan arti kata ini itu. Ini jam kerja loh, dan dia membaca buku lelucon ini lama sekali. Setelah puas membaca dan tertawa, kebanyakan dia yang tertawa dan aku sih mendengar sambil bengong. Lalu dia bilang,

“Udah ya..”, lalu menutup telepon.

Lain waktu aku iseng meneleponnya dan menceritakan lelucon bahasa Sunda. Menurutku sih lucu banget. Kevin tidak terdengar bersuara, apalagi tertawa. Lalu dia bilang,

“Kok engga lucu?”

***

Di suatu siang di waktu lainnya. Kami sedang duduk-duduk nonton TV. Acaranya absurd. Tapi Kevin suka. Itu tuh reality show Jepang, Benteng Takeshi. Dan dia tertawa sampai guling-guling menonton acara itu. Aku sih ikut menonton saja. Kalau menonton TV Kevin menguasai remote. Dan dia suka nonton acara lawak semacam stand up comedy Indonesia yang menurut saya tidak lucu. Kevin terus menonton walau tidak tertawa. Pernah aku tanya, kalau engga lucu ngapain ditonton? Dia jawab, ini lagi cari lucunya dimana.

Siang ini karena dia asik sendiri menonton akhirnya aku membaca buku, tapi Kevin terus mengajakku nonton. Dia engga mau seru sendiri rupanya. Akhirnya aku meletakkan buku dan ikut nonton. Aku bilang pada Kevin yang duduk sebelahku agak ke depan,

“Pantatmu tepos”

“Oh ya?”

“iya, rata banget”.

“Masa sih? Coba kau foto”

“Hah?”

Lalu tanpa basa basi dia melorotkan celananya membelakangiku.

“Foto coba, aku ingin lihat”

Ya sudah aku foto saja dengan kamera handphoneku. Kevin mengenakan celananya kembali.

“Tuh lihat, pantatmu rata”, kataku datar.

“Engga terlalu ah, lumayan”  katanya sambil menatap lekat-lekat foto yang sama sekali jauh dari estetika tersebut. Lalu ujarnya,

“Hapus ah..”

“Iya lah aku hapus. Ngapain simpan foto beginian. Mending kalau mirip pantat Mel Gibson jaman lagi jaya-jayanya. Dia punya sih kencang ketat dan padat!”

Kataku sambil menghapus foto itu di handphoneku.

***

Aku sampai pada tahap dimana aku tidak tahu alasan apa yang membuat aku begitu mencintai Kevin. Dalam hal menyebalkan dia super menyebalkan. Dalam hal pelupa, dia juaranya. Dan dia juga tidak pernah setia. Yang kepergok saja banyak, apalagi yang tidak. Ada yang aneh dengan mekanisme cinta. Ada yang membuat aku selalu kembali padanya, memikirkannya, dan merasa sebagian diriku ada padanya, dan dia juga ada padaku.

Hal termanis yang pernah dia bilang padaku adalah bahwa selalu ada ruang khusus di hatinya untuk aku. Lumayan manis ya, mengingat orangnya sepertu itu. Tapi pernah juga dia bilang, dia tidak tahu kenapa dia mencintaiku, mungkin karena sudah kelamaan, katanya. Bahkan terakhir dia pernah bilang, dia selalu sayang padaku, tapi sayang yang sudah berbeda dengan dulu. Mungkin maksudnya bukan sayang dan cinta yang menggebu. Jenis yang sepertinya, bisa ketemu ya sukur, engga juga engga apa-apa.

Read Full Post »

Bajingan yang Jujur

Untuk Dodi, yang ini tidak perlu ditebak..

Suatu hari aku pernah bertanya pada dia, di suatu pagi yang dimulai dengan telepon jarak jauh dengan obrolan yang absurd seperti biasa, karena biasanya satu jam obrolan kita, 99,9% adalah tidak penting,

“Kevin, aku mau tanya…” kataku seserius mungkin sambil bersembunyi di antara tumpukan kardus di gudang, sebelah ruangan kerjaku. Biasanya aku nyumput disitu kalau teleponan sama dia.

“Apakah kamu bakalan tetap sayang sama aku, sampai aku nenek-nenek nanti?”

Hening sebentar,

“Tapi kan Kyra, kamu juga sekarang udah kayak nenek-nenek”

“Harus ya, untuk selalu bikin aku kesal?”

“HAHAHAHA…”

Hari lainnya tidak lama setelah itu, telepon pagi harinya saat aku masih menyetir menuju kantor, pakai earphone di telinga sebelah.

“Aku lelah Kyra..”, katanya.

“Soal kerjaan?”

“Iya”

“Oh begitu..”, kata “seperti itu” belum dipopulerkan Syahrini pada saat itu. Jadi aku menjawab oh begitu.

Aku tidak tanya detail. Nanti panjang. Menjabat di perusahaan dengan status senior management mungkin kadang-kadang melelahkan ya? Entahlah, aku sih belum nyoba,  soalnya sampai sekarang masih di posisi piramida bawah.  Lanjutnya,

” Hei, Kyra,  gimana ya kalau aku jadi gigolo? Laku engga ya?”

“Hah, siapa yang mau?, ibu-ibu PER*******?” aku menyebutkan satu organisasi istri-istri karyawan yang ngeheits banget dengan kegiatan sosialnya.

“Lumayan kan bayarannya..”

“Lumayan kalau ada yang mau booking, tapi mengingat bodi kamu sekarang, kayaknya yang harus duluan dilakukan ya ngurusin badan dulu, stamina..ingat stamina, kamu kan jarang olahraga?”

“Kamu mau jadi mucikari saya?”

“Berapa bayarannya?”

“Kayak RA tuh”

“Siapa RA?”

“Kamu gak pernah baca berita ya. Itu mucikari online..”

“Tapi aku gak yakin kamu ada yang mau bayar…meragukan soalnya, fitness dulu gih, tapi bolehlah 80%”

“Gede banget..ga bener ah pembagian komisinya”

“Resikonya juga gede..”

Demikianlah wacana gigolo mucikari yang aku kira gara-gara otaknya rada gegar karena kebanyakan meeting.

***

Kalau ada yang berpendapat Kevin tidak bisa atau jarang berkata-kata romantis, itu benar adanya. Jangan pernah diharapkan. Boro-boro kata-kata romantis, mengingat hari ulang tahunku saja dia selalu gagal. Dan ini sudah berlangsung selama 18 tahun. Sekalipun dia tidak bisa memberi selamat di hari yang benar. Bahkan dia selalu menambah tahun lahirku dua tahun lebih tua. Dan dia sudah cukup bangga bisa mengingat bulan lahirku saja.

Bulan kemarin, tumben banget pas Kevin meneleponku dia bilang,

“Hayoo…minggu depan ulang tahun ya?”

“Tumben, inget” kataku dengan nada judes.

“Ingat dong..” katanya ceria.

Rasanya sih aku engga percaya dia bakal ingat. Berani bertaruh deh. Cuma siapa juga yang bisa diajak taruhan beginian.

Pas hari H-nya, aku setengah menunggu setengah berharap dia menelepon. Tapi seperti dugaanku, nihil. Sebel sih, tapi kan sudah biasa. Tengah malam whatsappku berdenting, kebetulan aku belum tidur. Pas aku baca tulisannya,

Aku lagi engga enak badan.

Ingin sih menelepon dan menanyakan, sakit apa. And so on and so on. Cuma gimana yah… agak kesal sih. Pas sakit baru deh ingat sama aku. Dari tadi kemana aja?.

Besoknya masih tidak ada ucapan, boro-boro. Siangnya ada whatsapp message lagi,

Aku masih sakit.

Aku jawab aja semoga cepat sembuh, cuma bisa mendoakan.

Iya lah, jaraknya ribuan kilometer dari tempatku tinggal, walaupun ingin tentu saja aku engga bisa antar dia ke dokter, menempelkan kompres di keningnya, memberi obat, dan menungguinya kalau ngigau.  Seumur aku kenal dia, tidak pernah aku berada di kota yang sama dengannya. Jarak terdekat yang pernah terjadi masih sekitar 300 km, dan disaat itu aku dan dia juga lagi tidak dalam kondisi clbk. Pernah ada tahun-tahun dimana aku jarang kontak, seingatku sesekali sih masih, itupun dia menginterogasi aku pacaran dengan siapa dan entah bagaimana dia berhasil memantau detail percakapanku di telepon. Dan aku kesal karenanya.

Hari lebaran tiba, yang berjarak sekitar 2 hari setelah aku ulang tahun.

Malam lebaran jam 2 pagi, Kevin mengirim ucapan mohon maaf lahir batin dan etc, dan tidak aku jawab. Aku kesal. Sebetulnya itu cukup manis, mengingat dia selalu jadi orang pertama yang mengucapkan Minal Aidin Wal Faidzin, sejak bertahun-tahun lalu. Sebelum puasa kemarin pun cuma dia yang menelepon dan mengucapkan selamat berpuasa di bulan Ramadhan, dan hari-hari berikutnya dia mengecek apakah aku puasa atau tidak. Dan ini manis, karena dia Kristen.

Jam 6 pagi dia menelepon.  Aku sedang siap-siap akan shalat Ied. Sedang wudhu. Aku biarkan.

Dalam hati. Iyaaa…aku maapin.

di Line dia mengirim lagi ucapan selamat Lebaran. Aku jadi merasa jahat. Sepertinya ucapan standar yang broadcast itu, tapi kemudian dia mengirim lagi yang lebih personal. Total sudah 3 kali kirim ucapan lebaran.

Jam 9 pagi dia menelepon. Ya sudah aku angkat deh.

“Kyra, maafin aku ya..selamat lebaran..etc etc..etc..”

Aku hanya menjawab,

“sama-sama”

Kemudian hening. Kevin pasti tahu aku jengkel dan kesal. Tapi dia tidak bertanya apapun.

“Sudah ya..” katanya.

Aku menutup telepon.

Jam dua siang aku merasa jahat sekali pada Kevin. Bukan salahnya kalau dia amnesia soal ulang tahunku, memang rupanya ada bagian di otak dia yang engga beres dalam mengingat tanggal lahir. Sedih sih, karena mungkin buat dia ulangtahunku engga penting. Tapi kan selama ini juga aku tidak menganggap ulang tahun itu penting. Dan hei, sejak kapan aku bisa ingat tanggal ulang tahun teman-temanku? Aku juga pikun.

Akhirnya aku menelepon,  tengsin sih. Tapi ya sudahlah.

“Hei..tadi kamu menelepon ya? Ada misscalled..”, kataku bohong. Misscallednya kan tadi pagi.

“engga kok..oh itu tadi pagi..”

“minal aidin walfaidzin”, katanya.

“iya..dimaapin! lagian dari tadi udah ngucapin melulu!”

“biar afdol”

“kebanyakan! ntar jadi hilang maknanya”

“abis marah melulu”, katanya.

“udah makan ketupat?”

“udah”

“udah makan opor ayam?”

“udah”

“aku ngantuk sekali..semalaman jaga posko siaga lebaran..” katanya.

“pantas malam-malam bisa kirim-kirim pesan, biasanya tidur”

“kamu kesal ya sama aku?”

“enggak..”

“sudahlah Kyra jangan boong, aku tuh tau banget kamu lagi kesal, lagi marah, lagi senang, dari nada suara kamu saja..”

“iya kesal”

“kenapa?”

“kamu amnesia…ngeselin banget, masa seumur-umur kamu tuh engga pernah ingat tanggal lahir saya??, waktu kamu ulang tahun kan kamu juga marah waktu aku engga ucapin selamat, aku ingat banget, kamu bilang aku jahat! orang lain saja ingat”, kataku nyerocos seperti senapan mesin.

“Loh emang kamu kapan ulang tahun?”

“kemarin, tanggal 15!”

“lah baru kelewat 2 hari aja ngambek, ya sudah selamat ulang tahun!”

“ya ga bisa gitu dong! engga sah..”

“aku pikir tanggal 27 Juli!”

“itu tanggal lahir siapa? pacar kamu yang mana?”

“pacar…..??”

“iya, ngarang mulu nih..tanggal lahir siapa abisnya?”

“loh masih bagus kan aku ingat bulan? maklumin dong sekarang kan aku sudah tua, sudah 45 tahun!”

“umur kamu kan belum 45 tahun!”

“iya kan dibulatkan”

“jauh sekali pembulatannya”

“Kan dibulatkan ke atas!”

“ya ga gitu dong metode pembulatan!, ada aturannya, kamu kayak bukan orang keuangan saja!”

“Bagus kan dibulatkan ke atas, aku baik artinya”

“tauk ah..emang kamu ngeselin….”

“hehehe..udah ya..mau bobo”

“Gih..”

Jadi begitu lah Kevin. Menyebalkan kan? Di hari ulang tahunnya awal tahun ini aku memang sengaja tidak memberi ucapan selamat. Ngetes ceritanya. Padahal aku ingat. Ingat banget lah, PIN atmku kan pakai tanggal lahir dia.

Siangnya di Line, dia kirim pesan.  Ini kutipannya, tanpa balon-balon. Udah dihapus soalnya. Jadi no screenshoot ya

Kamu jahat, Nuy aja ingat.

Aku jawab,

Jahat apaan?

Pokoknya jahat…

Ooooohhh…. ulang tahun ya? Oke deh…selamat ya!

Taukkk ahh..

Nah gitu deh. Dia sendiri mau diucapin selamat ulang tahun kan?

Dan kemarin aku nelepon Kevin.

“Heyy…sekarang kan tanggal 27”, kataku.

“trus?”

“kamu kok engga ngucapin selamat ulang tahun?”

“loh kan udah ulang  tahunnya?”

“tapi kan kamu nganggap aku ultah tanggal 27! kok tetap aja engga ngucapin selamat?”

“tapi kan aku ingat bulan! Juli! aku ingat kok! lahir tahun 72!”

“astaga! kenapa aku tua sekali?”

“ya sudah, 78!”

“Udah lah..sekarang ga penting deh kamu mau anggap aku lahir tahun berapa aja, tanggal berapa aja, TERSERAH! yang penting mana kadonya?”

Kevin tertawa…

“Aku mau kado aja!”

“Tapi aku belum ke Singapore!”

“apa hubungannya?”

“kata kamu kan kalau aku ke Singapore, kamu mau doakan aku menang judi, jadi bisa beliin handphone”

“engga..aku ga mau nunggu kamu ke Singapore, lagian dosa ah judi, duitnya gak halal!”

“yasudah,..mau handphone apa?”

“ES ENAM!”

“Ebuset..handphone cina aja ya?”

“loh kok handphone cina..?”

“bagus tau..udah 4G!”

“ok tapi sama gear bandnya!”

“engga bisa, kan ga masuk perjanjian. mintanya kan handphone, bukan seperangkat handphone plus gear band!”

“tapi aku mau gear band!”

“Ya sudah buat entar ulang tahun di tahun depan ya! entar hadiahnya gear band!”

“kok kado dicicil sih!”

Kevin tertawa.

Kevin, suatu hari akan kutulis buku. Untukmu. Hadiah ulang tahun.

Read Full Post »

Perempuan Lain

Perempuan lain itu kerap membuatku habis pikir. Kadang marah tak kunjung padam saat aku terlambat membalas pesan (karena meeting dan diskusi seharian) -lagipula bila penting kan dia selalu bisa meneleponku. Kadang bisa satu minggu atau lebih dia hilang tanpa pesan. Tidak ada pesan apalagi telepon, pesanku hanya mendapat notifikasi telah dibaca tanpa balasan. Lalu yang lebih parah kadang dia menghapus accountnya.

Perempuan lain itu tidaklah begitu cantik, dan untuk ini juga aku tidak habis pikir. Dan dia tidak lagi muda. Dia sebaya denganku dengan perbedaan satu tahun saja. Tubuhnya sudah melar tak lagi kencang, dagunya mulai menunjukkan lipatan, dan pinggangnya longgar. Payudaranya yang dulu menantang kini nampak enggan menentang. Walau aku belum kehilangan minat kepada keduanya. Bagian tubuhnya ini adalah favoritku. Matanya masih melirik galak, dan bibirnya masih dengan tarikan tipis kalau dia sedang jengkel, atau maju ke depan kalau sedang kesal. Ini juga yang membuatku kerap terbahak.

Perempuan lainku ini dengan dunianya sendiri, yang kadang beririsan denganku kadang tidak. Dia dengan anak-anak dan suami, pekerjaannya, keluarga, rumahnya dan kehidupannya yang terpisah denganku dan juga kotaku. Perempuan lainku bertemu denganku tak tentu. Kadang semisal komet yang melewat cepat, sehingga bahkan tidak sempat kulihat, kadang hitungan jam saja kucuri waktu di hotel itu saat aku bisa melarikan diri dari rapat. Bisa juga saat ada kesempatan beberapa malam dia ada dalam pelukan.

Perempuan lainku.

Perempuanku. Dalam diriku kucamkan dia milikku, aku menguasai dia sebagai teritoriku, dan dia bersama lelaki lain hanya karena aku menitipkan jasadnya. Dia punyaku, puncak ekstasi dia hanya bisa dilakukan olehku karena hanya aku yang tahu caranya memasuki relungnya yang terdalam dengan metode yang hanya aku yang punya. Walau untuk ini saat kunyatakan (bukan kutanyakan) dia tertawa dan berkata, “Sok tahu, kamu”. Atau kali lain dia katakan, “Pede banget lu”.

Ya aku memang percaya diri. Karena perempuan lain itu bagian dari diriku. Aku sendiri tidak memiliki untuk jawaban kenapa. Kasihan, cinta, sayang, bukan sesuatu hal yang dapat kumengerti seperti perkalian. Seperti halnya ini perempuan lainku pernah tanyakan, kujawab, “Ini sesuatu yang tak dapat kujelaskan”.

Perempuan lainku tidak pernah bertanya tentang istriku. Kehidupanku dengan keluargaku, atau rekan-rekan lain yang pribadi. Aku yang sering bertanya padanya, terutama tentang hal yang satu itu. Karena dalam diriku sebenarnya, menggelegak kebencian itu. Aku benci pesaing. Seperti halnya pejantan alpha, aku tidak rela betinaku dengan pejantan lain.

Perempuan lainku menarikku seperti gravitasi, aku masih saja terus memutarinya. Pasang dan surut bagai gelombang, ada dan tidak ada, pertemuan tanpa pertemuan, namun masih saja tali tak terlihat itu mengikat.

Perempuan lain.

Read Full Post »

Seperti Efek Dieffenbachia

Dieffenbachia_floursenja hari itu tampak menyemburat di langit barat. kemerahan bersaput jingga. seulas awan tampak dalam goresan panjang di langit sore, warnanya bergradasi karena gemilang cahaya mentari. layaknya coretan kuas atau bahkan selendang bidadari yang berkelebat panjang di angkasa.

udara mendingin di bandung utara. kafe  bernuansa etinik dengan bangunan bambu dan kayu yang berada di keteduhan pepohonan raksasa usia ratusan ini kali sepi. lampu-lampu mulai dinyalakan, walau masih sinar matahari masih cukup terang. tak banyak suara terdengar hanya sesekali menggaung percakapan rendah dari bangunan bambu kecil lainnya. (more…)

Read Full Post »

Fiksi: Telepon Tengah Malam

1309657253800_f_largeJadi hari ini aku merasa kurang tidur.

Kutatap layar notebookku dan melihat angka-angka disana dengan mata yang terasa buram dan berair.

Jam tidurku memang seperti anak kecil. Aku harus pergi tidur paling lambat jam 10. Kadang malah sudah siap-siap tidur dari jam 8 atau jam 9 malam.

Kemarin pulang kerja, aku mampir ke tempat gym dimana aku menjadi member disana. Mengikuti kelas Yoga. Setelah selesai yoga, aku ingin berkeringat sehingga melanjutkan dengan treadmill.

Pulang ke rumah aku lelah. Mandi dan sedikit makan, menemani anakku belajar lalu tidur.

Tidur manis dengan selimut dan AC yang diset dingin sekali. Betapa nyaman kan? Aku sudah bersiap-siap mimpi bertemu Adam Levine dan siapapun cowok ganteng dengan dada berbulu yang rapi. Setidaknya mimpi model begini dapat diraih dengan persiapan tidur yang baik kan? (more…)

Read Full Post »

Au Milieu

Aku duduk di sofa lobby itu. Cuaca di luar mendung dan kelam di sore ini. Angin bertiup lirih menggoyang daun-daun di pohon. Mencoba merontokkan dedaunan yang sudah berwarna kuning, perunggu, kemeraham dan coklat. Terlihat dari kaca besar sekali yang membatasi ruang ini dari pepohonan.

Kumain-mainkan rokokku yang baru kuambil dari saku. Bungkusnya agak penyok karena saku yang melipat akibat posisi dudukku yang seenaknya. Kugapai ransel lusuhku mencari pemantik kesayangan hadiah dari teman bertuliskan Hardrock Cairo.

(more…)

Read Full Post »

%d bloggers like this: