Anak saya yang perempuan suatu hari merengek pada saya. Karena minggu depan ada jadwal dari sekolahnya untuk bermain dan (katanya) belajar di kidzania, Jakarta. Ia ingin saya ikut dengannya, bersama rombongan ibu-ibu yang baik dan normal lainnya. Naik bis.
Saya meng-iyakan. Dikarenakan ada kecemasan terjadi post trauma pada anak saya kalau sudah dewasa nanti. Gimana coba ntar kalau dia cerita-cerita kalau ibunya waktu dia kecil tidak pernah antar piknik, outbond, ambilin rapor, ikut rapat orang tua murid, dan selalu pulang kerja malam hari setiap hari 5 hari dalam seminggu dan pada hari sabtu minggu selalu sibuk… Tidur.
Bagaimana kalau ceritanya dibumbui dengan saya bahkan tidak memberinya ASI ekslusif selama 6 bulan sebagaimana dianjurkan. Gimana coba kalau begitu.
Nah untuk menghindari anggapan mengerikan di atas, maka, voila inilah saya. Ikut dengan rombongan ibu-ibu di bis. Pakai celana jins, kemeja flanel, ransel berisi air mineral, selimut tipis dan baju ganti. Tidak lupa galaxy note dan bb, kalau-kalau mati gaya di bis.
Sepertinya hari itu dimulai dengan salah. Diawali dengan malas bangun, malas mandi, dan teh kotak yang ketinggalan. Bus untuk rombongan ibu-ibu pengantar beda dengan rombongan anak. Saya agak terlambat datang sehingga bis sudah penuh sesak. Lho saya duduk dimana dong? Kan udah bayar. Rupanya banyak ibu membawa balita dan bahkan toddlernya. Membuat bis penuh daripada yang seharusnya. Akhirnya saya duduk di bangku paling belakang. Terhimpit ketiak dan seorang ibu yang memangku anak umur setahun.
Perjalanan dimulai. Berisiknya bukan main. Dan ibu-ibu mulai makan. Banyak sekali. Kerupuk, keripik, gorengan, nasi uduk semur jengkol dan entahlah. Lalu dimulailah musik itu. Keras sekali disetel. Saya mengutuki supir bis. Curiga dia tidak punya hati nurani. Lagunya dangdut koplo. Terhimpit dan tak berkutik, saya bahkan tidak bisa membuka gadget saya. Rasanya mental saya mulai melemah saat lagu dangdut menyanyikan lirik “abang berkumis kiwis kuwis yang ceriwis manis was wus wis….”. Andaikan saya diuji tes Roscharch inkblot, pasti hasilnya adalah jiwa yang merana.
Saya memikirkan Dalai Lama. Saya nemikirkan perdamaian dunia dan tempat-tempat bahagia. Lalu Saya memikirkan tubuh avatar saya di bulan Pandora. Saya terbang melewati mountain Halelujah dibonceng Toruk Makto. Indah.
Mimpi saya berakhir. Anak kecil sebelah saya mulai meraung dan menendang. Dia tak mau diam. Ia bernama Michael Owen. M i c h a e l O w e n?? Tidak salah? Tidakkah seharusnya dia bernama Asep Ujang Saepudin? Lagi pula siapa sih Michael Owen? Temannya David Beckham kan? Suami Victoria yang Syahrini kecentilan blingsatan waktu deket-deket dia?.
Bukan saya sensi soal nama. Lha ini kan Bandung. Jaraknya jauh dari London ataupun Manchester. Kenapa bukan memberi nama Permana Dikusumah misalnya. Terdengar kuno sih. Mesti saya akui.
Lalu ada anak perempuan depan saya yang belingsatan juga. Makan dan buang sampah sembarangan. Teriak-teriak. Menarik-narik gorden. Dan melempar-lempar tissue ke wajah saya. Ibunya cuma berkata, anaknya habis ganti batre tadi pagi.
Saya mau pulang. Saya menyerah.


Kejadian yang ibu alami, selalu kita temukan di berbagai tempat di negara kita. Saya tiap pagi dan sore harus menggunakan angkutan kota (mikrolet dan bis kota) berangkat dan pulang kerja, jaraknya sekitar 26 KM.
Banyak hal yang ‘mengganjal’ perasaan dan nalar / logika kita melihat apa yang dikerjakan orang2 di sekitar kita, terutama jika saya bandingkan dengan ‘apa yang saya terima di masa lalu’ saya.
1. Makan di tempat umum – saya sejak kecil diajarkan tidak boleh makan di tempat umum (saya dari desa, kecamatan di Jawa Timur). Alangkah jijik dan sulitnya otak saya menerima fakta hari ini, banyak orang makan di mikrolet, di bis kota dengan santainya.
2. Buang sampah. Sejak anak saya kecil 5-6 th saya didik dia utk tidak buang sampah sembarangan, harus buang di tempat sampah. Si kecil (cowok) protes, sebab teman2 dan orang2 di sekitar kami (perumahan) buang sampah seenaknya, di depan rumah, di selokan, dst. Saya memotivasi si kecil supaya dia menjaga kebiasaan ‘baik’ buang sampah di tempatnya, dengan suatu ‘mimpi’, bahwa kelak kalau dia sekolah / kuliah ke luar negeri – Singapura, Jepang, Amerika, Australia, dst…- dia tidak akan malu dengan kebiasaan ‘buang sampah’…. kini si kecil sudah beumur 16 th, dan ibu bisa bayangkan dia tetap ‘berperang di dalam hati’ soal buang-sampah ini. Akan tetapi saya yakin ‘kebiasaan’ baik akan tertanam. Bahkan ke anak cucunya kelak.
3. Budaya memberi nama KEREN / luar negeri, saya tidak bisa komentar selain hanya ikut2an tersenyum geli. Ada anggapan bahwa ‘suku lain’ atau ‘bangsa lain’ atau ‘luar negeri’ itu pasti keren dan hebat. Padahal, setiap nama pasti mengandung arti / makna atau doa orang tua. Saya diberi nama Agus Suryono dengan tujuan supaya saya ‘BAGUS’ = budi pekertinya dan SURYO ONO = ada matahari – terang di dalam hidup saya, dan saya bisa menerangi orang lain (walau arti fisiknya saya lahir jam 12 siang, pas ‘ada matahari’).
Inilah ‘peperangan’ yang harus kita lakukan sekarang. Saya tidak akan melarang orang lain atau meminta mereka ‘berubah’ tapi saya sendirilah yang harus berubah dan mengajarkan ke anak saya, supaya dia punya ‘senjata perang’ yang akan dibawanya seumur hidupnya.
Maju terus!!!