Saya masuk TK umur 4 tahun pas. Gara-gara sering didadahin anak-anak tetangga saat mereka mau berangkat sekolah. Dadah dadah mereka heboh sekali. Sampai salah seorang dari mereka nyaris terjungkal dari becak. Nama mereka Maiko dan Endro.
Saya nangis, dulu saya cengeng banget.
“Mau sekolaaaaahhh!!” Sambil saya sendiri engga tau sih sekolah itu mahluk apaan. Atau diapain dan ngapain.
Sebagai gambaran, saya adalah anak kurus ceking dengan rambut lurus jarang dengan mata sipit dengan bentuk tidak simetris antara kiri dan kanan. Berat saya dibawah rata-rata dan saya mencurigai diri sendiri bahwasanya saya mengidap cacing pita. Atau cacing gilig. Soalnya saya sering mengalami gatal di pantat. Kata orang namanya kremian. Artinya ada cacing di perut. Hubungannya dengan gatal di dubur saya tidak tahu. Bahkan katanya kalau makan kelapa itu juga bikin kremian. Kata orang begitu ya saya terima saja. Lagian memang saya ngalamin cacing itu memang pernah keluar hidup-hidup. Hiiyy..ngeri weiceh.
Bapak saya yang saat itu masih ceking juga dan mirip banget dengan Rudi Hartono, mendaftarkan saya dan mengantar hari pertama saya masuk TK. Bapak pastinya ijin untuk datang telat ke kantor, nanti siang dia juga yang akan menjemput.
Ibu saya membekali saya minum di termos plastik bertali. Isinya air bening. Dan kue sejenis kue semprit dengan bentuk bunga dengan selai di tengah. Sisa lebaran yang sudah lewat beberapa bulan. Doakan semoga belum tengik. Sepertinya ibu saya lega saya masuk sekolah. Saat itu adik saya baru lahir dan saya tukang buat onar di rumah. Ibu saya saat itu masih bekerja sebagai sekretaris dua orang bule ekspatriat. Satu tempat kerja dengan ayah saya di Balai Pertanian.
Saya memakai baju baru. Yang dibelikan uwak saya yang tinggal di Bandung. Seingat saya cuma Uwak Engkus yang kerja di bank BRI itu yang selalu membelikan saya baju-baju bagus dan lucu di setiap lebaran. Warna baju-baju itu dan modelnya masih saya ingat sampai sekarang. Kalau uwak-uwak yang lain mah cuek. Oh ya saya hanya punya uwak. Bapak ibu saya dua-duanya anak bungsu.
Baju baru yang saya pakai ini cantik sekali. Kata saya loh ya. Roknya mengembang sampai dibawah lutut. Biru tua dengan polkadot kecil kecil. Atasnya putih dengan aplikasi bunga besar sekali warna merah di dada. Tanpa lengan dan lehernya berenda. Punggungnya terbuka karena ini model backless.
Saya belum pakai seragam. Karena belum jadi di tukang jahit.
Ayah saya mengantar naik vespa tua. Saat itu belum tua. Tahun 1979. Pak Harto masih jadi presiden dan wakilnya Adam Malik. Warnanya abu-abu metalik. Saya naik di depan sambil memegang speedometer. Sesekali saya memencet klaksonnya..
“TEEEET!”
Dan mengagetkan angsa dan bebek yang berpapasan dengan kami di jalan.
Balai Pertanian ini dulu bernama LP3 Sukamandi, dulunya lagi bernama IRRI, International Rice Research Institute, sebelum dinasionalisasi pemerintah. Bapak saya pegawai negeri lulusan universitas di Bandung jurusan pertanian. Kalau tidak salah spesialisasinya adalah Agronomi. Artinya lupa. Nanti lah saya cari di google.
Komplek perumahan ini terpencil di daerah pantura Subang, dengan sawah terbentang luas hampir 6000 hektar menuju garis horison. Dikelola oleh PT Sang Hyang Seri. Dimana Sang Hyang Seri ini memiliki komplek perumahan kuno peninggalan Belanda, yang rumahnya besar-besar dengan pohon yang besar-besar pula. Tau ada pohon Baobab yang dipindahkan ke Universitas Indonesia di Depok dan sekarang lagi meranggas mati? Nah itu asalnya dari sini. Dan menurut saya bodoh banget orang yang merintahin buat mindahin pohon-pohon itu.
Jalanan di kampung dekat komplek adalah perkampungan dengan rumah-rumah bedeng. Ada juga yang bagus, tapi kebanyakan adalah rumah kecil berbilik bambu, namanya kampung Wesel. Pasti dari bahasa Belanda. Katanya dulu disini ada rel kereta api yang mengangkut hasil perkebunan Belanda ke Batavia. Dulu Belanda menanam nanas, karet dan jarak. Ini saya tahu soalnya baca sejarah LP3 di perpustakaan balai pertanian. Nanti, pas saya sudah SMP. Ini kan cerita lagi TK.
Jalanan tanah dengan sisa aspal yang sudah bolong-bolong besar ini kerap dihiasi tumpukkan tahi kerbau dan sapi. Ukurannya besar sekali, sampai saya pikir diameternya sebesar ban mobil. Yang masih segar sangat menyebalkan, kaki kita bila terbenam menginjak akan menjadi hijau bau. Dan teman kita suka mengerjai kita kalau jalan kaki untuk meleng dan menginjaknya. Percayalah, saya sering mengalami ini.
Tiba di sekolah TK Sang Hyang Seri ini saya sangat antusias. TK ini berupa bangunan dengan tap rendah. Terdiri dari hanya dua kelas saja, di jalan depan TK banyak pohon besar. Saat itu sedang berbunga kecil-kecil warna kuning dan harum. Bunga-bunga rontok itu memenuhi jalanan depan sekolah. Cantik sekali. Karena banyak pohon besar, udara disini terasa sejuk berangin. Kalau nama pohon bunga kuning ini saya tidak tahu, yang jelas banyak pohon Kihujan dan Baobab disini. Juga pohon Mahoni yang buahnya katanya pahit banget dan sering dibuat mainan kapal terbang oleh anak-anak laki.
Untuk absensi kami dibagi gantungan dari kayu yang harus dicantelkan di sebuah papan berbentuk pohon besar. dari kayu pula. Gantungannya berbentuk buah-buahan, ada jeruk apel anggur pisang dan sebagainya. Saya kebagian jambu mede. Saat itu saya engga tau ada buah bernama jambu mede. Apalagi bentuknya. Dan orang kadang menyebutnya jambu monyet. Saya tidak antusias mendapat bentuk buah aneh tersebut. Menurut saya bijinya yang nongol mencurigakan itu terlihat aneh dan memalukan.
Kalau saya tahu ini adalah buah dengan biji yang bernilai komoditi ekspor, dan bijinya bikin enak untuk dicampur coklat, kayaknya saya engga akan sekecewa itu dapetin gantungan absensi berbentuk buah abnormal itu.
Kursi di kelas adalah bangku-bangku kayu dicat warna-warni. Ada merah kuning hijau dan biru dan warna mencolok lainnya. Di sebuah lemari di sisi kelas, terdapat boneka tangan. Puppet. Yang digunakan ibu guru untuk bercerita. Nama guru TK saya adalah Bu Etty dan dia mirip Merriam Bellina. Rambutnya keriting badannya langsing dan kulitnya putih bersih. Dan dia galak. Menurutku dia galak karena sering menegur bila anak-anak terlalu berisik atau banyak mengobrol.
Jam istirahat kami berlarian keluar. Di halaman ada perosotan, tangga-tangga besi untuk bergelantungan, ban karet untuk melompat-lompat dan jungkat-jungkit. Ada bak pasir juga dengan ember-ember.
Maiko mendekatiku dengan anak-anak lain yang rupanya sudah jadi ganknya. Saya yang sedang berusaha bergelantungan di sebuah pegangan besi, ditunjuk olehnya dengan tangannya,
Dan dia berteriak,
“LIHAT BAJU YANG DIPAKAI MIRA MERANGSANG!”
Sumpah mampus demi apapun saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan merangsang. Tapi yang jelas saya merasa malu sekali, apalagi anak cowok yang baru saja berkenalan dengan saya dan sama-sama sedang bergelantungan menatap saya dengan heran. Anak cowok itu bernama Andrew dan dia wangi minyak kayu putih campur bedak. Bulu matanya lentik dan dia cakep.
Malu oleh teriakan Maiko saya hanya bisa menangis tersedu-sedu dan menutup muka dengan tangan.


ma kok kaya temen dinda waktu tk, namanya juga andrew