Komplek kecil di dalam komplek yang lebih besar, tempat tinggal baru kami dinamakan orang-orang disini “komplek eksper”. Asal kata dari “Expert” karena yang tinggal di komplek berisi 7 rumah ini adalah para ekspatriat. Ayah saya bukan ekspatriat, walau wajahnya mirip pemain bulu tangkis Rudy Hartono, dia bukan dari Hongkong. Rudy Hartono pun bukan dari Hongkong sepertinya.
Rumah kami dinamakan Eksper Nomor Enam. Segera ayahku membuat kolam ikan di sekitar rumah, hampir sekeliling adalah kolam. Bahkan parit pun berisi ikan. Di belakang rumah ayahku membuat kandang bebek, di pinggir rumah sebelah kiri ada kandang kelinci, ayam bangkok, ayam kate, kambing, dan kalkun!. Ayahku tergila-gila memelihara ternak dan hewan. Selain anjing kami juga punya kucing, bahkan monyet, dan elang. Dua terakhir dilepas kembali ke alam bebas. Ayahku juga memelihara burung. Seperti perkutut, tekukur dan jalak. Tapi banyak dilepaskan lagi. Kecuali merpati. Yang memang dipelihara dengan dilepas dan selalu balik lagi minta jagung kering.
Tak terhitung pohon buah-buahan yang ditanam ayahku sekitar rumah. Kelapa saja ada. Jambu air, jambu kelutuk, mangga aneka jenis, jeruk, belimbing, dan aneka bumbu dapur di halaman belakang. Aku menamai tiap pohon dengan nama-nama tokoh kartun. Dan sering memanjatnya satu-satu. Tapi favoritku adalah pohon kersen, pohon ketapang, pohon belimbing dan jambu air. Aku namakan batang bercabang yang enak diduduki di pundak pohon kersen sebagai “singgasana”. Jambu kelutuk batangnya licin dipanjat. Kalau belum pernah dipanjat batangnya memiliki kulit kerak yang belum terkupas, licin sekali bila lepas. Walau licin pohon jambu itu punya kelebihan, bisa dipanjat sampai batang kecil. Batangnya lentur tidak mudah patah. Kalau sering dipanjat batang licin bisa jadi kesat. Karena kayunya kuat dan liat, kayu jambu sangat baik untuk dibuat ketapel.
Pohon mangga tidak enak dipanjat. Batangnya rengas dan kulitnya kasar, getah daun mangga juga bikin gatal. Kena pakaian pun meninggalkan noda. Aku sangat suka memanjat pohon, bahkan pohon kelapa. Tapi pohon kelapa tertinggi tidak berani, jadi yang tingginya 5 meter saja, sering kupetik sendiri buah kelapa hijau yang airnya manis bukan main. Pohon jambu air juga rengas, tapi paling tidak buahnya kan enak dimakan, jadi aku suka memanjat pohon jambu air. Sampai kenyang makan buah jambu, baru turun. Atau kalau ibuku sudah berteriak-teriak meminta aku mencuci piring. Yang aku tidak suka pada pohon jambu air dan juga mangga, banyak semut apinya. Kami menyebutnya semut Rarangge. Larva dan telurnya yang disimpan oleh semut itu berupa gulungan daun yang disatukan, disebut kroto dan menjadi favorit makanan burung.
Aku juga suka memanjat pohon Flamboyan, walau batang sulit sekali dipanjat karena bundar dan besar, sedikit cabangnya dibawah. Licin pula. Karena aku suka sekali bunga oranye bergaris kuningnya yang sangat mencolok mata dan cerah. Sekali waktu aku jatuh dari pohon Flamboyan. Sakit sekali karena jatuhnya terlentang. Bertahun-tahun kadang suka masih terasa ada sakit menusuk di punggung belakang. Mungkin akibat dari jatuh itu.
Selain sekitar pohon di rumah sendiri yang sering kupanjat, pohon tetangga pun sering kupanjat. Rumah Eksper Nomor Satu adalah rumah direktur. Didepannya ada pohon-pohon cemara besar. Itu juga sering kupanjat bersama Lina, panggilan putri Pak Siwi. Kami namai pohon-pohon itu Helicopter. Jadi kami punya beberapa Heli untuk pergi ke berbagai tujuan. Ada Heli-1, Heli-2 dan sebagainya.
Rumah Eksper Nomor Dua diisi keluarga Indonesia juga. Namanya Pak Tohar. Sebelumnya juga rumah mereka adalah bersebelahan saat kami tinggal di rumah kami yang tipe kecil. Jadi kami kembali bertetangga.
Rumah Eksper Nomor Empat ditempati suami istri berkebangsaan Spanyol. Bernama Mr Graces. Istrinya bernama Maria. Cantik bukan main. Bayangkanlah bintang film telenovela yang cantik. Sudah? Ya seperti itulah. Kalau Mister Garses, berambut keriting di kedua sisi, tengahnya botak, berkumis tebal. Menurutku tidak cakep sama sekali. Mereka punya 5 ekor anjing. Empat Doberman dan satu Bulldog. Yang selalu menggonggong saat aku datang disuruh ibu mengantar makanan untuk mereka. Kebiasaan jaman itu kalau memasak sesuatu suka kirim-kirim tetangga. Demikian juga sebaliknya. Tetangga sering kirim-kirim kami.
Aku selalu menyebut diriku anak Tuan Garces setiap ada yang bertanya aku tinggal dimana, atau anak siapa. Entah kenapa.
Rumah Exper Nomor Empat diisi oleh pria berkebangsaan USA, bernama Mr Palmer, nama lengkapnya adalah Louis Palmer. Kata ibu, Louis itu dibaca Lui. Rambutnya disisir ke dengan tujuan yang tidak jelas, seperti gaya rambut Donald Trump, tapi ini lebih pendek. Istrinya orang Filipina, namanya Elena. Kulitnya gelap, rambutnya panjang keriting. Sering pakai pakaian terusan berupa rok panjang warna cerah dengan tali kecil di pundak. Dia tampak cantik dan eksotis seperti penari Flamenco. Aku pernah datang diajak orangtuaki ke rumah mereka suatu hari saat mereka mengadakan pesta. Aku diberi sebotol coke yang baru kutahu saat itu radanya seperti itu. Saat pertama minum hidungku terasa tertusuk oleh semburan soda. Rasa minuman itu menurutku aneh dan sensasional pada saat itu.
Rumah Nomor Lima diisi orang Jepang bernama Mr Miyamoto Muchida. Istrinya cantik sekali dengan rambut yang selalu disanggul kecil, mata sipit menjungkit, dan kulit yang sangat mulus seperti porselen. Pakaiannya selalu rapi berupa baju terusan selutut dengan corak bunga. Anaknya empat, dua yang besar perempuan tinggal di Jepang. Namanya Hiroko dan Hideko. Aku jarang bertemu mereka. Pernah mereka datang dengan pesawat berdua saja dari Jepang. Dan aku sangat heran anak seusia SD dan SMP berani pergi antar negara berdua saja.
Yang dua lagi kembar. Namanya Akira dan Reiyo. Mereka berambut lurus dengan poni dan selalu berpakaian sama. Aku tidak bisa membedakan mana Akira dan mana Reiyo. Mereka sangat identik. Kedua anak itu sangat suka sate. Pernah kami mengadakan pesta tahun baru, dan mereka mengunyah sate tak henti-henti.
Di rumah eksper Nomor 7 yang ada di belakang rumah kami, tinggal keluarga bangsa Korea. Ibuku menyebutnya Mr and Mrs Park. Anaknya ada dua. Namanya Mi’ah dan Cong Ah. Aku memanggil Cong Ah si Congek. Aku nakal sekali waktu kecil, asal tahu saja.
Pakaianku selalu dekil karena sering memanjat pohon. Kakiku sering telanjang jarang pakai sandal, karena sering memanjat pohon dan main di atap rumah. Rambutku warna kuning jagung, kering dan kepanasan. Selalu berkutu. Kulitku coklat gosong. Dan aku tidak suka melihat diriku sendiri di cermin. Jelek. Belum lagi kurusnya minta ampun. Aku bisa menghitung tulang rusukku dan tulang panggulku menonjol. Aku susah sekali makan.
Kalau bosan manjat pohon, aku main lumpur di kolam ikan, atau mengejar-ngejar ayam. Bersepeda keliling komplek dan mencari-cari tempat untuk berpetualang, karena buku bacaan favoritku adalah Enyd Blyton, Lima Sekawan.
Saat itu aku TK O Besar, begitu disebutnya, artinya itu duduk di tahun kedua. Tahun pertama disebut TK O Kecil. O-dibaca Nol, bukan huruf O. Reiyo dan Akira juga pergi ke TK yang sama denganku. Ibunya sering diundang dan mengajari kami Origami. Reiyo dan Akira sangat pandai membuat berbagai macam bentuk dari kertas warna-warni. Guru TK kami saja kalah telak. Sat set sut, mereka melipat kertas. Jadi burung. Lipat-lipat lagi, jadi kodok. lipat-lipat lagi, jadi kursi dan piano. Ibunya lebih canggih, dengan berbagai bentuk kertas dan cara melipat yang rumit, dia bisa membuat bola besar dengan duri bentuk segitiga bercucuk-cucuk. Bahkan tanpa lem.
Mi’ah dan Cong’ah hanya sebentar jadi tetangga kami. Mereka kembali ke Korea. Atau tugas di negara lain, aku lupa. Jadi aku tidak sempat bermain dengan mereka lama-lama. Ibuku yang sering belajar membuat kimchi dan Mrs Park. Walau kata ibuku rasanya lebih enak Asinan Bogor kemana-mana.
Siang hari sepulang sekolah aku bermain dengan Reiyo dan Akira, mereka kadang hanya bercelana dalam dan berkaus singlet saja saking panasnya udara di daerah ini. Orangtua mereka menyediakan satu kamar khusus untuk mereka bermain yang berisi aneka mainan banyak sekali. Yang paling aku kagumi adalah mainan kereta api yang seperti sungguhan, relnya dipasang dari kamar ke kamar, melewati terowongan dari buku dan aneka kontur alam buatan dari berbagai kotak, sepatu, dan aneka benda.
Aku tidak berani memegang mainan mereka kalau tidak diijinkan. Berbicara dengan Nyonya Muchida dan si kembar, aku menggunakan bahasa Tarzan. Mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Inggris aku tidak bisa, si kembar juga tidak. Jadi ya sudah. Bila memasak Nyonya Muchida tidak pernah menggunakan alat masak seperti sutil, selalu dengan sumpit. Bahkan untuk menggoreng telur.
Tuan Muchida membuatkan kedua anak itu rumah kayu kecil yang bagus sekali. Beratap Isinya adalah karya-karya mereka berupa gambar yang dipasang di dinding dalam rumah dengan paku payung. Kalau kami masuk bertiga rasanya sempit sekali.
Aku pernah dimarahi Nyonya Muchida dengan bahasa Jepang, karena menembak pipi salah satu anak kembar itu dengan pistol dengan peluru batang karet. Aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Hanya bisa melihat telunjuk jarinya yang kecil runcing yang diacung-acungkan ke dekat wajahku dan tangan satunya bertolak pinggang.
Keluarga Muchida rupanya punya kebiasaan mengibarkan bendera. Entah apakah ini kebiasaan orang Jepang pada umumnya atau mereka saja. Mereka punya tiang bendera yang tinggi dan selalu mengibarkan bendera. Tidak hanya bendera bangsa Jepang, Hinomaru, yang berupa bulatan merah di tengah itu, tapi juga macam-macam bendera warna warni. Bahkan ada bendera dengan bentuk ikan. Moncongnya berupa bulatan kawat, dan bendera ikan berbagai bentuk ikan itu dikibarkan berbarengan. Bila tertiup angin maka terlihat seperti serombongan ikan berwarna-warni aneka bentuk yang meliuk-liuk.
Isi rumah keluarga Muchida tentu saja lebih bagus daripada rumah kami. Mereka punya piano besar dengan warna pelitur hitam, ada pedalnya terbuat dari kuningan. Nyonya Muchida dan si kembar kadang-kadang bermain piano saat aku sedang disana. Lagu-lagu Jepang sepertinya, karena tidak ada yang kukenal. Rumah mereka selalu rapi dan bersih, di atas meja kaca selalu ada vas berisi bunga. Ada akuarium dari kaca, tapi isinya bukan ikan, melainkan aneka ular. Sepertinya peliharaan Tuan Muchida. Ada yang hijau ada yang belang kuning.
Rumah kami jarang rapi dan selalu berisik. Aku dan adikku selalu bertengkar berebut apa saja. Ibuku jarang melerai kecuali kami sudah saling cakar dan babak belur.
Aku pergi ke sekolah TK naik mikrolet, dengan deretan kursi di dalamnya, milik kantor lembaga tempat ayah bekerja. Mobil ini bercat putih dengan polet biru muda, dan selalu berbau aneh, yang bikin aku pusing dan mual setiap menaikinya.
Suatu hari Reiyo dan Akira berulang tahun. Kami semua satu komplek perumahan diundang ke rumahnya. Aku tidak ingat makanannya ataupun apa acaranya. Yang jelas aku ingat setiap ada yang ulang tahun aku tidak pernah menolak untuk bernyanyi di depan semua anak lainnya. Lagunya apa saja yang aku ingat. Bintang Kecil atau semacamnya.
Yang unik dari ulang tahun ini dibanding ulang tahun anak lain adalah saat kami pulang selain diberi kantung berisi aneka makanan kecil dan permen juga bungkusan kado kecil. Ini lucu buat kami karena kan biasanya yang diundang yang memberi kado pada yang ulang tahun. Kadoku berisi aneka pinsil warna dengan tulisan Jepang, dan sebuah penyerut pinsil berbentuk capung berwarna merah yang bagus sekali.
Belum lama kami naik ke kelas O Besar, Reiyo dan Akira beserta orangtuanya tentu saja, kembali ke Jepang. Aku sedih sekali. Aku bahkan tidak bisa mengucapkan selamat berpisah atau apapun karena bahasa kami tetap saja bahasa Tarzan.
Aku diberi berbagai macam buku pelajaran sekolah (yang semuanya berbahasa Jepang), sebuah palang besi dan dudukannya yang sering dipakai si kembar bergymnastic gelantungan dan jungkir balik, yang segera kupakai untuk membuat ayunan dari kain selendang. Ibuku diberi aneka perabot. Gelas-gelas sake dan botol-botol sake. Beberapa diner set porselen dan ditawari untuk membeli piano besar mereka dengan harga Rp 500.000. Saat itu 500.000 besar sekali karena gaji ayahku hanya Rp 70.000 sebulan. Jadi ibuku menolak, dia menyesalinya sampai sekarang. Aku juga diberi boneka yang cantik sekali dengan baju seragam sekolah anak perempuan Jepang, yang seperti seragam pelaut itu. Boneka ini ada piringannya di punggung sehingga bisa disetel untuk bernyanyi. Namun aku yang nakal segera saja mencoreti muka boneka ini dengan spidol dan mencukur rambutnya menjadi acak-acakan. Bila ingat ini rasanya aku ingin menampari diriku sendiri saking menyesalnya.
Oh ya dan sampai sekarang aku hapal lagu kebangsaan Jepang.
Kimigayo wa
Chiyo ni yachiyo ni
Sazare-ishi no
Iwao to narite
Koke no musu made


Leave a comment