Ada satu tempat dimana bila malamnya sehabis hujan, maka dari ketinggian kita bisa melihat perbukitan dengan awan-awan di waktu pagi hari hingga seolah kita berdiri di negeri di awan. Tentunya kudu mengejar tempat itu sebelum matahari terbit, karena bila cahaya sudah meruah melimpah, maka kabut dan awan-awan itu akan memudar dan melebur di udara mengubah bentuk menjadi tidak kasat mata.
Karena tempatnya indah dan aku denganmu senang mematri kenangan, maka saat fajar belum memerah, kita kejar kesana tidak mandipun tak mengapa. Namun saat itu kemarau, sepertinya kita tak bisa berharap banyak kabutnya mengendap karena hujan lama tak kunjung menerpa perbukitan.
Namun tak mengapa, karena pastinya di pagi dingin itu kita akan bisa menemui bunga-bunga rekah, dan sejuk udara tanpa polusi dari jeritan dan kepulan mesin-mesin buatan manusia.
Aku punya kutipan Sapardi puisi untuk kau untuk cerita di bukit itu,
ketika jari-jari bunga terbuka
mendadak terasa: betapa sengit
cinta Kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit
menyisih awan hari ini; di bumi
meriap sepi yang purba;
ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagi
di sayap kupu-kupu, di sayap warna
swara burung di ranting-ranting cuaca,
bulu-bulu cahaya; betapa parah
cinta Kita
mabuk berjalan, di antara jerit bunga-bunga rekah
menjadi kenangan yang tak pudar dari ingatan, saat kita duduk berdua dengan latar belakang pemandangan yang spektakular, kamu memegang kamera di tangan kirimu, dengan presisi waktu, bersamaan memanggil namaku dan saat aku menoleh, darah berdesir dan jantungku terasa melonjak, karena kau mencuri cium bibirku, dan memotret momen itu.
Leave a Reply