Kota Yogyakarta memang istimewa. Tidak ada habisnya untuk diceritakan. Tidak salah bila film AADC 2 dibuat disana. Romantisnya dapet. Tapi tetep saya sih kok ya engga baper nonton AADC 2. Saya terfokus pada Rangga yang berubah lebih ‘kuleuheu’, agak dekil gitu loh keliatannya. Beda dengan Rangga yang masih SMA, kinclong abis. Mungkin akhir-akhir ini Niko sering travelling. Lihat saja akun instagramnya. Kayaknya dia sering kelupaan pakai sunblock.
Berkesempatan ke Yogya walau cuma dua malam berharga banget rasanya. Minggu lalu saya berkesempatan untuk ke Yogya lagi setelah sekian tahun berlalu. Kali ini saya dan anak saya bertiga berangkat ke Yogya dari Bandung. Ternyata Bandara Husen udah bagusan ya. Jadi ingat dulu pernah pulang dari Singapore hampir saja ketimpa plafon yang ambruk di pintu kedatangan. Saking udah bobroknya.
Tiba di Yogya sudah jelang malam. Kami menginap di Phoenix Hotel di Jl Sudirman atas rekomendasi teman-teman saya. Kata mereka hotelnya keren dengan nuansa bangunan jaman Hindia Belanda. Supir yang menjemput kami bernama pak Fitra sangat ramah dan tahu banget soal kuliner Yogya. Kami ditawarkan untuk mencicipi sate Klathak di Jl Imogiri. Ada dua yang terkenal katanya, Sate Klathak Pak Pong atau Sate Klathak Pak Bari.
Pak Pong atau Pak Bari dua-duanya juga saya engga kenal. Jadi bebas saja deh. Tadinya pingin ke sate klatak tempat Cinta dan Rangga ketemuan itu, tapi Pak Fitra lebih rekomendasi ke Pak Pong. Dia engga nonton film AADC katanya. Jadi pilih yang rame aja. Ukuran dia yang enak itu yang rame dan antrinya lama. Kalau saya sih sebenarnya maunya yang sepi dan engga ngantri. Tapi saya nurut aja deh kalau sama orang Yogya, secara dia yang punya kota.
Kalau anak saya Drea, engga tahan banget dengan bau kambing. Dia nyaris tidak makan apa-apa. Bau kambing memang terasa saat kita memasuki tempat makan tersebut. Tapi satenya tidak bau kambing sama sekali. Sate kambing atau sate klatak ini adalah sate the best I ever had. Sumpaj, enaaaakkkk banget!. Karena saya penyuka daging sate yang tanpa bumbu, maka sate klatak dengan bumbu garam doang dan merica ini sangat sangat kena di lidah saya. Satenya empuknya pas. Tidak lembek tidak keras. Saya dan Anis memesan juga tengkleng, yang juga luar biasa enak.
Harga per porsi sate Rp 20,000.- dengan dua tusuk sate yang menggunakan jari-jari sepeda. Tapi satenya panjang dan dagingnya banyak. Jadi satu porsi cukup untuk kami masing-masing. Saat itu tidak terlalu ramai, jadi pelayanan cepat tanpa harus menunggu lama. Rasanya saya masih ingin makan kesini lagi besok. Tapi mengingat saya takut hipertensi saya kambuh sepertinya saya harus menahan diri untuk jangan rakus. Nanti darah tinggi kumat saya ngegelepek pingsan di kota orang kan engga lucu. Serem malah.
Dari tempat sate langsung pulang ke hotel tanpa mampir sana sini, karena baju jadi bau bakaran kambing (menurut Drea), yang bikin kepingin mandi.

The Phoenix Hotel Yogyakarta
Tiba di hotel saya suka sekali dengan interior dan suasana kolonialnya. Agak spooky sih karena di lorongnya sepi, tapi sangat nyaman. Kamar kami juga luas dengan jendela yang bisa dibuka lebar terletak di lantai dasar dekat dengan kolam renang. Kolam renangnya tampak indah dikelilingi bangunan kamar dengan lampu-lampu yang bercahaya dengan cantiknya.
Besok pagi tanpa sarapan dulu dan anak-anak masih tidur saya dengan semangat Panglima Besar Jenderal Sudirman bertekad kuat untuk lari pagi di seputaran kota Yogya ini dengan target 10 Km. Rutenya kemana? Kagak tahu, yang penting kan bawa handphone. Kalau nyasar ya tinggal lihat GPS. Kecenderungan saya yang tinggi untuk nyasar tidak menyurutkan semangat saya untuk menelusur jalan-jalan kota yang masih sepi di pagi hari ini. Lagian kalau nyasar siapa juga sih yang mau menculik emak-emak gendut dan kelihatannya bertampang wagu ini. Kagak jelas ada duitnya apa kagak, jutek iya. Preman juga pasti males malak. Lagipula kota Yogya terkenal dengan kota aman damai dengan tingkat kejahatan rendah.

Pinggir Kali Code
Pagi hari di kota Yogya indah sekali. Banyak anak-anak sekolah berseragam dengan rok kotak-kotak mengendarai sepeda berangkat sekolah, padahal hari Sabtu ya. Tukang-tukang makanan menyiapkan gerobaknya dan banyak orang-orang tua menyapu halaman depan rumahnya dari dedaunan. Atap-atap rumah di bantaran Kali Code tampak semarak dengan warna-warna terang, menyemburat di sinar matahari yang baru muncul diam-diam. Saya banyak berhenti untuk melihat sekitar. Ada rumah-rumah tua yang merupakan warisan budaya, bangunan-bangunan rumah sakit yang masih dalam bentuk aslinya, becak-becak lucu yang bentuknya berbeda dengan becak di kota lain
Tak terasa karena sambil menikmati pagi di kota yang baru bangun ini saya jogging sampai dengan 10 km, rutenya entah, soalnya beberapa kali saya melewati jalan yang sama, saya pun melewati stadion dimana rupanya akan ada konser Slank nanti malam. Yang saya heran kebanyakan para Slanker yang membawa spanduk dan bendera bertuliskan nama-nama daerah darimana mereka berasal ini, tampaknya tidak mandi beberapa hari. Anis kemudian memberitahu bahwa fans Slank ini ciri khasnya memang jarang mandi. Ah yang benar? Yang jelas anak muda yang bahkan bergelatakan di trotoar ini nampaknya kurang memperhatikan sanitasi diri. Bahkan mereka tampak perlu menyisir rambutnya.
Oh ya kemanapun saya lari, seperti biasa abang-abang tukang becak selalu berusaha melemahkan semangat saya, “Mba..wong naek becak saja..cape lari-lari, mending naek becak yuk, mau kemana sih…sudah lima ribu sajaaa..” dengan logat Jawa mereka yang medok. Saya tergoda juga sih memang untuk berhenti dan makan soto, tapi lupa engga bawa uang.
Usaha saya sampai bisa lari ini engga mudah sebenarnya. Perlu setahun lebih untuk bisa melebihi jarak 5 Km. Dulu jalan kaki 2 Km saja rasanya udah juara banget ngalahin Usain Bolt. Ini juga pace saya engga bagus sih, masih kayak siput. Tapi lumayan lah daripada dulu jalan kaki saja saya ogah. Anak saya bilang bahkan gaya lari saya mirip kodok. Yang mana menurut saya adalah analogi yang salah. Kodok melompat soalnya bukan lari.
Pulang ke hotel, sekitar jam setengah delapan pagi, eh ternyata anak-anak bahkan belum bangun. Pemalas sekali. Saya ajak mereka sarapan. Ada air mancur di dekat bangku-bangku dan meja makan berpayung, saya duduk disana. Saya perhatikan banyak orang-orang asing yang menginap di hotel ini. Tak heran juga sih, karena nuansa kolonial hotel ini memang menarik sekali.
Saya ditawari untuk meminum jamu. Saya mencoba brotowali dan pahitnya engga hilang-hilang walaupun sesudahnya saya meminum air jahe campur gula merah dua gelas. Saya pikir ibu-ibu yang memberi puting mereka brotowali untuk menyapih anak menyusui itu adalah kejahatan tingkat tinggi. Tak heran kalau bayi bisa menangis berhari-hari bila menjilat brotowali. Saya aja shock berat.
Selanjutnya perjalanan saya di Yogya dalam rangka Get Away Week End ini akan saya lanjut di postingan lain, kalau disini kepanjangan soalnya.
Setuju mbak, enggak baper blas saya juga nonton filmya,,hehe