Aku ingat aku pernah merajuk padamu. Aku bilang belasan tahun bersamamu tidak sekalipun kamu ajak aku untuk makan malam romantis bercahaya temaram, diiringi musik klasik dan kita berpakaian rapi. Aku bergaun hitam semacam di film Breakfast in Tiffany, dan kau..entahlah..sulit membayangkan kamu berpakaian rapi. Candle light dinner seperti di film-film itu.
Kamu tidak menjawab, hanya mengerang.
Tapi dua malam lalu sepulang kerja, kita berjalan berdua. Sempat kau lingkarkan lenganmu di bahuku sambil kau mengucapkan selamat untuk sesuatu, lalu kau mengajakku makan ketoprak di warung pinggir jalan, tempat kuli-kuli bangunan dan tukang ojeg biasa menghabiskan sisa penat mereka, menikmati makanan murah terjangkau saku.
Seperti biasa kau memesan dengan ekstra pedas, dan untukku sedang pedasnya. Kita berdua makan bersisian di bangku kayu reyot, di tenda dalam yang disampirkan pada gerobak, dengan dua gelas teh manis hangat di wadah plastik. Sambil makan kita bercakap-cakap, dan kau menumpahkan isi kepalamu itu, tentang pekerjaan-pekerjaan kita, rencanamu, dan kejadian-kejadian di kantor hari ini dan yang lalu. Seperti biasa aku pendengar yang baik bagimu, sesekali menanggapi dan berdiskusi. Bagiku tidak hanya suaramu yang aku suka untuk aku dengarkan, tapi bau tubuhmu dekat denganku, selalu menguarkan rasa kedekatan itu, bahwa aku dan kamu telah seringkali tak terpisahkan barang sesenti.
Hampir dua jam aku duduk bersama kamu, sehabis makanan kita habis kita masih mengobrol sambil menghirup teh yang terasa sangat menyamankan dada kehangatannya. Aku menatap langit di kejauhan yang kelam walaupun tak berawan. Bulan entah dimana dan bintang tak pernah tampak di langit ibu kota ini. Kudengar suara-suara kuli bangunan di gedung tinggi sekali yang sedang dibangun, mereka bercakap entah apa. Dan kita terlonjak kaget saat ada serpihan beton yang jatuh di dekat gerobak.
Entah kenapa ada perasaan sentimentil menyeruak di dadaku. Bukan restoran mewah dengan dinding beludru. Atau juga steak dengan medium welldone ataupun salmon dengan saus lemon. Juga pemain musik dengan biola yang mengalun lembut. Bukan itu ternyata. Langit beku dan lampu-lampu gedung yang mulai dinyalakan sejak senja datang, percakapan kuli-kuli dan para tukang sepulang kerja, deru mesin campur debu, ternyata mengalahkan semua itu. Rasanya aku juga kini tidak menginginkan seikat mawar, dengan sebungkus gado-gado pagi hari yang kadang kau belikan, karena kamu tahu aku sering lupa makan, itu juga mengalahkan sterling silver rose dengan sisipan bunga tulip belanda.
Disini di sisi gerobak ini aku menyadari satu hal. Karena dekat dengan kamu. Mendengarmu bercerita, merasakan bahwa kau mempercayakan banyak hal kepadaku, itu lebih dari candle light dinner yang tadinya kuinginkan. Tidak perlu sofa untuk bersandar dengan gelas kristal di tangan, bangku kayu reyot pun lebih dari cukup, karena kamu, karena ada kamu. Semua menjadi berharga di hadapanku.
Leave a Reply