Bon Jovi.
Kurang lebih sebulan sebelum konser Bon Jovi di Jakarta tanggal 11 September 2015 lalu, jeng iNa menanyakan pada saya,
“Mi jadi nonton Bon Jovi?”
Saya sulit menjawab. Sebetulnya saya pengen nonton. Banget malah. Tapi hati kecil saya melarang saya beli tiket. Karena hati kecil saya juga yang sudah meyakinkan pada diri saya, kalau saya bakal nonton Bon Jovi walau bagaimanapun caranya. Dan dengan cara gratisan. Ini misterius dan sulit diceritakan. Saya cuma yakin. Itu saja.
Jadi saya tetap tidak beli tiket. Walau hari makin dekat. Buka website penjualan tiket pun tidak. Harga tiket berapa saya tidak tahu.
Dan seperti dugaan saya, suami saya bilang,
“Ma, ada temen Papah mau kasih tiket Bon Jovi. Karena katanya dia kenal kamu. Namanya Fajar. Kamu kenal tidak?”
“Engga”, kata saya. Wajah pria yang bernama Fajar saja saya tidak bisa mengingat yang mana dan bentuknya seperti apa.
“Soalnya, karena dia kenal sama Mama makanya mau kasih tiket Bon Jovi”, lanjut suami saya.
“Oh gitu?” ujar saya setengah kagum pada diri sendiri.
“Tapi dia emang minta tuker sama batu akik kesayangan Papah sih, itu yang Kalimaya Pancawarna”
“Oh ya kasih aja”, kata saya dengan tetap tidak mengurangi rasa kagum pada diri sendiri. Suami saya memutar bola matanya
Tapi perlu dicatat, teman suami saya ini orangnya kalau dari cerita sih, jahil banget. Jadi saya sih walau yakin dikasih tiket tetap saja menyisakan tidak yakin juga. Jadi kalau ada teman yang tanya mau nonton engga, saya jawabnya engga.
Sampai 2 hari sebelum hari H, saya tanya suami saya,
“Tiketnya jadi tak?”
“Entahlah”
“Ya sudah, tanyain dong”
Suami saya menelepon temannya. Lalu dia menelepon saya kembali.
“Ma, kata dia waktu ditanya, gimana tiketnya? dia jawab ‘aman'”,
“Trus aku tanya lagi, ambil tiketnya dimana? dia jawab ‘lahaciya”.
Hadoh…tukan..pasti deh dijailin. Kata saya.
Akhirnya pada tanggal 11 September 2015, saya mendapat kepastian jam 11 siang saat saya mengetik sesuatu kerjaan, saya dapat kabar dari suami kalau tiketnya diambil saja sebelum ke konser Bon Jovi, ke kantor di bilangan MT Haryono. Haduuhhhh, jam berapa ini, akhirnya dengan mengebut saya jemput suami saya ke kantornya, dan tanpa basa-basi, kami berangkat siang itu juga menuju Jakarta.
Di jalan saya menelepon jeng iNa untuk janjian di GBK. Karena suami saya mah engga mau nonton Bon Jovi, dia lebih suka nonton Zaskia Gothic dengan goyang itiknya itu.
Jam 3.30 kami udah parkir manis di GBK, karena jeng iNa dan RaRa masih pada di FX, saya sih ngopi-ngopi cantik saja dengan suami. Satu hal yang saya suka kepanasan di Jakarta itu yaitu bikin minum kopi pakai es jadi enak banget!. Serius. Di Bandung engga pernah saya senikmat itu minum air es. Itu hanya bisa dirasakan nikmatnya di daerah panas dengan badan keringetan. Udah gitu bukannya nyari tempat teduh, saya malah duduk di bangku yang panas kena sinar matahari sore, biar engga kagok kepanasannya.
Oh ya, ternyata saya salah nangkring. Harusnya di Yellow Gate, ternyata malah di Red Gate. Untung ketemu RaRa, kalau engga bablas deh saya bakal salah antri. Jadi aja saya lari-lari kejar iNa yang udah duluan ke Yellow Gate. Jauh bok! Saya nelepon jeng iNa dan bilang, “Jangan bergerak! saya menuju kesitu” “Siap!” jawabnya.. Pasti dengan sikap sempurna.
Singkat cerita, disanalah dia Bon Jovi, lumayan lah, ‘hanya’ berjarak puluhan meter saja dari tempat saya berdiri, jingkrak-jingkrak, dan menjerit bersama iNa, saat orang lain tidak ada yang histeris, karena timing kami berbeda, kami histeris dan menjerit, saat kamera menyorot bokong Bon Jovi, yang ..ehm, masik ketat padat dan terlihat mumpuni untuk diremas.
Dan terima kasih! Bon Jovi masih sehat, ganteng dan bisa menyanyi 17 lagu tanpa terlihat kecapean. Makin berkeringat, makin hot.
Dan saya memaafkan orang sebelah kanan yang menginjak kaki saya, orang belakang saya yang lompat-lompat dan sikutnya menggetok kepala saya, dan orang sebelah kiri saya yang bernyanyi sekuat tenaga mengikuti lagu yang sedang dilantunkan.
Ya beginilah letak serunya nonton konser di festival.
Tapi usia emang ga bisa boong ya.
Usai nonton saya tepar, kehausan, kelaparan dan masuk angin.
Sambil nyelonjorin kaki ke dashboard saya bilang sama suami, “kapooook pah, pegel!”
Suami saya yang setia nunggu di parkiran nanya. “Kalau Muse konser gimana?” Jawab saya, “ya itu mah harus nonton!”.
Trus tanya dia lagi, “kalau Van Halen?” Kata saya “ya harus nonton jugaaa…eh emang si eddy masih hidup?”.
Kata suami saya..”ya kalau gitu mah jangan bilang kapok dong”.
Malam itu saya tidur dengan puas walau kaki encok.
Leave a Reply