Aku tidak populer di sekolah. Sepertinya anak-anak lain tidak suka main denganku. Biasanya aku dikucilkan sambil berbisik-bisik. Mungkin karena aku dekil. Judes pula. Aku juga tidak pernah membawa kue-kue yang enak ke sekolah. Jadi mereka tidak bisa tukar menukar kue seperti sesama mereka.
Aku kadang membawa kue marie regal yang kadang sudah melempem. Kue semprit sisa lebaran yang bau karet gelang karena lupa kumasukkan dengan karet gelang di kotaknya, atau cuma bekal potongan gula merah. Roti lapis mentega dan gula itu jarang sekali. Itu mewah. Apalagi kalau pakai meisjes. Ayah dan ibuku tidak kaya tapi ya tidak miskin juga. Tapi mereka hidup hemat.
Sejak lama mereka menerapkan sistem memenuhi pangan sendiri dari sekitar rumah. Apa sih istilahnya sekarang? Yang jelas rasanya kebutuhan makanan sudah terpenuhi dari halaman kami sendiri, bahkan beras pun ayahku punya sawah sendiri yang digarap orang lain dengan sistem bagi hasil. Ikan ada, ayam ada, bahkan kambing. Telur tersedia baik dari ayam maupun bebek. Jeruk, jambu air, mangga bergantian berbuah sesuai musimnya. Jagung, semangka, kacang panjang, tomat, singkong dan mentimun. Tapi ibuku kadang ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan lain, misalnya sesekali membeli udang atau ikan asin.
Saking banyaknya mangga bila musim mangga tiba, aku sangat pemilih dalam hal buah mangga. Mangga matang pohon yang ranum yang sudah ditandai biasanya. Kalau mangga yang hasil peraman atau kurang manis, no way. Aku sangat pemilih. Soalnya berlimpah. Jenis mangga macam-macam. Arumanis, golek, cengkir, dan simanalagi. Favoritku Arumanis.
Demikian juga dengan jambu. Aku sangat pemilih, pohon buah jambu kelutuk tidak menghasilkan buah yang sama. Ada yang manis renyah, ada yang masam. Ada yangdaging buah tipis, ada yang tebal. Ada yang berdaging buah merah, ada yang putih. Kesukaanku yang bentuknya seperti apel. Bijinya sedikit, rasanya manis dan daging buahnya renyah.
Kembali soal sekolah di TK. Aku tidak punya teman. Cuma seorang anak laki-laki bernama Andrew yang suka mengajak aku ngobrol atau menemaniku main ayunan. Itupun jarang kebagian. Ayunan dan perosotan adalah mainan primadona, dan dikuasai gang anak komplek Sang Hyang Seri. Aku yang datang dari komplek sekolah adalah warga nomor dua.
Padahal kalau main perosotan aku bisa berbagai macam gaya. Gaya duduk terbalik, gaya superman, gaya tiduran, dan macam-macam. Permainan lainnya macam gelantungan di besi-besi bukan favorit anak perempuan, karena celana dalam bisa terlihat oleh orang dibawah. Tapi aku sih dulu tidak peduli.
Kadang aku mendengar gang anak-anak perempuan berbisik-bisik tiap aku lewat, dengan bisikan yang dikeraskan, “CENTIL!”, kata mereka. Bahkan anak-anak yang datang dari satu komplek denganku juga tidak suka main denganku. Mungkin takut ketularan kutu. Mereka semua punya teman gandengan masing-masing.
Aku di kelas sangat antusias. Mengerjakan berbagai tugas dengan semangat, dan suka bertanya ini-itu pada guru. Bahkan protes kalau ada sesuatu yang menurutku tidak sesuai pemahamanku sebagai anak TK.
Sekarang ke sekolah aku tidak pakai mikrolet. Tapi langganan naik becak. Nama penarik becak tersebut adalah Mang Bi’an. Mang Bi’an tinggi kurus dan giginya ompong, sehingga terlihat seolah selalu tersenyum lebar. Kami naik becak berenam, sampai penuh becak itu dengan anak-anak TK bau kencur itu. Sampai sekali waktu, becak itu terguling karena bannya menggilas batu besar. Lutut kami luka-luka. Dan ternyata becak terguling itu tidak terjadi satu kali. Sering.
Favoritku duduk di dudukan becak depan. Merasakan angin segar yang bertiup dan sesekali kakiku bisa menyentuh aspal jalan.
Mang Bi’an punya anak sembilan. Yang kecil seumur denganku. Namanya Nuri. Istrinya gendut sekali dan suka pakai kain kebaya kekecilan dengan kain lurik sebagai bawahan baju. Rambutnya yang beminyak digelung dan di sudut bibir kanan atasnya ada kutil hitam besar sebesar buah leunca. Kalau tidak tahu buah leunca ya buah blueberry lah, tapi lebih besar sedikit dari blueberry.
Mang Bi’an selalu membawa bekal martabak. Bukan martabak lezat dan enak berlemak seperti jaman sekarang. Tapi martabak kampung yang terasa banyak sekali pakai soda kue. Isinya kacang yang rasanya sudah bukan seperti kacang. Tapi kacang bulukan. Soalnya sudah tidak renyah lagi. Martabak ini dibungkus koran. Mang Bi’an selalu membaginya pada kami. Dan percayalah, sampai sekarang aku selalu menganggap martabak Mang Bi’an ini martabak terenak di dunia.
Sampai akhirnya saat kenaikan kelas. Aku diikutsertakan drama musikal yang menggunakan lagu ini, “Kakak Mia, Kakak Mia, minta anak barang seorang, kalau dapat kalau dapat, hendak saya suruh berdagang”…dst. Aku tidak terpilih menjadi Kakak Mia, ataupun petani ataupun pedagang. Aku menari-nari di belakang entah gerakan apa dengan membawa selongsong dus dilapisi kertas berwarna.
Saat pengumuman juara kelas, aneh sekali ternyata aku menjadi juara. Disebutnya dulu bintang kelas. Agak lucu juga bahwa bintang kelasnya adalah seorang anak perempuan dekil yang kadang kancing bajunya hilang lepas, suka meler ingus, rambut merah terbakar matahari dan berkutu.
Leave a Reply