Aku selalu ingin bercerita tentang tempat dimana aku dibesarkan. Tempat ini menurutku sangat indah dan sangat menarik. Mungkin karena aku bahagia tinggal disana. Padahal tempat ini adalah tempat terpencil, gersang, jauh dari kota, dan memiliki tingkat kriminalitas tinggi.
Tempat ini bernama desa Sukamandi Jaya, Kecamatan Ciasem Girang. Secara geografis desa ini berada di dekat sungai yang akan bermuara di pantai utara. Sehingga ada dekat pantai sana agak jauh dari desa tempatku tinggal, desa yang bernama muara. Rumah-rumah di desa sini banyak dari bilik bambu berlantai tanah dengan balai-balai bambu juga. Mata pencaharian sebagian penduduk di kala itu, adalah buruh tani, penarik becak, supir, pedagang di pasar, buruh kasar di kota, dan penjaja cinta di warung remang. Ini betul, warung remang banyak di daerahku tinggal dulu. Walau dulu saya tidak mengerti.
Perumahan tempatku tinggal adalah kesenjangan sosial yang jomplang dengan perumahan desa sekitar komplek. Komplek rumah saya adalah perumahan berbagai tipe sampai yang besar-besar untuk ekspatriat berkebangsaan asing, sekitar kami berpagar duri dan dijaga satpam siang malam 24 jam. Tapi satpam disana baik-baik dan ramah. Bersepeda, senjatanya hanya pentungan karet. Tidak ada yang kekar seperti tentara. Bahkan Mang Wartam, pendek kecil, satu lagi Mang Dadang, tinggi ceking. Ada sih yang agak tegap bernama Hasan Basri, dan dia menjalin cinta dengan pembantuku di rumah bernama Maryati, dan kemudian mereka menikah, pulang ke desa Hasan Basri di Jawa Tengah dan memiliki banyak anak.
Di kelilingi sawah yang sangat luas sampai ribuan hektar, dan desa kumuh berbilik bambu yang kadang beberapa orang menyambung hidup dengan ‘ngasag’, memilah dan mencari bulir-bulir padi sisa panen di pesawahan demi sesuap nasi, komplek kami bergelimang fasilitas. Beberapa rumah ekspatriat ini diperaboti dengan perangkat dan peralatan listrik bermerk General Electric. Sampai ke water heaternya yang besar dan membutuhkan catu daya listrik ribuan watt. Mesin cuci, kulkas yang besar, blender dan oven, juga kompor listrik semua ada dijadikan pelengkap rumah. Asisten rumah tangga, satpam, dan tukang kebun plus sopir dan mobil dinas sudah tersedia.
Saat aku dibawa ke desa ini dari Bandung oleh ibuku, katanya umurku 8 bulan. Ayah ibuku menempati rumah kecil tipe 45 berhalaman luas, ada kolam ikan di belakang rumah, pohon jamblang atau duwet berbuah ungu kehitaman yang sekarang mulai langka, halaman rumput yang lumayan lega dimana anjing kami biasa berlari-lari, dan sebuah pohon jambu klutuk yang batangnya besar-besar bengkok dan tumbuh rendah merunduk sehingga mudah dipanjat.
Adikku lahir saat aku berumur 4 tahun di suatu senja yang mulai gelap. Aku ingat sekali aku melongok ke kamar saat adik laki-lakiku ditimbang dan semua orang tampak girang melihat kelaminnya yang kecil dan coklat itu. Kamar di rumah ini hanya 2 jadi aku tidur dengan ayah dan ibu. Sehari-hari aku bermain dengan anjing atau bersembunyi di belakang lemari dan sibuk berbicara sendiri. Kadang aku menyelinap ke belakang TV hitam putih kami untuk mencari rumah Adi Bing Slamet dan Chica Koeswoyo, juga Bobby anaknya Muksin Alatas, yang sedang ngetop banget sebagai penyanyi anak-anak.
Aku heran dimana mereka bersembunyi saat TV dimatikan. Aku pikir mereka tinggal di rumah-rumah kecil berbentuk kaca yang ada di balik tv itu. Saat itu komponen TV bisa dilihat semua kalau tutup belakangnya diangkat. Aku selalu memanggil-manggil mereka agar keluar dan bernyanyi lagi di layar TV. Tapi rupanya sia-sia. Mereka hanya mau keluar bila jam sudah menunjukkan waktu petang. Itupun kalau setelah acara Hasta Karya, atau belajar Bahasa Inggris bersama Nyonya Nisrina Nur Ubay.
Ibuku dulu bekerja dan aku selalu menangis saat dia pergi ke kantor. Ingin ikut. Umur 5 tahun ayah membawa kami ke rumah yang lebih besar, di komplek ekspatriat yang rumahnya hanya 7 saja. Katanya diminta direktur instansi kami yang orang Manado dan baik hati itu. Namanya Bapak Bernard Hendrik Siwi. Putri tunggalnya bernama Natalia Carolina. Karena lahir di Amerika, di Caroline Utara.
Suatu sore dengan mobil bak terbuka kami pindah rumah. Anjing kami berlari mengikuti kami, sementara ibuku menggendong adik bayi laki-laki, dan aku disuruh menjaga bungkusan berisi pecah belah agar tidak terguncang dan pecah berantakan.
Dan rumah yang besar ini sungguh lapang. Aku sibuk kesana kemari melihat perabotan rumah dan perabotan rumah tangga yang tersedia yang menurutku mengherankan sekali. Aku kagum melihat blender dan oven besar yang sepertinya aku muat di dalamnya. Kulkas juga besar sekali aku juga bisa bersembunyi disitu.
Tiap kamar sudah tersedia ranjang dan lemari kayu yang tinggi sampai ke langit-langit. Ada kamar mandi besar dengan bath tub dan shower, yang mana ini sangat membuat aku bahagia dan seringkali aku mandi berjam-jam disitu.
Biarkan aku bercerita tentang rumah dimana aku tinggal bertahun-tahun kemudian ini, karena aku sangat mencintai rumah yang kini tinggal puing itu.
Dari segi model sebetulnya biasa saja dibanding dengan model rumah jaman sekarang, besarnya mungkin 250m2. Dari depan jalan utama ada jalan masuk sekitar 2o meter menjorok ke depan rumah. Rumah-rumah besar ini hanya 7 mengeliling sebuah lapangan rumput berbentuk oval dengan pepohonan akasia dan berbagai pohon peneduh lainnya di sekelilingnya.
Jalan masuk kecil ini dipagari dengan semak pohon bunga sepatu atau disebut juga bunga raya di pinggirnya. Bunganya berwarna merah, salem, oranye dan putih. Semarak dan cantik sekali. Bila dipangkas semak ini mengeluarkan wangi daun yang menyengat yang baunya sampai sekarang aku masih bisa membayangkan. Ada pohon flamboyan juga di halaman rumah kami yang luas ini, bunga-bunga merah oranyenya sangat bagus bila sedang berbunga dan berguguran ke halaman. Ada pohon-pohon mangga arumanis yang buahnya manis sekali, pohon jambu kelutuk yang rajin sekali berbuah sampai rasanya aku tidak bisa suka lagi buah jambu saking seringnya makan buah jambu. Ada pohon kersen yang menjadi pohon favoritku setiap selalu, dan masih banyak pepohonan lainnya yang aku sangat suka.
Rumah dinas ayahku berwarna abu-abu dan putih. Atapnya dari kayu sirap. Kamar berjumlah 4 dan 2 diantaranya dipasang AC yang saat itu adalah barang mewah sekali. dan juga ada gudang. Tiga kamar mandi dan ruangan-ruangan lain sesuai fungsinya. Tiba-tiba perabotan yang dibawa ibuku terasa sangat sedikit di rumah luas ini. Di teras depan ada ruangan dengan tembok dari batu alam. Ini ruangan terbuka dan setiap sisinya dipasang kawat nyamuk, mungkin ini tempat cari angin duduk-duduk di depan. Kawat nyamuk karena nyamuk disini ganas sekali. Satu sih, tapi temannya ribuan.
Mobil ayahku adalah Jeep Hardtop berwarna merah. Tadinya mobil kami adalah Landrover abu-abu, sempat ganti jadi Jeep Canvas. Yang terakhir ini Jeep Hardtop tetap dipakai ayahku puluhan tahun, sampai aku bekerja dan kami pindah ke Bandung.
serasa baca salah satu bukunya Laura, di kampung para pekerja pembuat rel kereta api
hayu dodi, kita tulis cerita tentang masa kecil..