Hari ketiga di tempat terisolasi ini. Aku tidak terlalu memperhatikan Kevin. Lagipula setiap hari ada tugas yang banyak. Malam-malam aku dan Dian sibuk mengerjakan tugas yang diberikan trainer untuk presentasi esok hari. Aku lihat Kevin dan Simon sih riang gembira selalu, tugas-tugas juga selalu selesai dan dipresentasikan dengan baik. Kalau sedang berkumpul di ruang rekreasi, kerjaan mereka berdua adalah menelepon. Kadang mereka ke ruang fitness, lain hari entah apalagi.
Simon menunjukkan foto pacarnya yang ada di dompetnya padaku. Aku melongo melihatnya, loh kok kayak kenal, kataku. Ternyata dia Sinta teman satu kampus denganku, namun beda jurusan. Kelak Sinta sering curhat padaku, tentang hubungan cintanya dengan Simon. Mereka beda keyakinan. Simon katolik, dan Sinta protestan.
Kevin sendiri setelah asik kasak kusuk menelepon di pojokan dengan entah siapa dengan mesranya, duduk disebelahku dan menunjukkan sms-sms di handphonenya padaku. Norak sekali. Ngapain juga aku disuruh baca. Sekilas kulirik, ternyata dia dan pacarnya saling memanggil dengan kata “Mama” dan “Papa”. Huekk.
Ada peserta training di kelasku bernama Inne. Dia cantik sekali. Tinggi langsing, mata besar dengan bulu mata lentik. Dia juga percaya diri dan sangat mendominasi di kelas. Dan sepertinya dia menikmati perhatian para lelaki padanya. Beberapa banyak yang sering iseng untuk menarik perhatian Inne. Tapi rupanya sih Inne naksir Kevin. Sering kulihat dengan sudut mataku, ia menatap Kevin atau mengajak berdiskusi dan sudah pasti Kevin selalu diajak sekelompok dengannya bila ada tugas kelompok.
Dian teman sekamarku dan sama-sama dari Bandung, tadi malam ngotot bilang padaku kalau Kevin naksir aku.
“Masa sih?” kataku sambil bengong memindahkan saluran tv dari setu saluran ke saluran lain.
“Iya, aku sering lihat dia tuh suka liatin kamu!”
“Tapi kayaknya Inne suka..” kataku datar
“Ah Inne mah cari perhatian aja, soalnya Kevin cuek, sementara yang lain banyak yang jadi pengagum!” kata Dian semangat.
“Kevin udah punya pacar Dian”, kataku.
“Aku baca sms di handphonenya, tadi dia yang kasih lihat malah”
“Oh ya..? Siapa?”
“Pramugari katanya, gak tau sih namanya siapa”
“Trus kamu bilang apa?”
“Gak bilang apa-apa.., gak ngerti juga maksudnya apa..pamer gitu?”
“Iseng kali..” Dian lalu asik menelepon pacarnya, kepalanya ditutup selimut. Terdengar gumaman dari balik selimutnya. Aku heran dia bisa bernapas. Aku sih tidak bisa ngobrol dibawah selimut. Pasti pengap.
Keesokan hari kami mendapat tugas untuk membuat prakarya. Bebas dibuat dari bahan apa saja dan harus dipresentasikan di depan kelas. Ini bukan tuga kelompok, jadi setiap individu membuat tugasnya sendiri-sendiri. Kami boleh membeli bahan-bahan sederhana di kota terdekat, yang penting sih bukan apa yang dibuat, tapi bagaimana kita nanti presentasi menjelaskan proses pembuatan dan tujuannya. Kira-kira begitu.
Kami pergi naik angkot beramai-ramai ke kota Purwakarta, kota terdekat dari tempat kami diisolasi. Kevin menolongku naik, duduk di sebelahku, merangkul pundakku bila angkot terguncang akibat masuk ke lubang-lubang jalan yang besar, dan membantuku turun. Inne yang duduk di depanku, tampak sangat tidak suka.
Di pertokoan Kevin menemaniku, aku membeli sumpit-sumpit bambu, lem dan kertas. Sempat saat aku berdiri di trotoar depan toko dia menghilang,
“Tunggu ya..” katanya.
Aku menunggu sambil mengobrol dengan Dian, teman-teman yang lain tampak lalu lalang kesana kemari membeli makanan ringan dan sebagainya. Ada juga yang beli bakso.
Kevin datang membawa kantung plastik dan mengangsurkan padaku.
“Ini buat kamu”, katanya.
Isinya anggur dan jeruk. Sambil mencari angkot untuk pulang, kami tertawa-tawa sambil makan buah-buah tersebut.
Malamnya aku sampai malam berkutat membuat lampion dari bahan-bahan yang aku beli tadi sore. Dian membuat sabun dengan pita-pita dan jarum pentul. Huh ternyata ribet. Lem yang aku beli tidak melekat kuat. Jadi kuikat dengan benang. Hasilnya tidak seratus persen seperti yang aku harapkan. Agak miring-miring sudutnya.
Besoknya adalah hari presentasi. Kami satu per satu ke depan dan menjelaskan proses dan apa yang kami buat. Macam-macam yang dibuat teman-teman. Ada yang membuat origami, topi kertas, bunga kertas, asbak, dan sebagainya. Inne membuat lukisan dua ekor kijang di sebuah bukit dengan background matahari senja. Kijangnya tampak sebagai silhoutte. Bagus sih.
Teman yang presentasi akan dikritisi dan diberi komentar oleh teman-teman yang lain. Aku sih tidak banyak memberi komentar, paling bertanya sedikit pada proses pembuatan dan perencaraan terkait project tersebut.
Inne dipuji-puji oleh barisan pengagumnya, dan dia tampak bangga.
Giliranku ke depan, aku jelaskan bahwa yang aku buat adalah lampion walaupun tanpa lampu di dalamnya atau pun lilin. Yang lain tidak banyak berkomentar, namun tiba-tiba Inne berdiri, dan mencecarku dengan pertanyaan, lalu dia berkomentar,
“Ini hasil karya paling jelek yang saya lihat”, katanya sinis. Aku hanya mengangkat alis. Ada apa dengan Inne.
“Kalau kata saya ini mirip banget dengan toilet di kampung yang di atas kolam itu!”, katanya sambil tertawa.
“Gak ada mirip-miripnya dengan kap lampu, cuma mirip WC” katanya.
Aku heran, salah apa aku pada Inne? Tapi aku hanya mengucapkan terima kasih atas kritikannya dan kembali duduk. Aku malu sekali jadi aku diam saja sambil agak menundukkan kepala. Saat itu memang aku agak pendiam, kurang percaya diri dan agak pemalu.
Hari terakhir, semua harus mengisi kertas tentang pendapat terhadap peserta lain. Baik itu jelek maupun bagus. Semua bebas mengkritik atau memuji. Bebas.
Aku sih memberi komentar netral pada semua orang, oh ya kami total hanya 12 orang 5 wanita dan 7 pria. Jadi tidak terlalu pegal mengisi 12 lembar kertas. Kami lalu diminta ke depan untuk membaca pendapat orang lain tentang diri kita. Satu persatu.
Kami tertawa-tawa saat ada yang membaca komentar yang lucu. Kebanyakan sih komentar lucu-lucu tentang sifat dan kepribadian orang yang bersangkutan. Atau prestasi menonjol dari Acil, atau biang onar seperti Kevin. Sampai terakhir giliran Inne membaca kertas-kertas yang berjudul namanya.
Dia tersendat membacanya, satu per satu dari satu kertas ke kertas lain, isinya kurang lebih sama, kecuali punyaku dan satu kertas lain, mungkin Acil. Karena Acil selalu sebangku dengannya dan terlihat memuja Inne. Karena aku tidak menuliskan hal-hal yang mengkritisi.
“Inne kamu cantik, tapi sombong”
“Inne kamu sok pintar dan menganggap orang lain semua bodoh”
“Inne kamu percaya diri tapi senang melecehkan orang lain”
“Kamu pikir keren ya mengolok-olok orang lain? Belajarlah menghargai orang”
Sampai kertas terakhir, kulihat air mata mulai bercucuran di pipinya. Lalu dia dengan terbata-bata berkata, bahwa dia tidak pernah bermaksud buruk pada semua orang, dan dia tidak menyangka semua orang berpendapat dia begitu menyebalkan. Kalau apa yang dia perbuat menyinggung orang lain, dia minta maaf. Begitu katanya.
Aku tidak yakin ucapan dia ini tulus. Karena mata dan bibirnya terlihat tidak sinkron. Matanya menyorotkan kekesalan, bukan penerimaan.
Sambil tersedu Inne duduk kembali dan kulihat Acil menghibur sambil menepuk-nepuk pundaknya.
***
Hari terakhir tiba, 8 hari kami disini. Cukup lama ya? Bis kecil yang membawa teman-teman ke Jakarta sudah datang. Aku sendiri dijemput adikku kembali ke Bandung. Dian dijemput pacarnya. Aku melambaikan tangan pada teman-teman yang berangkat. Kulihat Kevin melambaikan tangan, dan berteriak,
“Makasih celananya yaaa!”
Aku menjulurkan lidah sambil melambai padanya. Entah kapan bertemu lagi. Lokasi kerja Kevin di Jayapura. Jauh sekali ya?
***
Sampai rumah orang tuaku, kulihat ada mobil yang kukenal. Jantungku serasa berhenti. Mobil mantanku. Mau apa dia kesini? Aku masuk dan terlihat dia sedang duduk di ruang tamu. Tampangnya tampak berlipat dan marah.
Dia berdiri menghampiriku, tanpa banyak kata lalu menampar pipiku.
Aku sangat marah. Ingin kutampar lagi pipinya, tangannya memegang tanganku, terasa sakit sekali.
Aku berteriak-teriak minta dilepaskan, lalu perutnya kutendang. Tampak orangtuaku keluar dari ruang dalam. Aku berlari mengambil kunci mobilku, lalu aku pergi. Di jalan aku menelepon orangtuaku. AKu bilang aku mau tidur di hotel saja. Kusebutkan sebuah nama hotel tak jauh dari tempat kerjaku.
***
Malam hari aku termenung di kamar hotel. Sendirian. Aku sedih dan kesal sekali. Mau apa mantanku itu? Urusan kami sudah beres. Kenapa dia berani memukulku di depan orang tuaku? Sudah gila rupanya. Dari telepon aku diceritakan kalau dia berusaha menyusulku tapi ditahan ayahku. Setelah beberapa omongan marah dari ayahku, dia lalu pergi. Harusnya lapor polisi kataku, tapi tamparan di pipiku tidak terlalu keras sepertinya. Sekarang tidak terasa sakit dan tidak ada bekas merah lagi.
Jam menunjukkan jam 8 malam. Aku berendam di bathtub kamar mandi. Kuletakkan handphoneku di pinggir beralaskan handuk biar tidak basah.
Terdengar sms berbunyi, aku raih dan membacanya.
“Hai Kyra..lagi apa? pasti kamu sedang mikirin aku. Pasti kamu rindu. Tenang saja, aku juga kangen kok sama kamu…”
Kevin yang mengirim sms itu.
***
Leave a Reply