Kutuliskan selagi kenangannya masih hangat menggenang…memerah mengalir dari luka yang banyak orang mengatakannya itu adalah cinta. Entah cinta jenis yang mana.
Kami disini bersembunyi dari luka yang kami buat sendiri. Untuk sejenak melarikan diri dari keramaian dan menambah luka dengan menorehkannya dalam-dalam. Namun saat ini kami pasti belum menyadari itu adalah luka meluka di atas luka.
Biarlah untuk suatu saat di seprai putih itu aku berbaring…memainkan saklar lampu di dinding. Melihat sebelah mana saja yang menyala. Lalu bersorak norak saat ada selarik lampu deret pada partisi berkelap-kelip dan kukomentari, “wow ..seperti lampu disko!”. Yang mana tidak ada sahutan. Tentu saja.
Biarlah untuk suatu jam dimana aku sibuk menggigit mulutmu dengan garang dan kau cubit lidahku sampai aku berteriak “kenapa selalu tiap kita bertemu muka..selalu kau buat aku cedera?”.
Biarlah untuk menit-menit yang kami rampok dari entah siapa karena toh kami sudah saling memiliki sejak pengakuan dari yang lain itu ada. Untuk jalinan kaki yang saling berkait dan tumpahan cinta tanpa ucapan cinta..namun entah kenapa aku tahu itu memang cinta. Kenapa? Karena ini sungguh meluka.
Untuk sesaat denganmu saat kau tertidur di pelukan..dan kurangkul kau dengan sayang. Kukecup kening, alis dan matamu yang sudah pejam. Kupeluk kau dekat ke dada dan kukatakan “sayang, malam sudah menjelang”.
Tak sanggup lewat kata lebih banyak, karena mungkin artinya jadi sirna. Kutitipkan saja kata-katanya lewat sentuhan, tangisan, gelak tawa saat berbagi secangkir kopi hitam dan segelas air lemon dingin di kafe lengang.
Leave a Reply