Jadi ini adalah cerita dua dekade lalu.
Senja menjelang dan dia mengajak aku ke pantai itu.
Perjalanan jauh dan sama sekali aku tidak bisa mengingat jarak dan rute yang kami lalui lagi. Sudah terlalu lama. Lagi pula itu kali pertama aku datang ke kota itu. Kota yang jauh berhitung ribuan kilometer dari tempatku tinggal.
Yang aku ingat adalah pasir pantainya. Warnanya krem menuju coklat tua. Pantai yang belum mengenal sampah manusia. Hanya serakan pelepah daun kelapa dimana-mana. Pantai ini tampak memanjang sejauh mata memandang.
Anginnya terasa dingin.
Aku terheran. Angin pantai biasanya panas atau hangat. Ini membawa butiran kelembaban dan dingin yang menghembus sampai ke tulang.
Dia merangkul pinggangku. Merengkuh pundakku sambil berjalan. Celana kami gulung sebatas lutut. Debur ombaknya lembut. Air laut tidak mencapai basah pakaian kami berdua. Aku bercelana jeans dengan atasan rajut berwarna biru campur merah dan kuning. Dia juga mengenakan jeans dengan kaus putih. Semua hal kecil masih terpatri dalam ingatan.
Kami ke pantai ini bersama teman-teman lain. Namun serasa waktu hanya milik kami berdua. Langkah-langkah kami berdua menjejak di pantai ini. Langkah dua orang yang sedang jatuh cinta. Mimpi-mimpi kami jauh dan ciuman kami nyata. Sesekali dia kecup bibirku, pipiku dan keningku sambil berjalan.
Dia itu cinta dan cinta adalah dia. Saat itu aku berpikir dia saja dan selamanya.
Di pantai ini juga dia berjanji. Suatu saat kami kembali kesini untuk satu kali lagi. Setelah pernikahan kami yang ternyata tidak pernah terjadi. Tapi janji itu selalu saja terlintas tak pernah lepas. Mungkin hanya aku saja yang mengingat sedangkan dia baginya hanya angin selewat bebas.
Leave a Reply