Kami berbaring bersisian. Aku berbaring diam-diam menatap langit-langit kamar. Selimut katun yang terasa lembut dan renyah ini kutarik sampai batas leher. Aku kedinginan dan tanpa pakaian. Malam sudah larut dan kami belum tertidur. Tadi dia datang lewat tengah malam. Dan tanpa banyak bicara kami langsung bercinta habis-habisan. Aku berdiam diri dan kembali melihat langit-langit. Pikiranku tidak jelas mengarah kemana. Sepertinya memang aku tidak sedang ingin berpikir apapun. Eternit kamar ini juga putih bersih. Tanpa noda setitik. Lampu yang menyala hanya di sudut kamar. Cahayanya kekuningan terbias kap lampu membentuk bayangan di dinding.
Dia berbaring miring membelakangiku. Gesture yang menjengkelkan sebetulnya. Tapi aku tidak dalam mood untuk mengomel masalah ini. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menjengkelkan aku. Dia pernah suatu waktu bilang tidak bisa tidur bila harus sambil memeluk. Jadi daripada ditolak dan aku jengkel sendiri lebih baik aku juga membelakanginya saja dan menumpuk bantal di antara kami berdua. Biasanya bila kubuat demikian, dia yang akan berusaha memelukku dengan segala cara. Tapi saat ini aku diam saja.
Dia gelisah.
Lalu dia memintaku mengelus pundak dan punggungnya sambil sesekali minta digosok. Aku lakukan sambil bersungut-sungut.
Akhirnya aku tanya, yang pasti pertanyaan yang sama. Tapi selalu akku tanyakan berulang-ulang, seperti radio rusak yang butuh ditendang.
“Sayangkah kau padaku?” tanyaku datar.
“Perlukah dijawab?” katanya bergumam.
“Perlu..”, kataku. Dan tambahku, “dan kenapa kau sayang padaku”.
Lalu dia katakan dengan nada mengantuk,
“aku kasihan padamu…”
“KASIHAN!??! apa sih maksudmu? Aku tidak butuh dikasihani!” kejengkelan dalam perkataanku terungkap dengan cubitan keras dan cakaran pada pinggangnya.
“ADUH!”, katanya kesakitan, tapi dia tidak menepis tanganku.
“Ya kasihan.. kenapa ya? Aku juga tidak tahu…ya kasihan saja…semacam perasaan sedih kalau aku ingat kamu”, katanya.
Mengingat perjalanan hidupku yang memang bisa dikatakan menyedihkan, terutama kisah cintaku yang amburadul, bisa saja memang dia kasihan padaku. Apalagi penyebab kesedihanku memang terutama karena dia. Tapi sebetulnya aku mengharapkan jawaban yang lebih romantis dibanding perasaan kasihan.
“Lalu apa lagi?” desakku. Perempuan memang konon menjengkelkan dalam melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang perasaan seperti ini.
“Karena kamu maniak..” katanya. Terdengar nada senyum dalam suaranya walau aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia membelakangiku, aku tahu dari nada suaranya bahwa ia mengatakan sambil menahan tawa.
“MANIAK??? MANIAK KATAMU??!!” kali ini aku benar-benar jengkel dan jengah.
“sex maniak maksudmu?” kali ini aku memukul punggungnya.
“Loh iya kan…bukan sama banyak lelaki maksudku, kamu maniak, tapi hanya padaku.” Penuh percaya diri dia mengatakannya.
Kutendang kakinya, dan kubalikkan tubuhku membelakangi dia.
Dia bergerak mendekatiku, memelukku dari belakang, mencumbuiku dengan ciuman di pundakku, kakinya melingkari kaki. Terasa hangat mulai menjalari tubuhku, aku mengeluh dan menarik napas panjang terbawa gairahnya.
Menjengkelkan sekali.
Leave a Reply