Pagi hari adalah saat dia menelepon. Percakapan panjang dan lama. Biasanya tentang mimpi-mimpi kami berdua. Yang tidak masuk akal dan kemungkinan terjadi hanya satu berbanding milyaran bintang di langit. Tapi kami tertawa dan bahagia dengan mimpi kami. Karena mimpi kebahagiaaan itu milik kami sendiri. Sangat pribadi. Primitif dan sederhana sebetulnya.
Tentang anak lelaki yang ingin dia miliki dariku. Tentang keinginan menuntaskan rindu di rumahku. Atau perjalanan berdua ke negara-negara lain. Kadang berkhayal pergi berdua saja ke Taman Safari di Bogor. Atau ke Lego Land. Bukan sesuatu yang aneh dan luar biasa sebenarnya. Tapi bagi kami itu sesulit menyelesaikan persamaan kuadrat dengan otak terbelakang.
Jadi cukup aku dan dia tertawa saja. Kadang dengan helaan napas panjang. Kadang dengan saling menyalahkan. Untuk mimpi-mimpi sederhana kami. Bahkan kami tidak bisa meraihnya. Karena jalan yang sudah aku dan dia tempuh sudah bercabang dua dengan arah berbeda. Tidak ada titik temu. Kecuali percakapan tentang masa lalu. Dan kata-kata berandai-andai selalu.
Aku dan dia saling berbagi cerita sambil berbaring..serasa bersisian walau diantara kami terbentang jarak seribu pulau. Lalu terlontar,
“Bukankah kita bahagia begini saja?”
Katanya suatu waktu.
“Bagaimana dengan dosa” tanyaku pada dia.
“Dosa kalau aku menyakiti kamu” katanya sederhana.
“Dosakah kalau aku selalu ingin menjaga kamu?”
Aku terdiam.
Lalu pembicaraan terganti dengan desah dan dipanggilnya namaku dengan resah.
Leave a Reply