Jam sudah menunjukkan angka 4 sore.
Aku sibuk mengetik di belakang mejaku, saat di ruangan kerjaku terdengar riuh sapaan teman-temanku pada seseorang yang datang.
Tampak seorang pria dengan celana jeans, dan T-shirt Polo warna biru tua menyalami teman-temanku satu divisi dengan hangat. Via, Bram, Devi, Anto, Nelly, semua bergiliran mengobrol menyapa orang yang baru datang itu. Semua bangkit dari kursi masing-masing.
Kevin.
Aku bangkit perlahan. Dari awal datang tak sedikitpun Kevin menoleh ke arahku. Dia seolah menganggap aku tidak ada.
Hah.
Dengan langkah pelan aku sampai mendekati dia. Tak juga dia menoleh. Dia pura-pura. Karena teman-temanku semua menoleh kepadaku. Sambil tersenyum penuh arti.
Malas banget deh dicuekin model gini. Tapi demi sopan santun aku tak urung menyambanginya.
“hai..” kataku. Sambil mengangsurkan tanganku menyalaminya. Dia membalas salamku sekilas.
“apa kabar?” tanyanya basa-basi.
“baik..” sungguh percakapan standar yang garing. Salah tingkah aku kembali ke mejaku. Kevin melanjutkan percakapan di ruang Bram, yeah jabatan Kevin di atas Bram sekarang. Karirnya melesat bagai roket.
Bertahun-tahun tidak bertemu, rasanya Kevin belum berubah. Memang tidak sekurus dulu lagi. Dengan rajin rupanya ditimbunnya lemak di sekitar perutnya. Masih rata. Namun dia membesar. Mungkin bertambah bobot 8 atau 10 kg.
Tadi sempat kulirik lehernya. Melihat apakah masih ada kalung yang sama masih dia pakai atau tidak. Ternyata masih ada.
Tak terasa jam menunjukkan pukul lima, saatnya pulang. Kubereskan tasku dan kuraih kunci mobil dari dalam laci mejaku.
Handphoneku berdering. Kevin.
Kuangkat kepala, melihat menyeberangi ruangan. Melalui ruang dengan kaca, tak kulihat ada Kevin disana. Sudah pergi rupanya.
“Halo..” kataku dingin. Aku masih kesal dianggap angin lalu di depan teman-temanku. Setidaknya ya kan. Kami punya masa lalu. Masih berteman. Kenapa dia perlakukan aku seperti itu.
“Keluar dong, aku tunggu dekat lift” katanya memaksa.
Tanpa menjawab, kumatikan telepon dan melangkah keluar ruangan.
Kevin berdiri di depan lift. Dekat sebuah tong sampah dari logam dengan lekukan berisi pasir di atasnya untuk mematikan rokok. Resepsionis yang biasa ada di depan ruangan tak kulihat di mejanya yang biasa.
Kuhampiri dia, sebelum bibirku mengeluarkan kata ‘ada apa’, Kevin mencium bibirku sambil menarik tangan kananku mendekat.
Aku kaget.
Tong sampah tak sengaja tersenggol kakiku yang tiba-tiba goyah tak kuat menahan beban tubuh.
Suaranya nyaring berisik.
Pasirnya berhamburan.
***
Dengan konyolnya kami kabur memasuki lift sebelum ada orang lain datang menghampiri melihat apa penyebab bunyi nyaring dari tong sampah yang terguling. Terengah-engah seperti dua remaja bloon, kami turun ke basement. Kevin menggandeng tanganku.
“Mobilmu mana Kyra?”
“tuh..” daguku menunjuk ke kanan ke arah mobil biru tuaku.
“hyuk..mana kunci mobilmu?” Sikap Kevin berubah posesif. Tangannya melingkari pundakku sambil berjalan ke mobil. Giliranku yang panik melihat sekeliling. Habis aku digoda teman-temanku nanti bila melihat aku dan Kevin seperti ini. Seperti…seperti dulu. Bertahun-tahun yang lalu.
“Kemana kita Vin?” tanyaku lugu saat sudah duduk di dalam mobil. Kevin meluncurkan mobilku ke jalan raya yang padat dengan kendaraan. Seperti biasa, bubar jam kantor jalan raya depan kantorku terkenal dengan macetnya.
“Makan..” katanya.
“Emang kamu engga mau menemaniku makan?” Lanjutnya. Tangan kirinya menggenggam tanganku. Tangan kanan menyetir. Aku tidak menjawab. Pikiranku sibuk. Lagipula aku kok masih kesal gara-gara tadi saat dia datang, dia menganggapku angin lewat belaka.
Ih, aku selalu cemas bila Kevin membawa mobil, soalnya dia suka iseng berzigzag. Sekedar menggodaku.
“Kemana kita?” katanya lagi.
“Yaudah..PVJ saja” jawabku. PVJ, Paris Van Java. Diajak makan apa ya Kevin nanti disana, pikirku.
“Eh ini lewat mana nih?” kata Kein.
“Ga tau… ini jalan apa sih, kok jadi lewat sini?” kataku. Cemas kulihat jalan di depanku. Loh kok sudah bukan di jalan utama. Jalanan di depan kecil dengan pohon besar di kiri kanan. Tadi seharusnya kami belok kiri. Ini rupanya ke kanan, ke daerah perumahan tentara.
“Lah yang orang Bandung ini siapa? Masih engga hapal jalan? Yaaa ampuun..dasar bolot!” Kevin menggumam sambil membelokkan mobil.
“Ya kalau di daerah ini aku gak hapal…”
“Bolooot…” katanya
“Bodo amat, biarin!”
“Jalan aja engga hapal, payah”
“Biarin” aku cemberut. Kevin tertawa.
Akhirnya kembali ke jalan utama dan kami sampai di PVJ. Lampu-lampu jalan sudah menyala. Di halaman parkir dan pepohonan rangkaian lampu-lampu kecil tampak berkelip-kelip.
Kami makan di Thai Suki.
Kevin bertanya padaku,
“Selama ini kamu baik-baik saja kan Kyra” tanyanya tanpa melihat mataku. Bibirnya meneguk secangkir kopi.
Dia menyalakan rokok, dan menghisap perlahan. Asap bergelung tak segera buyar, karena senja ini angin rupanya enggan lewat.
“Baik”, jawabku pendek. Aku pun memesan kopi. Kulihat busa di atas permukaan kopi panasku.
Tangan Kevin menggenggam jariku di bawah meja. Dia menarik jari-jariku ke bibirnya. Mengecupnya.
Menarik bahuku dengan merangkulku dekat ke dadanya.
“Tahukah kamu Kyra? Perempuan yang aku sayang itu ada dua. Kau, dan istriku…”
Tenggorokanku tercekat.
Huaa….
OMO!!
Today, I went to the beachfront with my kids.
I found a sea shell and gave it to my 4 year old daughter and said “You can hear the ocean if you put this to your ear.” She put the shell to her ear and screamed.
There was a hermit crab inside and it pinched her ear.
She never wants to go back! LoL I know this is completely off topic but I had to tell someone!