Sore itu aku sedang berkutat di lemari belakang mejaku, mencari-cari beberapa berkas untuk laporan pekerjaan saat handphoneku berdering-dering melagukan potongan lagu Creed.
Kulirik layar. Ternyata nomor dia. Aku memang tidak menyimpan nomor dia di daftar kontak. Aku hapal semua nomor telepon genggam miliknya.
Kuhela napas, sambil menekan ring off. Biar saja dia terus menelepon aku. Aku sedang tidak minat mengobrol. Apa lagi sih yang akan dibicarakan? Sudah tidak ada bahan pembicaraan. Sudah berakhir. Sudah lama berakhir. Sudah.
Kutinggalkan teleponku menggeletak begitu saja di atas meja dengan mode silent. Aku pergi ke meja rekan kerjaku membawa berkas yang sudah kutemukan dan membahas pekerjaan dengan Ratna. Rekan kerjaku lain departemen. Ruangannya di sayap sebelah kanan satu lantai denganku.
Tak terasa lebih dari setengah jam aku membahas proyek dengan Ratna. Detail presentasi dan persiapan lainnya. Saat kembali ke mejaku, aku melihat sudah lebih dari 20 missed call di layar tertera. Dari orang yang sama.
Aku jadi tidak tega. Ada apa ya? Mungkinkah ada hal yang penting?
Saat handphoneku menerima panggilan lagi, akhirnya aku tekan tombol menerima panggilan.
“Ya..hallo…ada apa?” kataku pelan. Beberapa rekan kerja di depanku tampak sibuk dan berbicara satu sama lain. Aku menyingkir ke sudut ruangan, berdiri di depan jendela kaca besar dan melihat pada lalu lintas jauh di bawah sana. Tampak kendaraan memadati jalanan di depan gedung kantorku. Langit cerah dan indah. Sore ini awan-awan bersaput warna emas di kejauhan, tampak seperti semburan busa, dan awan seolah selarik selendang bidadari memanjang di langit bercahaya jingga.
“Kenapa dari kemarin tidak mau angkat telepon, sibuk kah?” tanyanya merajuk. Dia berbeda kota denganku. Dia menjabat sebagai salah satu pimpinan tertinggi di perusahaanku, sementara aku hanya staf biasa.
“sibuk…kalo kemarin kan udah bilang, aku sakit” Padahal bohong, kemarin aku tidak sakit. Kemarin aku cuti. Berkali-kali kemarin dia pun menelepon dan mengirim pesan lewat Line. Yang aku jawab pendek dan aku buka dengan jeda lama setelah dia kirim. Adakalanya aku ingin melepaskan diri dari dia. Ingin aku membebaskan pikiranku otakku dari kegilaan keinginan bersamanya, keinginan bersama yang aku tahu tidak akan terjadi. Tidak akan pernah terjadi. Mungkin di kehidupan lain. Bila saja memang ada kehidupan lain.
“Sibukk teruuuss, sibuk apa?”
“Ini diminta untuk mengirim laporan pada Bu Vonny, kontrak-kontrak yang masih aktif sampai tahun depan” Jawabku sambil mengetik, handphone aku jepit antara teling dan pundak. Pegal. Aku mencari-cari handsfree. Bila Kevin menelepon, jarang sekali hanya sebentar. Tigapuluh menit itu minimal. Aku harus bersiap-siap jika tidak ingin sakit leher.
“Sudah tanya ke Bu Vonny untuk apa laporannya?”
“Enggak” dan aku langsung tahu Kevin akan bilang apa selanjutnya,
“Dasar bolot, tanya dong buat apa”
Sebagaimana biasa, Kevin memang memiliki kebahagiaan tersendiri untuk mengolok-olok aku, atau mengataiku bolot. Itu bagian dari hobinya.
“Ah paling juga buat hitungan budget sampai tahun depan”, jawabku enteng.
“Ya tanya dong buat apa, ga bisa gitu… disuruh itu harus jelas buat apa”
“yeah ..yeah..yeah…” aku menjawab dengan nada suara di film kartun.
“tuh kan kalo dikasi tau, selalu aja gitu” kata Kevin. Mendengar dia berbicara santai, yang sebenarnya jarang terjadi ini mengingat kesibukannya, tak urung membuatku penasaran,
“Eh Vin, lagi gak ada kerjaan ya? Kok jam segini telepon-telepon. Kangen ya?” tanyaku.
“Engga”
“Ah ngaku aja, dari kemarin nelepon-nelepon. Pasti kangen. Iya kan? Iya kan? ngaku dong!!”
“enggak”
“Ah iya!”
“Enggak”
“Kamu itu ngeselin, ngaku aja kenapa? kalo emang kangen ya bilang aja. Dasar pelit. Ngomong kangen aja susah, ada ya orang sepelit itu, sampai bilang kangen saja enggak mau!” kataku berbicara cepat dan kesal walau tetap dengan suara pelan.
“Lho kok jadi sewot?”
“Lha ya ditanya gitu aja gak mau ngaku, ngaku enggak? kalau enggak, teleponnya aku tutup”, kataku judes.
“IYA IYA KANGEN!” PUAS?!”
“hehehe”
“puas?”
“Yaudah yaudah.. terus lagi ngapain di kantor? Ini beneran lagi pengangguran ya?”
Jeda sebentar. Terdengar sekretarisnya masuk ruangan dan berbicara soal penandatangan dokumen. Sekretarisnya tinggi langsing putih cantik bermata indah berkawat gigi dan seksi. Aku pernah bertemu Saskia. Nah bayangkan Saskia sebagaimana sekretaris ideal sebagaimana sekretaris cantik seharusnya. Bayangkan dengan baik. Oke? Sekarang bayangkan sebaliknya dari Saskia. Itulah aku. Kecuali soal putih. Aku berkulit putih. Hanya itu persamaanku dengan Saskia.
Kevin melanjutkan obrolan tidak pentingnya di sore itu.
“Eh tau tidak Kyra, aku lagi main Sudoku”
“Trus kenapa kalau main Sudoku?” tanyaku tanpa minat. Sudoku, mainan kotak-kotak diisi angka. Terus kenapa?
“Ya aku kan pinter matematika”
“dan kalau pintar matematika?”
“Nilaiku sepuluh waktu lulus SMU”
“So what gitu loh?”
“Ya kalau Kyra kan ga mungkin dapat sepuluh”
“Trus pikirmu aku berapa nilainya hah?” Kevin selalu senang membuatku kesal.
“Lima! Hayoh ngaku! Nilainya Lima kan?”
“Enak aja! salah tau!”
“Ah pasti lima hayoh ngaku!” katanya maksa.
“Salah weks. Nilaiku mau tau berapa?”
“Berapa emang?”
“DUA! HAHAHAHA!” kataku dengan puas.
“BOLOT!”
“Biarin, yang lain kan bagus”
Lalu kami terdiam.
“Anak kita pintar tidak matematikanya?”
“hmmm…sekarang mulai pintar sih, nilainya bagus-bagus”
“Tuh kan mirip bapaknya”
“Kamu itu selalu deh, kalau yang bagus mirip bapaknya, yang jelek kau bilang mirip aku”
“Memang…..” Lalu kami terdiam.
“Coba kau biarkan anak kita ikut denganku”, katanya lagi.
“Untuk apa? Aku tidak perlu pengakuanmu”, kataku pelan.
Lalu kami diam lagi. Diam lama. Lama sekali. Aku duduk saja di kursi menghadap notebook yang terbuka di atas mejaku. Dan Kevin pun diam. Entahlah. Dan telepon kami masih terus tersambung. Puluhan menit tidak terasa lamanya.
+1
Udah? Gitu doang komennya? * pundung
Udah punya anak ya?