Sudah lama berselang saya tak ke kota Yogyakarta. Kota yang selalu bikin betah dan selalu genah untuk dikunjungi dan ditelusuri. Saya menyuka banyak hal di Yogya. Suasananya yang tenang, bangunan tua, lampu jalan bersulur lengkung, percakapan pedagang kaki lima dalam bahasa Jawa, makanannya, batiknya. Ah banyak.
Saya penggemar gudeg. Beberapa hari di Yogya saya tahan pagi siang dan malam makan gudeg lagi gudeg lagi. Tidak ada yang lebih enak dari gudeg yang berjejer di jalan Wijilan. Telurnya yang mengeras lama dimasak, ayam yang gurih lezat dengan bumbu yang meresap, gudegnya yang berwarna crimson seolah menyerap semua cita rasa masakan yang dibuat alami, kerecek yang gurih pedas dengan cabe rawit. Aduh! betapa semua menuai rindu.
Sebelum hari Natal di penghujung tahun 2013 ini saya berkesempatan menginjak kaki lagi ke Yogya. Senang sekali. Rasanya terngiang lagu Katon Bagaskara yang legendaris, lagu tentang Yogya. Pas sekali rasanya terngiang di telinga saat saya melintas Malioboro, menengok bangunan keraton, dan membeli bakpia (lho).
Malam hari saya melewati Malioboro menyusur dari ujung ke ujung. Menikmati suasana. Melihat betapa banyak orang berjalan-jalan melintasi Maliboro baik berjalan kaki, menumpang becak, atau naik delman. Mendengar pemusik jalan memainkan lagu riang dengan berbagai alat musik. Meriah sekali. Saya hitung ada tiga grup berada terpisah namun masih berada di ruas jalan Malioboro.
Hujan gerimis menitik membasahi jalan dan wajah kami. Namun rupanya sekedar hujan tidak mengurangi animo orang berjalan-jalan di Malioboro. Bahkan di Mirota Batik sungguh sesak sampai melangkah memilih barang disana pun sulit.
Penjaga toko dan satpam di Mirota Batik pada saat saya kesana di hari itu sedang memakai pakaian dengan tema blangkon. Pakaian mereka hitam-hitam dan memakai tutup kepala Jawa yang khas dengan bentuk telur di belakang itu. Di hari lain katanya ada waktu mereka memakai lurik. Pakaian daerah bergaris. Sungguh khas.
Saat saya kesana di sebuah panggung rendah di tengah ruang toko seorang wanita berumur pertengahan dengan rambut diselingi uban dan disanggul sederhana mengenakan kain dan kebaya asyik membatik. Membatik dengan tangan. Sesekali tangannya mencelupkan canting ke malam panas, meniupnya lalu melukiskan pola-pola indah di selembar kain yang membentang pada sebatang kayu. Saya lama menonton ibu tersebut membuat batik tulis. Karya indah milik bangsa Indonesia yang merupakan warisan budaya bangsa kita.
Menyusur Malioboro tak ada kata bosan. Kiranya bila tidak dihentikan oleh pegalnya kaki maka saya akan lama berjalan-jalan disana. Pernah saya berjalan disana bolak-balik hanya karena suka memperhatikan dagangan-dagangan khas sepanjang jalan sampai saya kehilangan hitungan dan kembali ke hotel dengan pinggang dan kaki yang pegal sangat.
Hanya Malioboro yang bisa.
yogya itu emang ngangenin, sekali ke yogya pasti pengen balik lagi
jalan-jalan di malioboro memang asyik ga bikin bosen