Aku duduk di sofa lobby itu. Cuaca di luar mendung dan kelam di sore ini. Angin bertiup lirih menggoyang daun-daun di pohon. Mencoba merontokkan dedaunan yang sudah berwarna kuning, perunggu, kemeraham dan coklat. Terlihat dari kaca besar sekali yang membatasi ruang ini dari pepohonan.
Kumain-mainkan rokokku yang baru kuambil dari saku. Bungkusnya agak penyok karena saku yang melipat akibat posisi dudukku yang seenaknya. Kugapai ransel lusuhku mencari pemantik kesayangan hadiah dari teman bertuliskan Hardrock Cairo.
Belum sempat kunyalakan sebatang rokok Marlboro yang terselip di bibirku, tanpa merubah cara dudukku yang seenaknya di sofa besar berlapis kulit ini perhatianku terarah pada meja di seberang ruangan ini. Tergugah oleh suara halus lembut salah satu dari dua orang resepsionis itu.
Rambutnya panjang tergerai dengan kulit halus lembut dengan warna putih bersinar. Bibirnya tampak penuh dengan bentuk sensual. Alisnya rapi berbentuk lengkungan tampak hasil dari pencabutan helai yang berserakan. Sesuatu yang tidak pernah kulakukan. Alisku biasa saja sebagaimana mereka mau tumbuh. Tanpa pernah kucabut, kucukur atau kuwarnai pensil.
Resepsionis itu bertinggi sedang dengan berat badan proporsional. Dada membusung ukuran sedang yang menggoda. Warna bajunya pink dan senada dengan make up halus yang dipoleakan merata tak kentara. Singkat kata dia cukup cantik. Hidungnya agak besar sih tapi tidak mengganggu proporsi wajahnya. Matanya besar dengan bulu mata lentik.
Dia perempuan sekali. Suaranya gerak-geriknya. Dia mirip istrimu.
Sejenak benci menyeruak itu. Sesak dadaku. Benci ini perlahan mengaliri aliran darahku telak semua menuju jantungku. Benci ini bagai gelombang yang datang bagai riak-riak kecil dan kemudian membesar Bagai diamuk badai siap menghempas.
Kulirik sepatu lusuhku. Rambutku yang dikuncir satu dengan ikatan asal. Handphoneku yang kadang mati dan kadang nyala. Sisa tercebur minggu lalu. Jeansku yang pudar. Tshirtku yang bergambar Kurt. Kupegang pipiku yang jarang disentuh bedak. Mungkin ini yang membuat kau pilih dia daripada aku. Aku tak tahu alasanmu.
Aku ingin istrimu mati. Aku ingin dia tergeletak mengalirkan darah dari jantungnya. Andai aku punya belati akan kukoyak dadanya. Andai bulan sabit dapat kuraih akan kucabut dia dari langit untuk kutikamkan berulang-ulang. Kepadanya. Dan kepadamu. Karena engkau mengobrak-abrik hatiku mengalirkan darah tak terlihat yang tak henti mengalir. Aku mayat yang berjalan. Aku tubuh tanpa nyawa.
Aku ingin kamu mati saja. Agar aku dapat mendampingimu. Di kuburmu. Di dekatmu. Cukup kau diam saja dan dengarkan. Aku akan nyanyikan lagumu. Lagu kita. Saat cinta masih kuanggap ada.
Leave a Reply