Tiba-tiba aku terbangun dari mimpi.
Tepat setelah tangan dingin itu menyentuh pundakku dari belakang. Pas sebelum aku menoleh untuk melihat wajah yang punya tangan, dan semoga memang siapapun itu memiliki wajah.
Aku berkeringat di dahi, tapi juga kedinginan. Selimutku sebagian sudah jatuh ke lantai. Sambil mengusap keringat di dahiku dengan tangan, kuraih selimutku dan merapikannya. Kulihat jam sudah melewati pukul dua belas malam.
Kuraih handphoneku dan kulihat aplikasi chatku, barangkali ada pesan masuk. Ramai teman-temanku bercanda di grup, sampai jam segini masih saja saling menimpali. Aku tiduran lagi sambil membaca-baca. Bibi Angelie tidur di kamar sebelahku. Kamar nenek yang paling besar di rumah ini ada di lantai bawah dan sekarang kosong.
Kamar nenek menghadap kebun mawar dan tanaman lainnya yang aku tak tahu apa saja namanya. Kamarku di lantai atas dan menghadap ke barat dengan pemandangan dengan jurang penuh pepohonan di belakang rumah. Demikian juga kamar Bibi Amelie. Aku beranjak dari tempat tidur membuka jendela, iseng ingin menghirup udara segar dan melihat kegelapan malam. Angin malam yang dingin terasa mengelus wajahku. Rumah tua nenek ini berada di utara di perbukitan kota. Perumahan tempat tinggal kami ini memiliki jarak cukup renggang antara satu rumah dengan lainnya, udara disini sangat sejuk karena dekat hutan yang agak jauh dari hiruk pikuk kota.
Aku melihat ke jendela sebelah. Jendela kamar Bibi Amelie tertutup rapat. Tak kudengar suara apapun dari kamarnya. Tak ada cahaya dari sela-sela tirainya. Bibi Amelie senang tidur dalam kegelapan.
Aku duduk dekat jendela kamar sambil menyapa teman-temanku di Line Group. Karena ada Kevin yang rupanya masih online dan dia menyapaku lewat jalur pribadi, aku menutup jendela dan kembali tiduran di tempat tidurku, dan melanjutkan chat dengannya. Kevin teman yang bekerja di tempat yang sama denganku. Aku agak naksir dia. Dia manis. Dan rasanya menyenangkan ada teman bicara di larut malam ini setelah mendapat mimpiku yang aneh.
Umurku 27 tahun dan Kevin berbeda satu tahun denganku. Beberapa kali kami sudah pergi keluar setelah jam kantor, namun masih bersama teman-teman lainnya. Aku tidak terburu-buru dengan hubunganku dengan Kevin. Aku menikmati saja pendekatan pelan antara kita. Bukan niatku untuk buru-buru menikah, lagipula -mungkin sifat keturunan dari keluargaku, ada saat-saat dimana aku benar-benar suka sendirian sepulang kerja dan menikmati hening di rumah yang kadang berlangsung berhari-hari dan berminggu-minggu lamanya.
Hari-hari berikutnya kembali normal. Benar-benar seperti hariku sebagaimana biasa. Aku berangkat kerja jam 7 pagi atau lebih sedikit, perjalanan ke pusat kota ke tempatku bekerja memakan waktu setengah jam atau lebih, sehingga aku biasa sampai jam 8 kurang. Pulang ke rumah biasanya Bibi Amelie sudah memasak untukku, atau aku tinggal menghangatkan makanan yang dia simpan di lemari es, bila aku ingin makan malam. Dan aku masih jarang berbicara dengannya. Kadang-kadang kami memasak bersama, atau membaca buku di ruangan yang sama. Namun percakapan antara kami nyaris nol. Dan aku lebih sering berinteraksi di aplikasi handphoneku dengan teman-teman daripada berbicara dengan orang yang serumah denganku. Bagiku itu akhirnya jadi biasa saja, dan aku berpikir aku semakin mirip nenek dan Bibi Amelie. Lama-lama di rumah aku bisa lupa berbicara.
Suatu hari sepulang kerja, aku tidak melihat Bibi Amelie dimanapun. Di meja makan kulihat secarik kertas yang ditulis terburu-buru, terlihat dari tulisan yang rapi namun makin ke bawah semakin acak-acakan dan tarikan tandatangannya yang terlihat menggores cepat. Bibi Amelie bilang siang tadi dia pergi ke kota lain dimana dia tinggal sebelumnya, untuk menengok rumahnya yang akan disewakan kepada peminat yang sudah menghubunginya pagi ini.
Jadi malam ini aku sendiri di rumah ini.
Karena aku sering merasa nyaman untuk duduk di ruang perpustakaan, aku memutuskan untuk bersantai disana setelah mandi. Aku berselonjor di sofa sambil menonton TV. Novel yang kubaca sudah berganti dengan judul lain, yang dulu saat aku baca disini dimana aku menemukan cermin besar di dinding itu mencair sudah selesai aku baca.
Rupanya aku tertidur di sofa.
Jam berdentang membangunkan aku. Jam duabelas malam. Melodinya panjang sekali. Aku beranjak duduk lalu memperhatikan cermin. Bayanganku tidak tampak, tapi cermin tampak terang bersinar.
Aku penasaran melihat cahaya yang benderang dari cermin itu. Seperti cahaya siang hari saat matahari cerah.
Melangkah aku buru-buru ingin menyentuh cermin itu lagi. Terlihat di dalam cermin pantulan yang menampakkan pemandangan berbeda dari sebelumnya dan seharusnya.
Aku melihat danau dan pepohonan hijau yang indah. Langit biru dan awan-awan putih. Ha! Ini tengah malam. Bisa-bisanya cermin ini memantulkan pemandangan siang hari.
Kusentuh permukaannya, dan benar saja jari-jariku mulai terbenam disana sampai pergelangan.
Tidak mudah menembus tanganku cermin itu. Rasanya seperti menembus cairan pekat sekali dengan membran di atasnya. Seperti lapisan karet tebal yang aku harus tembus, tapi terasa hangat. Tidak dingin membekukan tulang seperti waktu lalu.
Jam masih berdentang. Aku tiba-tiba memutuskan untuk mundur dan mengambil ancang-ancang. Aku berlari dari jarak agak jauh dari cermin, langsung menuju ke cermin itu dan dengan sekuat tenaga menabrakkan diriku ke permukaan cermin itu.
Serasa melewati tirai tebal dari karet dan masuk kedalam cairan pekat. Aku pengap tak bisa bernapas. Megap-megap aku merasa diriku melewati cairan pekat itu dan terjun bebas ke udara kosong. Aku melayang di udara, menukik dengan kecepatan mengerikan, panik aku memejamkan mata. Pasrah pada apa yang akan terjadi.
DAN AKU TERCEBUR!. Tepatnya aku tercebur dan menimpa seseorang!
Aku merasa membentur seseorang dan kami berdua tercebur bersama ke dalam air yang ternyata tidak terlalu dalam. Sebatas dada dalamnya. Segera setelah aku berpijak sambil megap-megap aku menyibakkan rambutku yang basah dan melihat seseorang di depanku.
Dia tinggi, jauh lebih tinggi dari aku. Rambutnya hitam, matanya sangat hijau berkilau seperti hijaunya batu permata.
Dan dia mengutuk dan memaki-makiku. Sepertinya itulah yang aku dengar.
Leave a Reply