Jam berbandul yang berada dalam dudukan kayu itu kini berhenti berdentang. Aku terhenyak. Saat kaget tadi tanganku sudah aku tarik kembali karena terkejut. Kusentuh kembali permukaan cermin itu. Keras. Dingin. Dan licin. Tidak ada tanda-tanda bahwa tadi sesaat permukaannya telah mencair. Aku menoleh keluar ruangan dair pintu ruang perpustakaan yang terbuka, melihat kalau-kalau Bibi Angelie mendengar jeritanku. Namun rupanya suaraku tadi tidak keras, karena terdengar dari kejauhan langkah-langkah samar Bibi Angelie yang halus dan tenang. Kalaupun dia mendengar, Bibi Angelie juga bukan orang yang gampang kaget dan lari tergopoh-gopoh mencari asal suara. Pernah di suatu hari hujan yang sangat deras dengan petir yang menggelegar, Bibi Angelie tampak tenang-tenang saja setiap terdengar suara dentuman petir yang kadang mengagetkan.
Aku ketuk-ketuk permukaan cermin dengan heran. Pemandangan di cermin pun terlihat normal dan selayaknya cermin yang baik dan benar. Ada pantulan ruangan perpustakaan rumah kami yang kuno namun terang dan nyaman. Kucari bayangan cangkir kopiku. Ha! tampak di cermin itu, walau uap panasnya kini sudah tak nampak menguar. Sudah mendingin rupanya.
Untuk meyakinkan diri kuraba seluruh permukaan cermin, kusentuhkan juga ujung hidungku ke permukaan cermin bertemu dengan bayanganku sendiri disana. Iseng. Tidak terjadi apa-apa. Baiklah. Rupanya ini halusinasiku belaka. Mungkin karena aku belum makan malam. Aku tidak pernah percaya cerita horror, hantu dan sebangsanya. Pastilah ini hanya khayalanku semata.
Aku duduk kembali. Kembali membaca buku. Kuputuskan tidak akan mengatakan soal cermin-cair-tembus-seperti-air ini kepada Bibi Angelie. Kami juga jarang mengobrol. Kadang-kadang bahkan aku tidak merasa ditemani olehnya. Kalau tidak membuat biskuit dan memasak, maka Bibi Angelie sibuk dengan urusannya sendiri entah apa. Bisnis online dan websitenya, bisa jadi memantau bursa saham. Karena beberapa kali aku melihat dia membuka website yang penuh dengan indeks pergerakan saham dan mata uang asing.
Saat aku membuka lembaran buku, aku melihat tangan kananku agak kemerahan sampai batas pergelangan tangan, rasanya masih kebas seperti habis terkena es dan udara yang sangat dingin. Kugosok tangan kananku. Kembali aku bertanya-tanya. Jadi cermin tadi imajinasiku saja ataukah nyata? Ah masa bodohlah.
Aku beranjak ke kamarku. Kubawa buku novel yang masih belum selesai kubaca. Depan pintu kamar aku berpapasan dengan Bibi Amelie.
“Aku di kamar dulu ya Tante..” kataku, kepadanya.
“Engga makan dulu my dear?” tanyanya halus. Bibi Amelie bersuara dalam dan enak didengar. Mungkin bila saja dia bernyanyi akan terdengar merdu, tapi aku tidak pernah mendengar satu lagupun tersenandung dari bibirnya.
“Tidak ah Tante, aku ingin tiduran saja. aku tidak lapar” kataku.
Tangan Bibi Amelie terulur menepuk pundakku.
“Good night sweetie” katanya.
Walau tak banyak bicara, tak banyak kata, dan kadang seperti tidak ada, Bibi Amelie baik kepadaku. Demikian pikirku.
Aku beranjak ke tempat tidur. Besok hari Sabtu. Libur. Jadi aku bisa puas tidur. Membenamkan diri di bantal empuk aku memainkan handphoneku, melihat-lihat sosmed, tertawa-tawa membaca pesan dari teman-temanku, dan tahu-tahu aku tertidur.
***
Aku bermimpi. Setidaknya demikian aku berpikir saat itu. Karena pemandangan ini bukan di alam yang biasa dan nyata sehari-hari di kehidupanku. Aku berada di tempat asing yang sama sekali belum pernah aku datangi. Langit gelap dan aku menyusuri jalan setapak yang berkelok dilapisi batu. Jalan tua yang berlumut. Cahaya hanya dari lampu-lampu jalan berbentuk ketupat dan besi tempa berukir, cahayanya dari api yang dinyalakan di sumbu minyak. Redup sekali hampir-hampir tak kulihat jalan di depanku.
Pohon-pohon besar menjulurkan rantingnya menggores wajahku. Pohon-pohon itu berdiri di sepanjang jalan kecil ini di kiri dan kanan. Terlihat sumur tua dengan batu-batu di pinggirannya, kayu tempat gantungan embernya seperti pancangan tiang gantung untuk orang yang dihukum mati. Kelelawar atau makhluk serupa kelelawar melewati terbang rendah hampir mengenai kepalaku. Suara kepakan halusnya cukup memecah kesunyian yang benar-benar terasa menggantung di udara.
Aku terus berjalan, karena aku merasa harus terus berjalan.
Tiba-tiba dari kegelapan di depan, pohon-pohon besar di kiri kananku mulai merenggang, dan aku menabrak pagar besi yang tinggi dan dingin. Aku berpegang pada batang besi pagar itu, sambil satu tangan menggosok dahiku yang terasa tidak terasa sakit karena menabrak tadi. Tentu saja tidak sakit, ini mimpi kan. Pikirku.
Tampak dari antara ruji-ruji besinya sebuah halaman besar tidak terurus dengan pohon tua tanpa daun dengan ranting menjulur, besar dan tinggi dan kelam, sebuah kastil yang tinggi dan hitam tanpa lampu, bagai bayangan raksasa di kegelapan malam ada dihadapanku.
Saat aku menatap heran kastil yang hitam dengan bayangan hitamnya dan dilatar belakangi langit biru tua kehitaman, bulan sabit tampak muncul pelan karena awan gelap yang mentabirinya mulai membuyarkan diri tertiup angin malam yang dingin.
Ah pikirku, setidaknya ada secercah cahaya. Di halaman kastil gelap ini tidak tampak lampu-lampu minyak seperti di jalan berbatu tadi, kalaupun ada, rupanya tidak dinyalakan. Aku bergidik karena dingin dan sedikit terusik oleh suasana yang yang mencekam.
Tidak, aku bukan seorang penakut. Dibesarkan hanya berdua dengan nenek. Aku sering ditinggal di rumah sendiri. Rumah tua dengan halaman besar dan berjarak cukup jauh dari tetangga. Aku biasa berada dalam kesunyian. Sepi adalah musikku sehari-hari di rumah. Aku tidak suka bingar, aku tidak mau di pasar. Aku biasa berteman sunyi sendiri di malam hari, bahkan tanpa menyalakan TV. Toh walau di rumah sendiri untuk mengobrol kadang aku bertelepon dengan teman-temanku, kalau aku mau. Tapi walau sering sendirian, aku juga tidak ingin masuk kategori gadis anti sosial. Aku punya beberapa teman dekat di kantor yang biasa aku berjalan-jalan ke pertokoan atau haha hihi menikmati suasana di kafe dan restoran.
Tapi ini suasana yang mencekam, suasana seperti di abad pertengahan. Jalan tua berlumut dan pohon-pohon besar dan kastil yang hitam tanpa lampu cukup membuat jantungku berdebar. Segenap indraku serasa bersiap untuk menerima kekagetan yang mungkin saja terjadi akibat kesunyian yang menekan ini.
Tiba-tiba serasa ada bayangan di belakangku mendekat. Aku merasakannya di belakangku walau aku belum menoleh. Bulu kudukku berdiri dan rambut-rambut halus di tanganku terasa meremang. Angin dingin berhembus seiring sosok yang mendekat di belakangku itu, sebelum aku sempat menoleh, terasa ada tangan yang terjulur menepuk pundakku tiba-tiba. Tangan sedingin es yang membuat aku serasa diceburkan ke danau yang dingin hanya dengan sentuhannya itu.
***
Leave a Reply