Namaku Miranda Dracco. Sepeninggal nenek, aku tinggal bersama adik perempuan ayahku satu-satunya. Tepatnya Bibi Angelie yang datang ke rumah peninggalan nenek untuk tinggal bersamaku. Kedua orangtuaku sudah tidak ada sejak aku kecil. Bibi Angelie setahuku tidak menikah, dan dia tidak pernah menikah, atau pernah. Entahlah, Bibi Angelie sangat pendiam dan tertutup.
Di usianya yang masih sekitar 40 tahun, Bibi Angelie masih tampak cantik, jika saja ia mau. Tubuhnya kecil ramping namun tampak kuat dan gesit. Pakaiannya ringkas dan senang mengenakan cardigan warna hitam di atas blusnya yang juga hitam. Rambutnya selalu diikat erat dibelakang kepalanya, dia mengenakan kacamata model kuno bentuk mata kucing dengan bingkai tebal. Perhiasan satu-satunya hanya kalung perak berbandul medalion besar dengan ukiran sulur daun, mawar dan tengkorak kecil dan entah simbol-simbol apa seperti tulisan rune kuno, yang tak pernah lepas dari lehernya. Sehari-hari dia mengenakan sandal ringan bertumit rata, dan selalu menutup mulutnya erat sambil membersihkan rumah atau memasak.
Aku tidak pernah memiliki memori kedua orangtuaku, bahkan foto mereka aku tak punya. “Hilang semua” kata nenek singkat. Seperti Bibi Angelie, Nenek pun tak banyak bicara. Namun aku tahu dia sayang padaku. Dia jarang bahkan hampir tak pernah marah. Matanya hangat saat membuatkan sarapan atau makanan kesukaanku. Kadang menemaniku sampai aku terlelap di tempat tidur bila aku enggan tidur sendiri.
Bibi Angelie tinggal di kota lain. Aku tak tahu dia bekerja apa dan dimana tadinya. Aku hanya bertemu dengannya sesekali bila ia datang menengok nenek. Kadang mereka berdua mengobrol dengan suara pelan dan rendah sampai larut malam. Aku sering melihat mereka berdua berbincang saat aku terbangun tengah malam. Namun bila mereka melihat aku bangun, segera mereka mengalihkan pembicaraan sehingga aku tidak pernah tahu mereka membicarakan apa.
Rumah nenek adalah rumah kuno berbahan bangunan batu dan berlantai kayu dengan halaman yang rapi. Rumah cukup besar dengan jendela yang juga besar-besar. Walau kuno karena banyak cahaya rumah tempat tinggalku ini tidak nampak suram. Ada dua pohon besar di kiri dan kanan halaman. Akar-akarnya menonjol melingkar di atas tanah. Kadang membuatku tersandung. Halaman selalu hijau dengan rumput yang dipotong rapi, dan gerumbulan mawar dan bunga-bunga yang terawat. Sebelum meninggal, nenek sangat senang merawat taman. Dia dibantu oleh tukang kebun yang datang sesekali.
Dibesarkan nenek yang pendiam, tidak membuatku menjadi pendiam. Aku cerewet sekali, bahkan bila tidak mendapat jawaban apa-apa dari nenek. Seringkali obrolanku adalah monolog. Dan aku seringkali mengajak bicara perabotan di rumah. Dari cermin hingga lemari, atau bahkan panci dan kursi. Atau semut-semut yang lewat.
Sebenarnya karena selepas kuliah aku langsung bekerja, hidup sendiri bukanlah masalah buatku. Jadi tanpa Bibi Angelie yang datang untuk tinggal bersamaku sebenarnya tak mengapa. Aku juga bisa menghidupi diriku sendiri. Tapi kata Bibi Angelie, dia mengkhawatirkan aku. Lagipula nenek menitipkan aku kepadanya, sebagai satu-satunya keluarga yang ada.
Pindah dari rumah yang ditinggalinya, Bibi Angelie tidak membawa banyak bawaan untuk keperluan pribadi. Hanya pakaian di koper kecil, tapi tak heran karena dia bukan tipe perempuan senang berdandan. Lalu sebuah jam kuno berukuran cukup besar dengan bandulnya, dan sebuah cermin berbingkai kayu model antik dengan warna usang, walau kedua barang tersebut berwarna pudar; jam kuno dan cermin antik itu terlihat mahal karena kayunya terlihat kokoh kuat dan berkualitas tinggi.
***
Jam kuno dan cermin antik. Menurutku itu janggal untuk barang pindahan. Seperti tidak ada barang lain saja yang lebih pantas untuk dibawa. Tapi karena Bibi Angelie saja menurutku sudah antik, setelah dipikir lagi tidak mengherankan juga rasanya bila dia membawa mesin jahit kuno sekalipun. Malah akan mengherankan bila dia membawa sesuatu yang modern. Ipad atau seperangkat home theater, misalnya. Tampang kunonya tidak cocok dengan gadget modern. Tapi walau kuno dan bertampang misterius, Bibi Angelie sering memakai perangkat komputer yang aku pasang di ruang perpustakaan, dan dia tampak sibuk berkirim e-mail dan browsing. Jadi tidak canggung dengan beberapa perangkat modern di rumah, walau kalau melihat tampang dan penampilannya, rasanya aku dibawanya ke abad yang silam.
Jam kuno dan cermin berwarna usang dengan kayu jati itu ditempatkan di ruang perpustakaan. Aku yang sering membaca buku disana di waktu senggang, kadang terkaget dengan bunyi dentang jam yang memecah kesunyian di rumah nenek ini. Cermin yang tingginya melebihi badanku ini sudah digosok rupanya oleh Bibi Angelie, permukaannya tampak licin berkilau seperti permukaan es yang bening. Beda dengan saat dibawa Bibi Angelie dulu, kacanya tampak buram, tak nampak bayangan jelas disana saat aku berusaha bercermin disana saat dibawa masuk.
***
Suatu malam aku membaca buku di perpustakaan. Aku membenamkan diri di kursi sambil sesekali menghirup coffee latte-ku yang masih beruap panas. Bibi Angelie terdengar menyiapkan sesuatu di dapur. Mungkin membuat teh. Dia seperti nenek dalam segala hal, termasuk kesukaannya memasak, dan berdiam diri di kursi dapur memandang taman di belakang melewati jendela sambil meminum teh. Kadang aku seperti melihat nenek. Mereka begitu mirip satu sama lain.
Saat jam berdentang, seperti biasanya aku terkaget sendiri. Baru jam sembilan malam. Melodi yang didentangkan jam itu tidak sepanjang jam duabelas malam. Entah kenapa suara jam yang melagukan suatu nada yang seolah terdengar dari waktu lampau itu menarik aku mendekat. Aku beranjak dari kursi setelah meletakkan buku di meja sebelah cangkir kopiku.
Aku melangkah mendekat jam besar di pojok ruangan itu seolah ada tangan-tangan halus tak kelihatan yang menarik aku mendekat. Aku terhenti di depan jam. Di dinding tampak cermin yang berkilau dengan permukaan seperti es itu. Aku penasaran melihat kilaunya. Aku melangkah bergeser mendekati cermin di dinding. Kulihat wajahku disitu. Mukaku tampak agak pucat dengan rambut agak berantakan. Hidungku namun agak merah di ujung, mungkin karena udara yang tiba-tiba terasa dingin di malam ini. Aneh, sore menjelang malam tadi rasanya suhu masih cukup hangat.
Walau nenekku berambut pirang dan bermata biru, demikian juga Bibi Angelie, aku sama sekali tidak mirip mereka berdua. Kulit mereka putih kemerahan, atau merah muda menurutku, sedangkan kulitku pucat tanpa warna. Kadang terlalu putih pucat tampaknya. Rambutku hitam kelam, bahkan terlalu hitam. Seperti jelaga. Perawakanku juga lebih kecil dan ringkih dibandingkan dengan Bibi Angelie yang tampak tinggi langsing namun berisi. Hidungku sedikit mencuat, dan mataku coklat luntur nyaris pudar, itu istilahku untuk sepasang mata yang coklat muda yang tidak menarik. Dan yang paling parah, menurutku aku tidak cantik. Kata nenek sih, aku itu cantik, kecantikan yang mirip ibuku yang berdarah Indonesia. Tapi semua nenek memang memuja cucunya kan? Sedangkan menurutku nenekku lah yang sangat cantik, atau demikian pastinya sewaktu dia masih muda. Demikian juga Bibi Angelie, aku tahu dia cantik sekali, alisnya tampak melengkung indah dan matanya luar biasa. Namun kecantikannya selalu disembunyikan dibalik baju hitam-hitamnya yang tanpa potongan jelas, kacamata tebalnya, dan rambutnya yang diikat terlalu kencang.
Ku tatap bayanganku di cermin, tak lama pandanganku beralih ke belakang.
Ada pemandangan tak biasa dan tak seharusnya.
Bayanganku berlatar belakang bukan ruangan perpustakaan. Harusnya di belakangku tampak rak buku, meja kerja dan sofa. Meja kecil dengan kopi dan buku yang sedang kubaca. Itu seharusnya.
Di belakang wajahku yang terpantul di cermin, di latar belakangnya tampak gelap dan suram. Seperti langit tanpa awan yang sangat kelam. Ada bayangan pohon tua besar tanpa daun dengan ranting-ranting yang mengering. Lalu ada bayangan sebuah kastil. Bayangan saja. Tampak gelap di kejauhan. Aku terpana.
Tak sadar tanganku terangkat menyentuh permukaan cermin.
Tidak terasa ada permukaan kaca yang keras. Yang ada tanganku masuk perlahan dan terbenam disana sampai pergelangan. Seperti mencelupkan jari dan tanganku ke air es yang sangat dingin membekukan tulang, tanganku terbenam ke dalam cermin.
Aku menjerit kaget.
keren…..!
haha, mau nulis novel metro pop pesanan malah nulis misteri. bingung saya juga