Suatu hari sewaktu saya (lagi-lagi) datang kesiangan untuk kuliah di suatu masa saat saya masih tingkat satu, beberapa teman mencegat saya. Dibawah tekanan dan paksaan dan dicampur sedikit penculikan, saya diajak dengan semena-mena ke gedung pendopo kampus kami, untuk ikut serta menjadi anggota paduan suara mahasiswa. Apa daya saya tidak bisa melawan, tiga teman saya walaupun perempuan, tiga-tiganya tinggi dan kekar.
Sebagai info di jaman saya kuliah itu, dimana biasanya di kampus lain menjadi anggota padus atau paduan suara ini merupakan suatu idaman atau suatu prestise untuk bergabung -untuk berbagai alasan, misalnya biar keren atau ajang ngeceng- di tempat saya kuliah malahan jarang yang berminat. Entah kurangnya informasi atau menganggap kegiatan tersebut kurang “manly” buat sebagian mahasiswa di kampus saya yang kira-kira saat itu 80% lebih berjenis kelamin pria.
Saya dibujuk rayu untuk bergabung dengan iming-iming pembimbing paduan suara kami dengan ijin pemerintahan kampus setempat tentunya, memberikan uang transportasi dan uang lelah lainnya bagi anggota paduan suara. Heh? Dibayar? Wah langsung saya yang mata duitan ini tegak telinganya. Selain itu gosipnya dijamin tidak akan mendapat nilai jelek dari dosen yang membimbing kegiatan ini (yang bener nih?), yang mana ini juga menggembirakan saya yang nilainya sering jeblog. Iming-iming lainnya adalah mahasiswa yang mengikuti kegiatan olah suara ini juga dibebaskan dari kewajiban kompen. Halah, apa itu kompen?
Kompen atau kompensasi adalah kegiatan di masa liburan yang diperuntukkan bagi mahasiswa mahasiswi yang mengalami keterlambatan masuk kelas. Berapa menitpun terlambat akan dihitung satu jam. Dan dari satu jam entah dihitung dengan metode kwadrat atau perkalian lipat ganda macam apa, akan membuat dari beberapa jam menjadi beberapa hari. Itu adalah hari-hari dimana, kami yag imut dan lucu ini harus masuk di masa libur semester untuk menjadi tukang bersih-bersih di sekolah.
Dari pekerjaan mengecat ulang tembok, mengepel lantai, mencuci gorden, membersihkan mesin-mesin boiler, sampai menyusun ulang buku-buku di perpustakaan, dan lain sebagainya, dikerjakan oleh mahasiswa tukang telat ini. Cape? Itu pasti. Saya pernah kebagian membersihkan dan mengecat dinding di gedung kuliah saya. Satu minggu full. Kapok? Tidak. Saya tetap datang kesiangan.
Dari hal-hal di atas, tentu saja kesempatan mendapat uang saku dan menghindari kompen, memang membuat mata saya berbinar-binar. Apalagi ada insentif ekstra. Pelatih paduan suara kami yang berasal dari mahasiswa di kampus induk kami di jalan Ganesha, ganteng bukan main. Ah meleleh deh hati dan lidah saya.
Itu sekilas (eh sekilas kok banyak), tentang bagaimana saya yang suaranya pales ini bisa ikut-ikutan bernyanyi di paduan suara mahasiswa kampus kami. Lagu kelulusan yang paling saya suka, ada dua. Sebuah lagu Mars sekolah kami, yang mana kalau dinyanyikan bikin saya ingin melompat-lompat seperti burung bersiap terbang lalu berlari keliling aula gedung wisuda, dan lagu Gaudeamus Igitur -yang sering menjadi bahasan kontroversi untuk sebuah lagu kelulusan, karena sebagian orang menganggapnya sebagai lagu mabuk-mabukan dan lagu ajakan untuk kehidupan hedonis. Heh? yang benul? (Benul adalah singkatan dari Benar dan Betul, disingkat Benul. Demikian. Penulis).
Mari kita telaah sejenak lirik lagu Gaudeamus Igitur atau di Inggris lebih sering disebut dengan “The Gaudie” saja:
Gaudeamus igitur
Juvenes dum sumus.
Post jucundam juventutem
Post molestam senectutem
Nos habebit humus.
Mari kita bersenang-senang
Selagi masih muda.
Setelah masa muda yang penuh keceriaan
Setelah masa tua yang penuh kesukaran
Tanah akan menguasai kita.
Ubi sunt qui ante nos
In mundo fuere?
Vadite ad superos
Transite in inferos
Hos si vis videre
Kemana orang-orang sebelum kita
Yang pernah hidup di dunia ini?
Terbanglah ke surga
Terjunlah ke dalam neraka
Bila kau ingin menjumpai mereka
Vita nostra brevis est
Brevi finietur.
Venit mors velociter
Rapit nos atrociter
Nemini parcetur.
Hidup kita sangatlah singkat
Berakhir dengan segera
Maut datang dengan cepat
Merenggut kita dengan ganas
Tak seorang pun mampu menghindar
Vivat academia!
Vivant professores!
Vivat membrum quod libet
Vivant membra quae libet
Semper sint in flore.
Panjang umur akademi!
Panjang umur para pengajar!
Panjang umur setiap pelajar!
Panjang umur seluruh pelajar!
Semoga mereka terus tumbuh berkembang!
Sebenarnya panjang sih, tapi yang sering dinyanyikan seringkali versi pendeknya. Mungkin berhubungan dengan kemampuan otak kami yang pas-pasan dalam menghafal lagu dengan lirik asing.
Anggapan bahwa lagu tersebut menjadi semacam lagu inisiasi untuk mabuk-mabukan, diawali dengan kebiasaan para lulusan di universitas Eropa yang menyanyikan lagu ini sambil minum-minum bir (dan mungkin minuman lainnya) di acara pesta kelulusan. Mungkin saking seringnya dinyanyikan sambil pesta dan minum-minum di perayaan kelulusan akhirnya lagu ini dianggap sebagai lagu mabuk-mabukan atau lagu pesta pora.
Sedangkan tuduhan bahwa lagu ini mengajak pada kehidupan hedonisme, adalah karena adanya lirik yang menyiratkan untuk bersenang-senang di masa hidup yang singkat. Padahal sih bisa jadi lirik lagu tersebut lebih kepada ungkapan “seize the day” atau “carpe diem, babe” (babe-nya sih tambahan saya sendiri).
Apapun kontroversi tentang lagu The Gaudie ini, sayang juga kalau dihapuskan dari acara wisuda kelulusan. Soalnya asik banget menyanyikan lagu gembira saat wisuda itu, rasanya dada ini dipenuhi semangat, dan kaki juga ingin melompat-lompat. Apalagi pas sampai di bait Vivat Academia dan Vivat Professores itu. Oh ya masihkah lagu ini dinyanyikan saat wisuda? Sudah lama saya tidak berkecimpung di kemahasiswaan atau main-main ke kampus lagi.
wah, kuli ah saya ga tamat uy, jadi gtau mcm bgtu. hehehehe
di UNISBA cuma 3 semester saja, bis tu merantau ke negerinya naruto. eh ujug-ujug terdampar di perbatasan utara NKRI ,