Malam-malam tak kunjung pejam ini bikin pikiran melayang mencari topik yang sekiranya bikin ngantuk. Dan karena berita yang berseliweran di sosial media masih berkutat di hal-hal yang itu-itu saja, mau tidak mau jelang dini hari ini topik pikiran menjadi ke situ-situ juga, walau kadang saya suka terjerat pada pola kelakuan tiga monyet bijak, yang kerap kita dengar sebagai frasa ’see no evil hear no evil speak no evil’, yang terjemahannya oleh bule sering disamakan dengan ‘turning a blind eye”, cuek pada segala sesuatu informasi yang males untuk dilihat, didengar, dan ikutan ngomong. Tapi tak urung, kadang gatal ini membuat ingin berpendapat.
Ini soal integritas. Ada yang bilang bangsa ini krisis integritas. Seperti kelangkaan BBM saja. Integritas yang harusnya sudah bawaan orok menjadi barang langka. Emang pada bocor kemana integritas kita ya.
Bicara soal integritas, saya jadi ingat pakta integritas. Lembaran kertas yang harus saya tandatangani setiap saya mengikuti suatu negosiasi untuk suatu pengadaan. Bertahun-tahun saya bekerja, saya sudah lupa berapa reem kertas habis dicetak, ditandatangani dan diarsipkan (untuk kemudian jarang dibuka kembali), yang mencantumkan nama saya dan tandatangan saya yang mirip cakar angsa.
Saya berandai. Bila satu lembar pakta integritas bernilai taruhlah kurang lebih Rp 100 juta, untuk 3000 lembar kertas saja sudah bernilai 3000 x 100 juta (eh berapa lembar duit itu ya? malam-malam berhitung itu melelahkan). Kalikan sekian persen, mungkin itulah harga integritas saya. Ini kalau kita mau itung-itungan integritas dengan lembaran rupiah.
Waktu pertama aturan melampirkan pakta integritas ini dibuat, saya suka lantang bicara kepada orang-orang di sekitar saya yang kadang cuma melongo (memang saya orangnya berisik), “Integritas ini percuma saja kalau dicetak dan ditandatangani, ga ada gunanya. Yang penting niat orangnya. Berapa pohon kita tebang buat dijadikan kertas integritas ini, kalau kelakuan kita masih saja ijo liat duit,* yang penting nih hati”. Kata saya, sambil menunjuk dada sendiri. Padahal sih mungkin saja saya cuma malas ngeprint. Kepingin gaya aja teriak-teriak soal integritas.
Tapi bukan itu yang ingin saya majukan ke depan sekarang. Lalu kalau integritas tidak bisa dipagari dengan lembaran kertas, dan ribuan jajaran KPK, terus siapa yang patut disalahkan buat kebocoran integritas sampai bikin bangsa ini krisis yak?. Paling bolak-balik lagi ke faktor ajaran orang tua dan faktor lingkungan. Terdengar cliche. Tapi nyata. Siapa lagi yang bisa mengajarkan integritas selain ayah dan ibu. Juga kita sendiri pada anak-anak kita.
Mengajarkan untuk tidak makan lima ngaku satu di warung penjual gorengan. Mengajarkan untuk harga diri kita jangan ditukar dengan selembar kertas contekan pas ulangan. Mengajarkan bahwa di balik bangsa yang besar, ada ibu-ibu yang berotak encer yang tidak panas melihat tetangga punya tas Hermes baru. Sudahkah kita jadi orang tua yang benar dalam mengajarkan integritas? Jangan-jangan generasi berikutnya bangsa ini bukan krisis integritas lagi. Tapi minus integritas.
*duit yang bukan hak kita, kalau yang hak sih saya tetep ijo
Leave a Reply