dok pribadi
Sudah lama saya ingin pergi ke Bromo. Seingat saya sejak saya membaca kisah tentang Suku Tengger sewaktu saya SD dulu. Nama tokoh anak yang jadi sentral cerita saya lupa. Malah nama kerbau yang dikorbankan ke kepundan Bromo yang saya ingat. Nama kerbaunya Mia. Sama dengan nama kecil saya.
Dan memang penting bagi kita untuk mencanangkan sesuatu keinginan dengan amat sangat dalam hati kita. Seperti yang saya selalu saya suka kutip dari bapak pengarang novel Paulo Coelho,“When you want something, all the universeconspires in helping you to achieve it.”
Saya memang selalu komat-kamit dalam hati, betapa sukanya saya travelling. Keliling kampung saja saya suka, keliling pulau Jawa apalagi, dan bila saya bisa keliling dunia suatu hari nanti, saya akan…… berteriak-teriak ala Indian mengelilingi patung Totem sambil membawa kapak perang. Engga behave sama sekali ya? Biarin.
Akhirnya minggu kemarin, tepat, eh kurang lebih 30 tahun setelah saya membaca tentang Suku Tengger dan Upacara Kesodo serta kisah letusan Gunung Bromo dan Mia si kerbau yang dikorbankan oleh penduduk desa karena tinggal dia satu-satunya kerbau yang tersisa setelah Bromo meletus- saya akhirnya bisa pergi ke Bromo di Jawa Timur.
Mungkin buat sebagian orang, apa sih excitenya pergi ke suatu tempat sampai segitu senangnya? Saya katakan, saya sangat gembira bisa bepergian. Alasannya nanti saya akan jabarkan belakangan. Mungkin bila punya nama Indian, nama saya adalah Si Kaki Gatal. Dan karena pipi saya juga tembem, maka nama lengkap Indian saya adalah Si Pipi Tembem Berkaki Gatal. Bagus juga ya.
Perjalanan dengan Kereta Api
Karena naik pesawat kadang tidak seru juga karena singkat, maka saya dan teman-teman memilih bepergian ke kota Malang dengan kereta api. Kereta api Malabar jurusan Bandung Malang ini terlambat 45 menit dari jadwal, tapi tetap tidak mengurangi kegembiraan kami. Keluar dari rutinitas sekali-kali memang membuat kami kembali seperti anak sekolah menengah yang akan pergi berdharmawisata.
Makanan yang ditawarkan di atas kereta datang lebih lambat daripada kereta yang juga terlambat. Satu jam lebih! Tapi karena pramukereta yang menyampaikan permintaan maaf sangat ramah dan lucu, dan kita terlalu gembira untuk merusak hari dengan marah-marah, kami tidak komplen sedikitpun.
AC yang mati dan sering sekali kereta berhenti, tetap tidak mengurangi semangat kami untuk tidur sepanjang perjalanan. Lah iya wong ga ada yang bisa dilihat, kan perjalanan malam hari. Pagi merekah, dan kereta sampai di Nganjuk. Saya heboh sekali karena sampai di Nganjuk, untuk alasan yang tidak jelas sebenarnya. Hanya karena saya pernah punya atasan yang berasal dari Nganjuk.
Oh ya dan perjalanan yang dimulai dari Bandung jam 4 sore ini, terlambat hampir dua jam sampai di kota Malang sehingga kami sampai sekitar jam 11 siang. Whoaa… Kalau naik pesawat sudah sampai ke Merauke nih. Malah lebih lah, sampai Merauke balik lagi ke Jayapura. Sekitar segitu lah. Betapa relatifnya waktu.
Karena kami baru akan pergi ke Cemoro Lawang nanti malam, maka sesiangan ini kami habiskan dengan berjalan-jalan di kota Malang yang indah dan tenang. Saya selalu ingat puisi Antara Tiga Kota dari Cak Nun, yang menggambarkan kota itu memiliki sifat feminin, maskulin, atau antara keduanya. Untuk kota Malang saya menyamakannya dengan kota yang bersifat feminin, tenang, dan anggun. Kalau Bandung, walau feminin, namun kadang terlalu heboh seperti wanita yang bingung mau berdandan seperti apa ketika hendak ke pesta. Terlalu banyak ganti make up dan tidak bisa memutuskan ingin pakai gaun apa. Itulah Bandung sekarang menurut saya.
Naik Ojeg Ke Penanjakan
Saya nyaris tidak tidur. Jam tiga dinihari tanpa terkantuk-kantuk kami bersiap dari penginapan di Cemoro Lawang untuk bersiap ke Penanjakan dengan jeep, yang sudah ready steady go. Sebagai info saya dan 3 teman saya adalah spesialis naik mobil mogok. Maksudnya, setiap ada acara atau bepergian, bila kami berempat disatukan dalam satu kendaraan maka, wuuush..bad thing happen. Di Yogya tahun lalu, saat pergi ke Merapi, kumpulan para dogol penjaga pantai ini juga menaiki jeep yang kemudian mogok selama satu jam di antah berantah. Kalau saya jangan ditanya, sendiri pun saya sering mengalami mobil mogok. Untuk alasan yang pastinya tidak berhubungan, kami menganggap bahwa sinyal tubuh kami sangat berpengaruh pada aktivitas mesin. Mungkin berkaitan dengan aura.
dok pribadi
Seperti yang sudah-sudah, saat menyusuri jalan yang menanjak berguncang-guncang dengan jeep, tiba-tiba jeep berhenti dan supir meminta kami semua turun. Karena akan menderek mobil di belakangnya yang katanya mogok. Di dini hari gelap gulita di pinggir jalan yang dingin, saya sempat memotret bunga krisan yang mekar menguning. Setelah pertengkaran mulut dengan pimpinan rombongan sebagian dari kami naik ke jeep lain, karena jeep yang tadi menderek jadi ikutan mogok juga. Dan kami berempat ribut terlebih dahulu untuk alasan kenapa kita tadi tidak berpisah kendaraan, karena kalau digabung inilah kejadiannya. Mogok maning mogok maning.
Karena tidak muat dalam satu jeep tebengan, akhirnya saya naik ojeg. Demi segala yang indah dan suci di dunia ini, naik ojeg jam 3 pagi di Gunung Penanjakan dengan angin yang dingin ini sungguh sangat dingin. Angin yang berhembus ke wajah saya membuat saya berpikir saya sedang ditampari dengan jurai-jurai es. Nyaris saya berpikir untuk memeluk tukang ojeg untuk mencegah radang beku seperti di buku-buku bila orang terserang badai dan tertimbun salju. Namun saya masih waras, dan nginyem menjauh di belakangnya dengan jarak aman tanpa kontak badan dengan mengganjalnya dengan tas saya.
Kabut yang Menutup
Kami sampai di ketinggian Gunung Penanjakan dimana sudah banyak orang berkumpul layaknya pasar malam. Sebelumnya saya melihat jeep yang diparkir berjajar banyak sekali, segala warna-warni itu dengan jenis kendaraan yang sama, mengular berjumlah ratusan kiranya. Oh ya tukang ojeg disana suka sekali menarik-narik kita berebut agar kita naik di motornya. Ingin sekali menjitak mereka satu persatu. Tertib dikit kenapa sih. Kan bingung jadinya ditarik sana sini seperti anggota fans club bertemu aktris idola. Emangnya kita seleb sinetron apa.
Dok Pribadi
Kabut menutupi hampir seluruh pemandangan sekitar. Hanya sepucuk Gunung Semeru di kejauhan yang tampak nongol sedikit dari hamparan kabut. Pagi merekah dan kabut belumlah sirna. Beberapa rombongan tidak sabar dan pergi meninggalkan tempat. Kami sih malah sibuk membetulkan lipstik antara kami. Karena menurut kami bibir membiru kedinginan itu membuat wajah menjadi kurang bagus bila difoto.
Sesaat kami sibuk sendiri. Dimana tak lama kemudian setelah acara jeprat jepret sesama kami, saya menoleh ke arah bawah melintasi pagar pembatas. Sekejap saja kabut tebal itu sudah sirna. Dan saya melihat pemandangan tercantik seumur hidup saya dalam hal melihat pegunungan. Bromo, Batok, Widodaren dan Watangan, gunung-gunung cantik yang berada dalam satu pelataran, dibayangi oleh sang raksasa Semeru. Layaknya Eurymedon, raja raksasa di mitologi Yunani yang berdiri tegap menjaga para bidadari.
Saya sampai lupa bernafas.
Segala gambar yang pernah kita lihat tentang pegunungan Tengger tidak ada artinya bila tidak melihat dengan mata yang bertengger di kepala sendiri. Angin dingin yang berhembus, hawa sejuk yang menusuk hidung, dan sinar matahari yang mulai nampak menyelusup di antara kabut dan awan, adalah tidak ternilai adanya untuk menambah keindahan pandangan. Tengger sangat sedap dihirup dan dipandang.
Naik Kuda, Kepundan, Savana dan Pasir Berbisik
Setelah kami turun dari Penanjakan dan kembali ke jeep, yang sudah ditukar dengan yang tidak mogok, kami melanjutkan perjalanan menuju pelataran pasir dekat Pura besar menuju Gunung Bromo. Karena banyak di antara kami yang berprinsip bila ada kuda mengapa tidak dinaiki, dan tidak ada kuda tukang kudanya pun jadi -memilih untuk menggunakan kuda untuk berkendara menuju kaki Gunung Bromo dengan ratusan anak tangga yang menuju puncak tersebut.
Anak tangga menuju kepundan tampak terjal. Kami bertiga yang paling pemalas dalam hal menaiki tangga melakukan tawar menawar. Akhirnya kami sepakat untuk berhenti dan beristirahat setiap 50 anak tangga. Baru naik 50 anak tangga, kami tawar menawar kembali dari 40 anak tangga turun menjadi 30, sebelum akhirnya sepakat di angka 25. Anak kecil yang mendahului kami dengan kekuatan mendaki seperti kambing gunung tidak membuat kami iri. Teman-teman yang sudah di atas dan menyoraki juga kami tidak peduli.
Akhirnya dengan tersengal-sengal (kami beralasan bahwa udara di ketinggian memang memiliki kadar oksigen yang tipis) sampailah saya pada pemandangan yang spektakuler dari sebuah lubang raksasa. Layaknya sumur besar yang langsung menuju ke perut bumi, pemandangan kawah ini sangat memiriskan hati. Oh disinilah Mia si Kerbau dikorbankan. Pikir saya.
dok pribadi
Lanjut perjalanan dari kepundan Bromo, kami menuju padang savana. Pemandangan di sini sangat cocok untuk shooting film ataupun pemotretan yang membutuhkan latar belakang alam yang indah dan ingin beradegan kejar-kejaran ala film India. Bukit-bukit dengan rumput hijau yang mulus dan rata, tampak seperti Tumuli Park di kerajaan kuno Silla di Gyeongju Korea. Saya jadi berpikir dan menghayal, apakah mungkin saja bukit-bukit yang mulus dan berbentuk kurva sinusoidal ini adalah kuburan para raja duaribu tahun lalu sebagaimana halnya di Silla Kingdom. Oh ya saya belum pernah ke Korea. Namun saya berani bertaruh bahwa Bromo tak kalah indah dengan tujuan wisata alam disana.
Dari Savana kami bergerak dengan jeep kembali menuju area Pasir Berbisik, dimana ada batu yang berbentuk singa. Namun karena ada tong sampah besar di dekatnya, saat itu batu singa tidak tampa seperti singa. Lebih mirip gundukan batu dengan tong sampah. Sayang sekali.
Saya sendiri berpikir betapa menyenangkan berlama-lama di area Tengger ini untuk melihat-lihat dan memotret. Namun apa daya, hari melewati siang dan kami harus pulang. Karena kami memikirkna bentuk pinggul yang takut berubah bentuk akibat duduk terlalu lama di kereta, untuk pulang ke Bandung kami menggunakan pesawat keesokan harinya. Sehingga di malam hari sebelum pulang kami dapat menikmati suasana Surabaya.
Travel itu Menyenangkan Bagi Jiwa dan Raga
Ada beberapa alasan kenapa bepergian itu menyenangkan. Saya mengutip sebagian dari huffingtonpost.com beberapa alasannya. Yaitu:
- Bepergian membuat kita mengenal adat dan budaya juga sejarah suatu tempat
- Membuat kita memiliki koneksi terhadap kebudayaan daerah lain dan juga orang-orangnya
- Menenangkan jiwa dan mengistirahatkan badan kita karena sesekali keluar dari rutinitas dan kegiatan harian yang itu-itu saja
- Menghilangkan stress dan membuat kita memiliki entusiasme dalam kehidupan
- Membuat kita lebih mengenal diri kita sendiri, dan mengetahui arti dari sebuah perjalanan. Cintai diri kita, cintai hari-hari kita, dan cintai kehidupan kita.
Demikian cerita perjalanan saya. Semoga menghibur yang membaca.
Leave a Reply