Tujuan lo apa? Pertanyaan ini -suwer, dapat ngutip dari Mrs Hananto yang berprofesi sebagai perencana keuangan, yang sharing sessionnya pernah saya ikuti dalam rangka ‘jam-jam bahagia’ bersama beliau di suatu hotel di suatu hari. Namun dalam hal ini saya tidak menulis soal merencanakan keuangan. Duit mah tara kokotak, istilah dalam bahasa Sunda, yang artinya uang itu tidak seperti ayam yang rajin berkotek. Arti secara mendalamnya apa saya tidak tahu. Maaf kalau Anda kecewa.
Ini tentang tujuan dalam menulis. Hampir semua orang punya ambisi. Hampir semua orang punya tujuan. Kecuali orang yang tidak punya ambisi dan tidak punya tujuan (ya iya lah Neng). Manusia punya energi. Dalam hal ini energi untuk menulis. Tinggal menyalurkan energi itu untuk apa. Untuk hal yang positif atau untuk hal yang negatif. Bagi saya menulis adalah hal yang positif. Dan karena saya penggemar kata-kata berima, maka saya menyebutnya menulis bagi saya adalah untuk tujuan katarsis dan juga narsis.
Kalau mengkaji lebih jujur lagi, sebenarnya saya ini juga penggemar lomba menulis. Selain mengasah kemampuan menulis, saya pengen dapat kompor gratis. Juga sebuah Ipad yang manis. Sukur-sukur isi tulisan saya berguna buat yang baca. Tuluskah saya menulis bila ingin hadiah? Mungkin tidak, tapi biarlah. Only God can judge the deep down inside of my heart. Apakah ada yang salah dengan itu? Hampir semua orang punya tujuan, ya kan? Kecuali orang yang tidak punya tujuan.
Tujuan saya menulis akhir-akhir ini ditambah lagi dengan keinginan yang makin kuat untuk narsis. Yaitu ingin sekali menulis sebuah buku. Tidak cuma buku catatan belanjaan dapur dan warung yang saya tunggui setiap hari saja dimana saya bekerja dan mencari makan. Tapi benar-benar buku. Buku saya sendiri.
Kenapa? Jujur saja saya pengagum Ibnu Fadlan atau Ahmad Ibn Fadlan . Catatannya tentang bangsa Viking begitu detail dan mengagumkan. Betapa kuat beliau mendeskripsikan sosok orang-orang Viking, sosok mereka, bentuk kapal, adat istiadat sampai dengan metode penguburan di kapal Viking yang terkenal itu. Catatan manusia seperti Ibnu Fadlan yang bertahan membuat manusia yang hidup 1000 tahun kemudian mengetahui sejarah. Apakah yang akan kita tinggalkan 1000 tahun setelah kita hidup ini? -tentu saja kalau belum kiamat. Semoga bukan tulisan yang buruk dan tidak berguna ya. Tapi sebuah ilmu atau pengetahuan, paling tidak sebuah catatan mengenai kehidupan kita saat ini. Lucu juga, kalau kita bisa narsis kepada anak cucu dan cicit dari cicit kita nanti.
Lalu untuk soal katarsis. Menulis adalah pembebasan. Pengejewantahan emosi dan pikiran melalui tulisan. Menulis adalah metode curhat yang berfungsi sebagai terapi kejiwaan. Habibie melakukannya. Daripada konsultasi kepada psikoanalis yang membuat kantong menipis, atau juga kepada teman yang kadang karena minta ditraktir jadi tidak gratis, maka metode menulis ini adalah yang paling praktis. Juga menulis ini adalah suatu hal yang ‘relieving’, melegakan pikiran. Daripada terus muter-muter di kepala, menulis ibarat sebuah ‘pensieve’, baskom berisi cairan ajaib yang bisa menyimpan memori dari otak, milik Albus Dumbledore (baca di Harry Potter).
Jadi apa tinggal kita memilih apakah kita akan berbagi energi negatif dengan tulisan misuh-misuh, atau berbagi keindahan dengan tulisan penuh cinta? Itu pilihan.
Hidup itu pilihan.
Leave a Reply