Saya selalu mengasosiasikan tulisan sebagai masakan. Mungkin karena saya adalah mahluk pemangsa duren, yang senang membaca dan senang makan. Oh ya apakah saya hobi banget makan duren? Tidak juga sih, cuma entah kenapa lagi mikir duren barusan. Jadi inget duren di kampung, udah berbuah apa belum ya? Kok belum ada yang kirim kesini.
Oh ya soal tulisan dan masakan. Saya membaca tulisan seperti menikmati makanan. Ada yang saya icip-icip saja, ada yang saya pandangi, ada yang saya pelototi, ada yang bikin saya mual, ada yang saya nikmati perlahan. Yang saya nikmati akan saya kunyah 20 kali, saya memikirkan cita rasanya, bumbu apa yang dipakai, tingkat kematangan, dan saya telan. Lalu saya cerna. Ehm enak.
Saya ibaratkan penulis sebagai tukang masak. Ada yang jago masakan tradisional, ada yang internasional. Ada yang senang bikin gado-gado, ada yang jago banget seperti chef hotel berbintang. Setiap sajiannya selalu menarik, bermakna, bergizi, dan berwarna.
Ada yang nyomot bahan masakan dari tukang sayur lewat, atau dari sisa-sisa persediaan di kulkas (ini saya banget). Ada yang memikirkan bahan baku tulisannya dengan mendalam, mencermati setiap bahan, menelaah resep dan referensi, dicicipi, dibaca kembali, baru dihidangkan.
Karena saya masak eh menulis di kala sempat dan tanpa tenggat, model suka-suka, mohon maaf kalau sajian masakan saya suka berantakan. Tidak ada ujung pangkal, tanpa garnish tanpa pemanis, kadang-kadang lupa menghidangkan makanan penutup.
Tapi menulis juga seperti memasak, adalah proses. Tidaklah bisa kalau tidak biasa, dan tidaklah menjadi chef yang baik kalau tidak mengalami jadi tukang cuci piring. Setiap orang bisa memasak, mengutip dari Gusteau yang mencoba meyakinkan Remy si tikus, ”anyone can cook.” Kata Gueteau di film Ratatouille.
Leave a Reply