Disclaimer:
Jujur saja, saya ini ga bisa dan ga suka debat. Bila di sekolah dulu ada adu debat, saya nyerah. Gak pernah ikutan. Selain saya ini kalau ngomong belepotan, saya juga gugupan. Ngerinya kalau lagi gugup, saya jadi buang angin. Yang sulit dikamuflase dengan batuk-batuk itu. Nah, beberapa kali ada adu debat, saya memilih jadi tukang tepok tangan saja. Dan diam-diam berpihak pada satu pendebat -yang cakep dan saya taksir tentu saja. Atau biar rada bergengsi dikit, jadi tukang catat saja deh, yang mana dikarenakan saya ini memiliki kemampuan jadul para tukang catet jaman dulu atau kemampuan panitera, yaitu jago nulis steno (nyombong dikit ah).
Lagian kalau komentar di perdebatan, saya juga biasanya OOT abis. Karena engga bisa memikirkan komentar-komentar yang pintar dan menohok. Boro-boro komentar di perdebatan, kalau ada apapun pertanyaan seperti, “Ada yang mau bertanya?” di dalam seminar, atau workshop, atau sharing session, rapat dan lain-lain, sementara orang-orang unjuk tangan untuk bertanya atau berkomentar, kadang biar kelihatan pintar (ngomongnya muter-muter), atau memang beneran pintar. Atau tidak mengerti sama sekali tapi biar kelihatan aktif ya ikuta-ikutan unjuk nyali, berkomentar walau bikin geli. Sementara saya akan menyurukkan badan ke bawah meja, menyembunyikan orat-oret gambar saya yang mengkarikatur pembicara di depan, dan merah padam saat ditegur karena mengantuk di forum serius.
Sekian disclaimer saya tentang diri saya. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa saya ini inkompeten dalam hal debat atau berpendapat. Bila dikonter, biasanya kontan deh lost focus tidak bisa mempertahankan pendapat dan kebingungan, lalu pingin kabur dari depan kelas dan duduk di kantin nyari angin segar. Namun walau gugupan dan belepotan kalau ngomong, tidak pintar bicara seperti para pengacara di TV itu yang kalau ngomong bisa seperti rentetan peluru muntahan dari Uzi, tak urung saya ingin berpendapat juga. Karena menurut orang Yunani Rene Descartes (yang ternyata bukan orang Yunani), kita ada karena berpikir, eh kebalik ya, kita berpikir maka kita ada –cogito ergo sum, tak urung pengen juga sih urun suatu pendapat. Walau hanya lewat menulis saja. Karena buat saya menulis buat saya lebih mudah dari berbicara, mungkin karena saya telat bisa ngomong waktu kecil. Ini kelebihan buat saya, dan saya bangga, karena Albert Einstein juga waktu kecil telat bicara di waktu usia balita.
Soal Debat dan Berargumen
Banyak bicara sedikit bekerja, tak banyak bicara tangan gerilya, #eh (sumpah, ini ga ada hubungannya), mengamati perbincangan dan perdebatan pintar akhir-akhir ini di berbagai media, saya yang lugu dan sering lola, istilah anak sekarang untuk ‘loading lama’, mungkin karena intensnya perdebatan dimana-mana, dan saya yang sering menganggap diri ini adalah pencinta kedamaian nurutin Dalai Lama dan dalam diri saya ini adalah Avatar penghuni Planet Pandora -bulan Pandora tepatnya, tak urung membuat saya jadi mengamati.
Apa ya pendapat saya, ini lho. Kenapa ya banyak orang berdebat dan berargumen dengan metode ad hominem. Jujur saja, istilah ad hominem ini walau saya sering mendengar, baru hari ini saya baca serius artinya di wikipedia. Contoh argumen abdomen ini (susah bener ngomong ad hominem), seperti yang saya kutip, adalah sebagai berikut:
- “The Mayoral candidate’s proposal about zoning is ridiculous. He was caught cheating on his taxes in 2003.”
- “What makes you so smart and all-knowing that you can deny God’s existence? You haven’t even finished school.”
- “If Dr. Smith is such a skilled heart surgeon, then why was he arrested for gambling?”
- “Your fashion opinion isn’t valid; you can’t even afford new shoes.”
Eh artinya kalau dulunya seseorang bekas atau masih pencandu narkoba, buat orang-orang yang suka berargumen abdomen ini berarti si pecandu tersebut tidak boleh membuat kampanye anti narkoba ya? Mungkin ini berhubungan dengan kredibilitas kali ya. Seperti halnya seorang ahli kinetika telematika akan lebih pantas menjadi menteri hura-hura pesta pora, dibanding saya. Ya iyalah. Ngerti matematikatelematika saya tidak, main bola juga saya tak kuasa. Ok, ini soal kerdibilitas kredibilatas…kredibilitas berarti. Astaga gara-gara hujan melulu saya ngetikpun jadi belepotan. Kok saya jadi pusing sendiri ya mikirin ad hominem ini. Bukti otak saya memang cetek. Pantesan saya ga jadi menpora, lagipula saya memang tidak berkumis.
Kembali saya ngutip dari wikipedia, maaf ya emang kalau ngutip doang sih saya pinter.
” Equating someone’s character with the soundness of their argument is a logical fallacy”
Yang saya coba artikan sih mungkin salah satu dari daftar logikal falasi ini adalah misalnya false analogy seperti contoh kasus ucapan dibawah ini (masih dapat ngutip dari wiki kok):
Person A: “I think that people can have some affection for their cultural heritage.”
Person B: “You’re just like Hitler!”
Intinya yang begini ini adalah ad hominem, menyerang si A tanpa melihat pesannya.
Penutup: Jujur saya juga ga tahu saya mau ngomong apa* . Yang jelas maksud saya sih ingin bercermin pada diri ini apakah saya ini suka menyerang orang karena orangnya, dan apakah logika saya juga tergolong pales, eh falasi. Tadinya saya mau bahas soal character assassination (yang teman-teman di komunitas saya menyebutnya dengan karakter asinan) dan Innuendo (yang sampai sebelum ini, saya menganggap artinya adalah judul lagu saja, ternyata bukan hehehehe). Namun kepanjangan nantinya (siapa juga yang mau baca?), warung saya engga ada yang nungguin, dan saya harus menggerus kacang lagi buat bikin gado-gado jualan saya. Terima kasih.
*Baca Disclaimer di atas
Leave a Reply