Waktu sudah menunjukkan jam setengah delapan malam. Aku resah. Sambil membereskan catatan-catatan dan meraih gadget yang bergeletakan di meja ruang meeting, aku mendengarkan dengan setengah hati dan telinga kata-kata penutup pada rapat yang berlangsung melebihi jadwal yang seharusnya ini.
“Langsung pulang bu?” Rekan kerjaku bertanya.
Aku mengangguk dan tersenyum kecil.
Padahal tidak. Aku ada janji kencan malam ini. Dan aku resah. Bisa-bisa aku terlambat datang. Belum lagi aku perlu berdandan dulu. Aku tidak membawa pakaian ganti. Sambil berpikir-pikir aku melirik pada bayanganku di kaca ruang pemisah antara ruang meeting dan koridor. Kalung dengan bebatuan dan dirangkai dengan perak bakar ini tampak cantik. Bajuku yang berwarna merah tampak masih segar di malam hari ini. Untung bukan bahan yang mudah kusut.
Resah kubereskan rambutku dengan tangan sambil masuk ke dalam lift mendahului orang-orang yang masih asyik bercakap untuk lanjutan keputusan hasil rapat tadi. Target. Strategi yang baru. Evaluasi. Dan selingan gosip-gosip. Semua suara-suara itu terdengar mengambang di pikiranku yang tertuju pada hal lain.
Dalam ruang lift yang sepenuhnya berlapis kaca memantulkan bayanganku di segala penjuru. Karena sendiri di dalam aku perhatikan warna bibirku. Sedikit pucat. Olesan lipstik glossy akan menyegarkannya. Pipiku sedikit berminyak. Mungkin aku perlu cuci muka dulu.
Sambil melirik ke waktu yang ditunjukkan oleh telepon genggamku, aku bergegas ke toilet wanita. Mencuci wajah, mengeringkannya. Mencubit pipiku sendiri keras-keras, dan menggosoknya. Cara ini efektif untuk membuat pipiku merona merah alami. Aku sempat berpikir, bila ingin merah merona, lebih cepat dengan cara menampar pipiku sendiri. Tapi itu sakit. Dan aneh, bila dilihat orang. Setelah merapikan rambut dan menyemprotkan sedikit parfum dari botol kecil yang selalu kubawa di tas kerjaku, aku merasa segar dan cantik.
*****
Aku duduk tenang menunggu di kursi bersandaran nyaman ini. Kuperhatikan uap panas masih mengepul di secangkir kopiku yang tanpa gula, tanpa krim. Dari kaca jendela kulihat langit malam kelam tak kelihatan berbintang, terkalahkan sinar dari lampu kota yang berkelap-kelip . Layaknya bintang di langit bertukar tempat dengan menghampar di bumi.
Aku menenangkan detak jantung yang kadang liar kadang tenang ini. Menunggu. Aku merasa seperti gadus ingusan yang diberi secarik kertas oleh pemuda idaman untuk menunggu sepulang sekolah di gerbang sekolah. Akhirnya dia muncul dan menyapa. Tinggi badanmu menghalangi pandanganku. Kulit yang gelap. Celana jeans, jaket, dan t-shirt warna hitam. Kau tampak santai walau ada sedikit guratan keras di rahangmu. Mungkin kau telah melewati hari yang penat.
“Hai..” sapanya.
Suaranya dalam dan tenang.
Senyumnya lebar dan hangat. Gurat keras di rahangmu melembut dan menghilang.
Darahku menghambur cepat di setiap kapiler. Pipiku yang sudah kucubit keras-keras agar merah, terasa bertambah intensitas panasnya. Pasti akan terlihat merah padam. Jangan terlalu merah! Nanti seperti monyet pantat merah, pikirku segera.
“Tadi lama nunggu?”
Aku menggeleng. Suaraku sulit keluar. Aku tercekat. Mengalihkan pandang sejenak, aku menunjuk ke secangkir kopi yang sedang kunikmati.
“Mau?” tanyaku.
Tak lama kemudian secangkir espresso menemani cangkirku. Kunikmati belaian hangat rasa kopi di lidahku. Aku suka membiarkan rasa kopi itu lama tinggal. Segigit kue jahe bercampur cinnamon kunikmati pelan untuk memperkuat rasa kopi yang kuhirup. Aku berlama-lama memandang wajahnya.
Kemudian percakapan mengalir bagai air bah. Tawa tergelak. Pandangan mesra. Kau menyandarkan tubuhmu ke belakang. Agak menggeliat malas. Aku seperti melihat macan kumbang. Tubuhnya langsing keras. Malas namun berbahaya. Dan percakapan yang makin intense, hingga tak kurasakan rasa makanan yang ada di depanku. Aku fokus pada dirimu, pada ceritamu, pada gelakmu. Kita tertawa bersama, sampai pada jeda suatu cerita kau menatapku lama. Lama sekali. Kafe ini terasa hening. Kita terpisah dari dunia. Orang-orang bercakap, orang-orang tertawa di sekitar kita. Tak kudengar. Dunia sepi mengabur dan menjauh. Hanya ada kita berdua.
“Do you love me?” tanyamu tiba-tiba.
“Karena aku mencintaimu sejak lama”. Lanjutmu. Kau menyalakan rokok, menghisapnya. Dan kembali menatapku dalam.
“Ya..” kataku. Kutentang matamu dengan berani. Aku balas menatapnya lekat. Kau menghembuskan asap rokokmu, entah lega atau apa. Sinar matamu hangat. Sangat hangat.
Sejenak kau bangkit dan mendekat, sampai sangat dekat sehingga kurasakan kau akan mengecupku. Namun sesuatu menahanmu. Gerakmu terhenti.
Layar kaca itu menghalangi kita. Kau jauhnya ribuan mil dariku. Kutatap layar komputer di depanku. Dan kusentuhkan jari-jariku membelai wajahmu.
Wouw…cinta yang terhalang