Setelah hari Minggu lalu saya disengat tawon, yang walaupun pengalaman tersebut sama sekali tidak indah, bisa dibilang bahkan sangat menyakitkan, namun bisa saya katakan pengalaman disengat tawon itu adalah pengalaman yang sangat berkesan. Tidak tiap hari kita disengat tawon kan? dan seperti orang Indonesia bilang dan juga Dono Kasino Indro bilang di salah satu cerita bodorannya di Radio Prambors…”untung”…….”untung tawonnya satu, untung ada Puskesmas yang dekat, untung tidak kena ke anak saya..untung tidak mati..”. Yang menurut saya, perkataan “untung” setelah mendapat suatu pengalaman buruk, dapat kita telaah lebih jauh adalah sikap optimis bangsa kita, perwujudan rasa syukur juga, bahwa dalam setiap hal selalu ada hikmah dibalik peristiwa. Jadi walaupun misalnya banyak koruptor di pemerintahan negara kita, kita masih bisa bilang “untung ga semua jadi koruptor”…. eh ….sepertinya ada yang salah dalam kalimat untung yang ini sih. Kalau soal koruptor itu bukan untung tapi buntung.
Kembali pada topik. Tadi malam sambil buka macbook dan garuk-garuk kepala yang masih terasa aneh bekas disengat tawon itu (rasa aneh antara gatal ketombean dan campuran rasa memar ) hebat ya racun tawon, setelah seminggu masih terasa saja efeknya, saya membuka kompasiana. Karena ada headline menarik soal menulis puisi di bulan Ramadhan. Gini-gini kan saya senang nulis puisi, walaupun produktivitas saya sangat rendah. Seperti halnya produksi kain batik tulis tangan. Bahkan lebih jarang dan lama dari itu. Begitulah kalau master piece, emang ga boleh sering-sering bikin. Tak sengaja saya melirik judul yang dibold lain yaitu: Pemenang Lomba Ekspedisi Cincin Api Periode V. Lho lho…ada nama saya, eh bahkan jadi pemenang ke I. Ajaib.
Saya senang sekali. Rasanya percaya diri saya dalam hal menulis yang sempat jatuh di titik yang hina di jurang gelap putus asa seorang penulis (lebay yah, tapi penulis hebat seperti Ernest Hemingway juga suka lebay kok), kembali terangkat tinggi, dan saya langsung semangat lagi menulis. Ibaratnya kita dalam suatu pertempuran, dimana amunisi tinggal sedikit. Kita menggunakan senapan tabur yang pelurunya mesti nyetak dulu dan cuma bisa ditembakkan satu per satu, sementara lawan kita pakai Uzi, lalu tiba-tiba kita dapat bantuan amunisi, lightsabernya Darth Vader, dan logistik berupa pisang dan buah-buahan, nah seperti itu rasa senang yang saya rasakan.
Soalnya pada awal saya menulis tentang Ekspedisi Cincin Api itu saya ga pede juga. Gunung yang pernah saya daki cuma Gunung Tangkuban Parahu, dan Gunung Sawal. Tok. Sisanya bukit. Itupun kepaksa (yang naik bukit) gara-gara nengok BTS Telkomsel bersama teman-teman kerja. Ya, saya bukan pendaki gunung profesional, amatiran pun bukan. Bahkan bukan pendaki sama sekali, mengingat terakhir jalan kaki ke Jayagiri itupun saya pingsan di tengah perjalanan, bukan, bukan karena fisik lemah, tapi karena belum sarapan saja. Petinju pun kalau engga sarapan dulu niscaya bakal keok di tengah pertandingan walaupun baru ronde ke 1.
Walau ga pede, tapi karena saya sangat senang membaca National Geographic dan editor pujaan saya sepanjang masa adalah Tantyo Bangun, akhirnya saya nulis juga tentang Gunung Tangkuban Parahu, toh namanya nulis yang penting kan karena saya senang dengan apa yang saya tulis, ga peduli saya bukan pendaki juga, saya toh juga bukan seorang penyanyi pemenang Indonesian Idol. Yang penting saya menulis, karena semangat menulis itu ada, agak niru perkataan Sir Edmund Hillary, yang bilang mendaki gunung itu karena gunung itu ada.
Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Dan berkah hari ulang tahun saya dan disengat tawon ini rupanya ada korelasinya dengan keberhasilan saya itu. Walaupun hubungannya sedikit sekali signifikasinya. Sengaja saya gunakan kata
susah seperti korelasi dan signifikan, supaya kelihatan agak pinter, hehehehehe. Terima kasih Kompasiana.
Barangkali ada yang mau baca tulisan saya, ini linknya:
Menyusuri Jejang Angkara Sangkuriang di Gunung Tangkuban Parahu
Leave a Reply