Hari Sabtu kemarin, saya dan suami berserta satu anak saya yang kecil pergi ke Situ Cileunca untuk acara family gathering kantor suami saya. Berhubung perusahaan tempat suami saya kerja adalah PT Daya Mitra Telekomunikasi atau Mitratel, yang mana berhubungan erat dengan perusahaan tempat saya kerja yaitu Telkomsel, dimana selain perusahaan tempat kami bekerja adalah sama-sama anak perusahaan Telkom, dan juga secara hubungan kerja perusahaan tersebut menjalin hubungan kemitraan, dimana di perusahaan tempat suami saya bekerja banyak karyawan yang pernah bekerja di kantor saya, yang pada kesimpulannya family gathering ini lebih terasa seperti reuni buat saya karena saya banyak sekali kenal dengan karyawan disana. Panjang juga ya prolognya.
Nah kami pergi ke Pengalengan jam 6 pagi, karena Dayeuhkolot- Banjaran yang kami lewati adalah daerah macet, kira-kira kami tiba jam 9.30. Langsung ke TKP yaitu sebuah tempat di hutan cemara yang dekat dengan sungai dan bukit yang melandai, tempat di pasang flying fox, dimana malapetaka disengat lebah itu terjadi. Hutan cemara disana menyenangkan. Pemandangannya indah sekali, dibawah tampak aliran sungai yang deras, yang sering digunakan orang untuk rafting. Juga perkebunan teh yang menghampar, dimana bukit-bukit dan gunung dengan hutan cemara tampak hijau kebiruan bergradasi dengan dilatar belakangi langit biru berawan putih yang segar sekali terlihat.
Saat suami saya main paintball dengan teman-temannya, saya main flying fox dengan anak saya dimana peristiwa disengat tawon terjadi. Sepertinya kami-kami yang membuat keributan dengan acara gathering ini mengganggu kedamaian tawon-tawon disana. Beberapa kali saya memang dikitari oleh serangga hitam berdengung tersebut. Tadinya saya berpikir karena saya manis. Eh. Bukan. Tadinya saya berpikir saya memakai parfum yang berbau bunga-bungaan. Itu teori saya, karena saya memang sering dikitari lebah sejak dulu. Tapi setelah saya ingat-ingat hari itu saya tidak pakai parfum apapun. Malah saya menggosokkan kayu putih banyak-banyak, dan minum Antangin, soalnya saya kalau bangun kepagian suka masuk angin. Bangun pagi sih ga masalah tapi kalau bangun pagi dan harus terus mandi dan pergi apalagi lupa semalam ga matiin lampu dan tipi bisa berakibat fatal pada saya. Peredaran chi di tubuh saya akan sangat terganggu. Mengakibatkan sakit kepala dan perut kembung yang aneh kalau saya lupa matiin tipi dan lampu sebelum tidur. Apalagi pas subuh ada Ustad Solmed di tipi, bukan saya ga suka dengerin ceramah ya, tapi kebetulan menurut saya suara Ustad Solmed itu jauh dari merdu. Maaf sekali buat fans Ustad Solmed di seluruh Indonesia. Saya cuma bersikap jujur.
Nah setelah selesai flying fox, saya mendaki bukit kembali ke pos semula, lalu tanpa peringatan sama sekali saya mendengar dengung yang kencang, seperti gini nih..NGUUUUUNGGGG! dan tiba-tiba belakang kepala saya seperti dihantam pemukul kasti. Serius. Saya selalu menyangka disengat itu ya rasanya seperti disengat, ditusuk sesuatu, seperti jarum suntik misalnya. Atau ketusuk duri atau digigit semut merah. Atau lebah madu yang saya pikir cukup menyakitkan juga. Ternyata rasa diserang tawon itu lebih seperti dihantam peluru. Rasanya jedak banget. Rasanya panas, menyakitkan seperti dihantam, dan pedih seperti luka disiram cuka. Kepala saya rasanya seperti dicakar dan dipukuli sekaligus. Kalau tidak salah si tawon menyengat dua kali. Dendam sekali rupanya dia pada saya, setelah kemudian terbang kembali. Sepertinya jenis tawon besar ini adalah Tiwuan menurut bahasa Sunda. Agak berbeda dengan Odeng yang lebih pendendam, yang tak akan henti mengentup targetnya kemanapun ia lari kecuali membenamkan diri di air. Tiwuan tidak seniat itu mengejar-ngejar kita. Tapi bisanya lumayan membuat mata berair dan sakit sekali.
Sambil mengaduh-aduh saya jalan mendaki bukit, pandangan saya buram, untung tidak salah masuk sungai. Saya mendatangi panitia penyelenggara acara setempat. Beberapa orang saya tidak ingat, mengobati sengatan saya dengan gosokan cabe rawit dan minyak tawon, kata mereka sih ampuh mengobati sengatan lebah hutan. Sakitnya menjadi-jadi, sambil digosok cabe rawit saya berkata-kata tidak jelas, seperti “Untung tawonnnya satu ya pak, gimana rasanya kalau sepuluh” dan kalimat seperti “semoga saya jadi tambah pinter ya pak, setelah disengat tawon seperti begini”, dan mereka menjawab dengan kalimat yang tidak menghibur seperti “Bu, dulu ada yang disengat begini, sebadan-badan bentol-bentol lho”, dan juga kalimat yang sangat tidak menghibur lainnya seperti “Bu, biasanya orang disengat tawon panas dinginnya tiga hari tiga malam loooh..” yang saya jawab dengan “Ga bisa satu hari aja panas dinginnya? soalnya hari Selasa saya ngundang meeting orang”. Akhirnya saya meminta anak saya memanggil suami saya yang asik tembak-tembakan, yang setelah saya ketahui kemudian, dia salah sasaran menembaki anak-anak kecil anak dari rekan kerjanya, yang ngadu ke bapaknya dengan logat Jawa kental “Pak pak, Pak Irfan iku nembaki aku terus lho pak”, yang dijawab dengan “Nak, pak Irfan itu dendam sama Bapak, karena Bapak ga ikutan maen, makanya kamu ditembak’i”. Suami saya cuma bisa nyengir, katanya mask yang dipakai burem, jadi ga bisa bedain anak kecil sama orang gede. Yang saya pikir agak mustahil.
Suami saya mendatangi saya, dan saya yang sudah gemetaran panas dingin, demi melihat suami saya… ga sih ga kayak pelem India, yang suka ada adegan lari-lari sambil meluk itu. Saya cuma nangis, waaaa…sakiiit!, gitu deh. Memalukan yah. Tapi ya gimana. Sakit banget sih. Akhirnya kami pamit pulang duluan dari acara, dan dengan mata bercucuran air mata kami mencari puskesmas terdekat yang ternyata ada di Pengalengan. Yang dekat Situ Cileunca tutup. Dan saya diobati dengan cuka dulu. Dikompreskan ke luka sengat. Cukanya minta dari tukang bakso yang mangkal depan Puskesmas. Setelah setengah jam istirahat, karena tekanan darah saya naik sampai 150, lalu saya disuntik anti alergi dan dibekali obat-obatan yang langsung saya minum di perjalanan pulang. Alhamdulillah. Besoknya yaitu hari ini, sakitnya sudah sangat berkurang. Sungguh hadiah ulang tahun yang aneh.
Oh ya kalau menurut Schmidt Sting Pain Index atau Derajat Kesakitan disengat ala Schmidt, disengat tawon hutan ini masuk level 3. Di atas lebah madu, dan dibawah tarantula dan tentu saja semut peluru yang melihat di tipi saja saya sudah ngeri sendiri lihat bekas dan kesakitan akibat gigitannya. Semut Peluru ini digunakan sebagai ritual tes kejantanan seorang laki-laki yang disebut dewasa di suku Sateré-Mawé di Brazil. Yang lulus maka akan layak disebut satria atau warrior.
Kalau saya sih masih ngarep sehabis disengat ini jadi the Amazing Tawon Woman, gara-gara habis nonton the Amazing Spiderman beberapa hari lalu.
yess pertamax 😀
berbelit belit…ngap jg urusan tmpt kerja dipanjang2in ckckckckckc
yee, blog saya ya suka2 saya nulisnya… emang nulis buat artikel koran. kalo ga suka baca ya gpp