Sebetulnya judul diatas, bisa dibilang tepat tapi juga kurang tepat. Hemat energi memang karena tidak pakai bahan bakar bensin, tapi kalau bahan bakar yang berupa nasi dan lauk pauk, kebutuhan seorang pengayuh becak untuk makanan ini cukup tinggi lho, karena mengayuh becak itu harus mengeluarkan tenaga yang cukup besar. Coba saja Anda kayuh becak, pasti langsung ngos-ngosan kalau tidak biasa, atau untuk yang bertenaga pas-pasan, dijamin becaknya bahkan tidak bergerak sama sekali.
Saya tergelitik membaca sebuah artikel di VOA – Voice of America hari ini bertajuk Kisah Seorang Penarik Becak di Kota New York, dapat ditemukan sumber artikelnya disini, mengemukakan tentang seorang penarik becak yang mencari nafkah di belantara beton Manhattan dengan mengayuh becak. Dia bosan dengan pekerjaan kantoran, dan beralih profesi sebagai pengemudi becak yang mengantar turis mengunjungi tempat wisata, sekaligus dia berperan sebagai pemandu untuk berkeliling ke berbagai tempat yang menarik di seputaran kota.
“Bersiaplah. Rasanya akan seperti naik roller coaster atau halilintar!,” demikian ujar Frankie Legarreta, seorang pengemudi becak di Manhattan, New York. Selama lebih dari enam tahun, Frankie telah menggeluti pekerjaan membawa penumpang di sekitar Central Park, kota New York dengan kendaraan beroda tiga itu, yang biasa disebut “pedicab” atau sejenis becak dengan penumpang berada di belakang pengemudi.
Saya teringat lagu masa kanak-kanak yang terkenal ciptaan Ibu Sud yang legendaris, yang berjudul Becak. Hayoh, siapa diantara pembaca yang masih ingat lagunya? Kita bernyanyi bersama-sama sekarang nyok..
BECAK
Saya mau tamasya berkeliling-keliling kota
Hendak melihat-lihat keramaian yang ada
Saya panggilkan becak kereta tak berkuda
Becak becak coba bawa saya
Saya duduk sendiri dengan mengangkat kaki
Melihat dengan aksi ke kanan dan ke kiri
Lihat becakku lari bagai takkan berhenti
Becak becak jalan hati-hati
Ciptaan : Ibu Sud Tahun 1942
Becak pada beberapa dekade memang menjadi sarana transportasi primadona. Pada era tahun 1970 sampai dengan 1980 di kota besar di Indonesia pada saat itu belum banyak kendaraan umum ataupun disebut angkot (singkatan dari angkutan kota) seperti saat ini. Transportasi bertenaga manusia itu akrab bagi ibu-ibu yang berbelanja sayur, antar jemput anak sekolah, sampai dengan alat transportasi untuk bertamasya keliling kota seperti lagu di atas.
Namun di masa kini, banyak penertiban becak yang dianggap sebagai sumber kemacetan dan pengganggu keindahan kota. Bagaimana tidak, jalanan yang berjejalan dengan kendaraan yang semrawut ditingkahi pula dengan becak yang digenjot pelan, seringkali melawan arus, atau seenaknya melintas dengan santai di tengah jalan utama. Banyaknya becak ini akhirnya menimbulkan pemerintah mengeluarkan aturan penertiban becak dengan razia becak oleh petugas ketertiban umum (atau sekarang disebut Satpol PP), mengumpulkan becak-becak, menaikkan ke truk, dan berakhir dengan diceburkan ke laut menjadi teman ikan-ikan dan hiasan dasar laut. Memang masalah becak ini adalah masalah yang dilematis.
Di Singapura dan Malaysia, beberapa tempat wisata menjadikan becak sebagai sarana transportasi yang menarik minat banyak wisatawan. Di Singapore, ongkos untuk naik becak keliling kota atau tempat wisata adalah sekitar SGD 39 sampai dengan SGD 49, tergantung rute yang diinginkan. Konversi ke rupiah bisa sekitar IDR 300.000 an kurang lebih. Ongkos yang bisa bikin para tukang becak di Indonesia jingkrak-jingkrak kegirangan. Namun di Jakarta sejak tahun 1980, becak resmi dilarang beroperasi dengan alasan ‘eksploitasi manusia oleh manusia’, atau kira-kira begitu.
Kembali pada artikel Kisah Seorang Penarik Becak di New York, mang Frankie Legaretta -mungkin kira-kira begitu kalau orang Sunda di Bandung memanggilnya, sebutan ‘mang’ di awal nama orang berari adalah ‘paman’ atau ‘uncle‘, mengatakan sebagai berikut:
Selanjutnya, Frankie Legarreta juga mengatakan, “Pekerjaan (menarik becak) ini sesungguhnya membantu saya tumbuh secara rohani dan juga secara fisik. Yeaaaaaah! “Apa yang dikatakan Frankie itu benar. Dia menggenjot becak sejauh 32 kilometer ke dan dari tempat mangkalnya setiap hari. Katanya, berat badannya telah turun lebih dari 16 kilogram karena perjalanan ke dan dari tempat kerjanya itu. Tetapi tetap sehat hanyalah sebagian manfaat dari pekerjaan itu. “Ini adalah kenikmatan dalam hidup saya dalam hal mencari nafkah. Saya benci bekerja di kantor dengan ruangan ber-AC. Saya mendapat penyejuk udara bebas di sini,” kata Frankie.
Terbukti bahwa menggenjot becak untuk seorang Frankie Legaretta memungkinkan baginya untuk sehat secara rohani, karena interaksi dengan manusia dari berbagai belahan dunia, memungkinnya memiliki hubungan sosial dan antar manusia yang baik, juga memungkinkan baginya untuk menghirup udara segar setiap hari. Badan pun sehat karena menarik becak sekaligus juga berolahraga, bandingkan dengan mengayuh sepeda gunung satu jam , dengan mengayuh becak dengan penumpang 2 orang. Ada yang mau coba?
Akhir dari kisah saya tentang becak ini, adalah alangkah baiknya ditengah isu krisis bahan bakar yang melanda dunia ini, juga melanda Indonesia tentu saja tanpa kecuali, penggunaan becak sebagai transportasi alternatif tidak dipandang sebagai eksploitasi manusia oleh manusia, toh kami para ibu-ibu penggemar kendaraan becak, tidak pernah menggunakan pecut atau cambuk, kalau kayuhan tukang becak yang kami tumpangi dirasa lambat. Hanya saja memang penting adanya pengaturan kendaraan untuk memaksimalkan fungsi becak ini sebagai kendaraan alternatif hemat energi atau untuk kendaraan khusus pariwisata. Sepertinya sebelum menyentuh ranah becak, kita pun harus memiliki aturan yang jelas untuk kendaraan umum yang terlalu semrawut di perkotaan ini..
sumber gambar: Voice of America
Daerahku becak udah punah dan tergantikan oleh tukang ojek xexe.. begitu juga dengan dokar yang ikut punah juga. ojek lebih dipilih karena dianggap lebih efisien dan lebih cepat.