I was walking along a path with two friends – the sun was setting – suddenly the sky turned blood red – I paused, feeling exhausted, and leaned on the fence – there was blood and tongues of fire above the blue-black fjord and the city – my friends walked on, and I stood there trembling with anxiety – and I sensed an infinite scream passing through nature.
Saya membaca berita hari ini bahwa lukisan Edvard Munch – The Scream yang fenomenal ini terjual dengan harga Rp 1.1 trilliun. Lukisan dan benda antik, memang benda-benda yang sulit diukur standar harganya. Bukan hanya diukur dari harga materi benda itu, tapi nilai dari ‘taste’ yang membuat benda-benda demikian menjadi demikian fantastis.
Dulu sekali, saya pernah bertanya pada teman saya seorang pelukis, siapa pelukis favoritnya. Dia menjawab singkat “Edvard Munch” tanpa menjelaskan mengapa dan siapa. Saya bukan seorang yang mengerti lukisan, tapi saya penasaran dengan jawabannya. Setelah saya cari di internet dan membaca tentang Edvard Munch, kesimpulannya: saya tetap tidak mengerti.
Kesan saya sebagai seorang awam, lukisan Edvard Munch yang satu ini The Scream – ada beberapa versi lukisan The Scream Edvard Munch- yang baru-baru terjual ini adalah yang paling ‘colourful’, adalah sangat mendalam. Warna semburat merahnya begitu indah. Benar-benar warna lembayung yang nyata. Pernahkah di suatu sore Anda tibda-tiba melihat langit seperti terbakar? Antara takjub, ngeri dan takut bercampur menjadi satu. Mungkin seperti itu yang dirasakan Edvard Munch sebelum dia menuangkannya ke dalam lukisan. Sosok mahluk mengkerut yang digambarkan, tidak seperti laki-laki dan ataupun perempuan itu, mengkerut seperti Mummy dari Peru. Seperti gambaran jiwa yang terhimpit dan menjerit.
Indah.
Leave a Reply