Karena satu dan lain hal beberapa minggu lalu saya menjalani pembedahan laparotomy. Dokter yang menangani saya adalah dr Maringan DL Tobing SpOg. Beliau adalah suami dari penyanyi era JK Records Christine Panjaitan yang cantik dan bersuara merdu itu. Nah, Dokter Maringan orangnya ramah, metodis, tinggi dan berkumis, dan pandai berbahasa Sunda. Hal yang terakhir sebenarnya tebakan saya saja karena pernah mendengarnya ‘heureuy’ dengan dokter anestesi dengan bahasa sunda dengan ‘paseh’ (siapa bilang orang Sunda ga bisa bilang F? itu pitnah!). Oh ya Saya selalu heran kenapa kebanyakan dokter kandungan selalu saya temukan berkumis. Apakah sudah menjadi trade mark di kalangan jajaran dokter? Ada yang bisa membantu memberi penjelasan untuk masalah ini?.
Awalnya saya mendapat rekomendasi untuk ditangani dokter Maringan ini dari adik ipar saya yang juga dokter, sarannya karena saya bermasalah di saluran tuba (yang pastinya menurut saya saluran tuba itu kecil dan sempit) dan dokter Maringan adalah spesialis untuk bedah mikro (apapun itu ya arti dari bedah mikro, saya juga ga paham kok soal kedokteran hehehe, yang jelas menurut saya bedah mikro terdengar sulit dan butuh keahlian tinggi).
Logika saya sih cuma begini: Makro => besar, luas, global, jadi gede gampang keliatan. Mikro => kecil, mungil, lucu, ga kelihatan jelas dengan mata telanjang, jadi susah. Yang mana logika saya bertentangan dengan nama Mikrolet, yang tidak terdengar kecil dan tidak juga berasosiasi dengan sesuatu yang imut ataupun kelucuan. Ah sudahlah, never mind!, tong dipikran nya! saya juga suka pusing kok dengan tulisan saya sendiri.
Setelah beberapa kali konsultasi akhirnya kami bersepakat untuk menentukan hari H untuk operasi di RS Santosa Bandung, kenapa di RS Santosa? Ini alasannya: satu, RS Santosa tidak jauh dari rumah saya, dua, RS Santosa punya kafe di lobby depan dan menjual kopi yang enak dan roti cinnamon roll yang harum, tiga, dokter Maringan juga menyarankan disana karena masalah peralatan yang lebih mendukung, empat beberapa kali saya dirawat disana, belum pernah nemu suster judes maupun suster ngesot, lima, dan sebenarnya nomor lima ini adalah nomor satu dalam prioritas saya, yaitu perusahaan tempat saya bekerja memiliki kerjasama dengan RS tersebut, dimana saya bisa menjalani perawatan disana dengan berbekal guarantee letter dari perusahaan untuk pembayaran. Jadi saya tidak perlu gadai menggadai atau menjual koleksi perangko dan koin saya (misalnya, dan sebetulnya misalnya banget, karena saya tidak punya koleksi perangko maupun koin) untuk membayar down payment biaya rumah sakit yang kadang melangit.
Berbekal surat dari HRD dari perusahaan tempat saya bekerja yang sangat sigap dalam penyediaan dukungan masalah administrasi dan surat menyurat karyawannya (untuk ini saya benar-benar berterima kasih dan mengacungkan semua jempol yang saya miliki), saya datang ke rumah sakit, setelah menjelaskan maksud dan tujuan, saya menyerahkan surat pengantar dokter dan surat sakti pengantar dari perusahaan, bingung juga pas ditanya, mau di kelas apa bu? sebetulnya saya tidak keberatan di kelas apapun, toh saya tidak akan lama dirawat hanya 3 harian saja, dan juga saya pernah masuk di kelas 3 di RS tersebut dan nyaman-nyaman saja sih menurut saya. Saya baru pertama kali masuk RS dengan berbekal guarantee letter, biasanya bayar duluan dulu dengan uang sendiri baru diklaim untuk reimburse di kantor. Jadi saya bilang sama petugasnya, kelas mana saja deh yang tercover dengan plafond yang diberikan perusahaan. Ternyata saya dimasukkan ke kelas 1. Di kelas 1 RS Santosa, satu kamar berdua. Satu hal yang saya selalu sensi mengenai rumah sakit ataupun hotel, yaitu kamar mandinya. Untunglah di RS ini kamar mandinya bersih dan cukup nyaman. Ah tarik nafas lega deh.
Saya masuk rumah sakit sekitar jam 10 pagi sedangkan operasi akan dilaksanakan jam lima sore. Puasa kalau tidak salah cukup 5 jam sebelum operasi. atau 4 jam? ah lupa deh. Yang jelas jam 10 ini saya masih boleh minum dulu dan makan sedikit. Jam 11 saya masuk kamar, dan bingung mau ngapain. Tidur males, lari keliling kamar juga bukan ide bagus ya?. Akhirnya karena saya berbekal iPad dan Macbook, jadinya saya coba browsing dan main game Facebook kesayangan saya, the Sims Social. Namun koneksinya kurang memadai untuk main games. Kalau untuk browsing baca berita sih oke oke saja. Akhirnya saya tiduran saja ditemani suami saya tercinta yang ijin dari kantornya untuk menemani saya. Ternyata mendingan masuk RS untuk operasi siang-siang untuk operasi sore-sore dibanding dengan datang malam-malam untuk operasi pagi-pagi. Karena kalau datang malam-malam kita akan diinfus malam itu juga, dan banyak prosedur lainnya seperti cukur mencukur daerah perut dan daerah sana, yang sebetulnya saya juga bingung ini termasuk harus apa tidak. operasi yang dulu-dulu saya selalu mengalami cukur mencukur, colok-colok jarum infus dan pengkateteran kandung kemih yang menyebalkan itu. Tapi tidak untuk operasi kali ini. Hore!. Karena saya sudah bawa data lab dan hasil EKG dari hasil pemeriksaan lab sehari sebelumnya, saat ini saya tidak perlu dicek lab lagi.
Pemasangan jarum infus dilakukan jam 15.30 dimana suster yang melakukan rupanya piawai dibanding yang dulu-dulu. Saya memiliki pembuluh darah yang sulit dilihat dan kecil, sehingga rupanya untuk petugas medis yang amatir atau belum jago tusuk menusuk jarum akan sangat menyulitkan. Biasanya setiap saya diambil darah atau diinfus, petugas akan mengeluh ‘duuh susah banget kelihatan pembuluh darahnya, bu’, dan saya akan disiksa dengan beberapa kali colok mencolok dan tusuk menusuk yang tanpa hasil, sampai kedua atau ketiga kali baru tuh si pembuluh darah lucu itu dapat ditemukan. Nah sustet yang menusuk pembuluh saya hari ini patut diberi piagam penghargaan! karena dia berhasil menemukan pembuluh darah saya dengan satu kali tusuk. Walau sempat juga berkomentar pembuluh darah saya selain sulit ditemukan juga bercabang. Mungkin itulah sebabnya kenapa saya lebih keren daripada orang-orang lain. Pembuluh darah saya berbeda!.
tak sabar menunggu terbitnya part 2 😀