Beberapa kenyataan yang saya temukan pada diri saya akhir-akhir ini membuat saya terperangah. Dan sampai pada titik dimana saya mengintrospeksi diri saya sendiri. Benar-benar sendiri. Di kamar mandi. Ya, memang di kamar mandi biasanya saya merenung. Menyelami kondisi jiwa saya, dan biasanya 90% ide cemerlang saya hari itu baik kejahilan atau pun sebuah prestasi, berawal dari pemikiran kamar mandi.
Ditemani sabun karbol bermerk Asepso, yang saya pakai sebagai sabun muka (ini biasanya buat anak saya yang kadang korengan) saya menemukan bahwa mungkin saya termasuk orang yang tidak mau mengakui suatu kenyataan. Padahal kenyataan itu ada dalam diri saya. Namun egoisme saya menyangkalnya.
Satu. Saya menemukan walaupun saya berulang kali, beberapa kali, bahkan bisa dibilang sering kali, mengungkapkan ketidaksukaan saya pada sinetron Indonesia, ternyata saya menghadapi kenyataan bahwasanya saya mengetahui dengan baik jalan cerita Kemilau Cinta Kamila, Safa dan Marwah, dan berlanjut dengan Seindah Senyum Winona. Salahkan PRT saya, neng Sofia yang selalu menyetelnya keras-keras. Namun kalau saya berani mengakui, tentunya kalau dalam lubuk hati yang terdalam tidak menyukainya, mana mungkin saya jadi hapal jalan ceritanya? Benar tidak?.
Dua. Saya menyukai film India. Saya sering berkomentar bahwa film India keluaran Bollywood itu lebay, berlebihan, norak. Terlalu banyak bernyanyi, sebanyak mereka menari, dan juga menangis. Semua berlebihan. Nyatanya hari ini, di pantry, mata saya tak berkedip menatap Shahrukh Khan di layar TV. Film berjudul Om Shanti Om. Saya berkata, tarian India itu terlalu berlebihan, gerakannya kadang tidak masuk akal, erotis, menghentak, dan norak. Tapi sepertinya saya memang menyukainya, kalau disuruh mengikuti gerakan tarian India, sudah pasti saya tidak bisa. Itu tarian sulit yang mungkin diturunkan oleh kegairahan nenek moyang jaman kebudayaan kuno di India dahulu kala. Mungkin Arjuna di cerita Mahabharata, sejago Shahrukh Khan dalam merentakkan kaki dan menghentakkan pinggulnya. Mungkin malah lebih.
Tiga. Saya menyukai Kari. Tadinya saya tidak suka. Saya anggap kari terlalu menyengat baunya. Kaldu kental itu menurut saya berbau obat batuk dan obat gosok dicampur jadi satu. Kari India terutama. Dulu di Malaysia saya suka mengambil jalan memutar daripada melewati sebuah restoran India yang menyengat baunya sampai ke jalan. Tapi seminggu ini, hampir TIAP HARI, saya makan kari. Kari India tentu saja, dengan roti Cane (karena saya tidak menemukan roti Prata disini). Tuh kan, ada yang aneh dengan diri saya. Saya sempat sakit hati kemarin di grocery store favorit saya, karena counter produk India dan bumbu-bumbu khas India sudah tidak ada lagi sekarang.
Setelah saya merenung, saya sampai pada ketakutan, jangan-jangan sebentar lagi saya akan bilang Rhoma Irama itu ganteng. Tapi kesimpulan saya yang lain menuntun saya pada suatu konsep. Mungkin roh leluhur saya memanggil saya kembali agar saya kembali pada jati diri saya. Mengingat sinetron kita itu diprakarsai oleh Raam Punjabi yang asli orang India, kecenderungan saya pada sinetron itu mungkin berakar dari hal-hal berbau India itu. Menelaah asal-usul Sunda kuno dahulu, bukankah juga Sang Dewawarman berasal dari India? Lho apa hubungannya? Begini, ya mungkin saja turunan India itu mengalir di darah orang-orang Sunda seperti saya.
Tunggu….. Merek Asepso???
Kok saya langsung inget acara “Asep Show” di TPI yang dulu itu ya?? 😆 😆
mbak, tulisan anda mnyegarkan, hehe.
dari sikon anda spertinya anda gemar dg sejarah sunda, nah yang saya maksud bisa ga tukeran naskah saya punya naskah sunda kuno. pasti anda juga punya, gimana kalo kita barteran kan buat pengetahuan mah timana weh. nuhun nya teh mira anu sok kebut2kebutan di jalan sang hyang seri
turunan nyi pohaci ‘kali. klo pengin tahu jangan liat cermin, liat baliknya. gitu teh..
gw pe lu company profilenya SMU/SAU dong bwt dimuat di buku acaranya Ultah kantor sbg salah satu pengisi acara. tks bngth bwt yg bs ngasih…