Sudah bertahun-tahun sepertinya saya tidak mengikuti upacara 17 Agustus 1945, dan sepertinya saya kangen. Padahal dulu kalau jaman sekolah rasanya selalu setengah mati kepanasan dan kehausan. Dan selalu mencuri-curi kesempatan untuk jongkok. Bagaimana tidak meletihkan, sewaktu SMP saya berjalan hampir 5 km eh lebih deng, untuk mengikuti upacara di lapangan kecamatan. Ya ya ya, saya dibesarkan di Ciasem Pantura Subang, di kampung yang kemana-mana kudu jalan kaki jauh banget. Dan dulu saya seringkali menghitung-hitung berapa jumlah peserta upacara yang pingsan setiap mengikuti upacara. Eh baru ingat, kan waktu ikut Telkomsel Spirit di Pusdikpassus bulan Pebruari awal tahun kemarin saya berkesempatan mengikuti upacara lagi. Walaupun bukan upacara 17an. Rasanya sungguh beda dengan waktu jaman sekolah yang selalu tidak serius bila jadi peserta. Kecuali kalau kebagian tugas menjadi pembaca UUD atau pengibar bendera pastinya saya sangat serius. Kalau meleng nanti kan jadi tidak kompak langkahnya. O yah pikir-pikir kenapa saya selalu kebagian jadi pembaca UUD yah?.
Di Pusdikpassus dulu itu, saya selalu sangat sangat terharu setiap memberi hormat kepada Sang Saka Merah Putih. Disana kita banyak berkesempatan memberi hormat kebada bendera selain saat upacara, sebab setiap masuk ruang makan pun kita harus memberi hormat, di dinding disana ada Sang Saka Merah Putih. Saya juga jadi kepingin menangis saat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Apakah karena pengaruh diantara Bapak-bapak tentara yang sangat sangat serius dan sangat sangat menghormati jalannya upacara bendera atau apa, entahlah, rasanya belum pernah seterharu biru seperti itu. Andaikan kantor saya mengadakan upacara bendera hari ini mungkin dengan senang hati saya akan ikut serta.
Upacara hari ini saya cuma bisa mengikuti di TV. Dan karena nonton bareng Bapak, tentu saja seperti biasa penuh dengan komentar si Bapak. Katanya dia tidak mengerti kenapa mantan-mantan presiden RI kok tidak hadir upacara dan bareng-bareng memberi hormat kepada Sang Saka sebagai lambang pengabdian pada negeri ini. Iya ya. Pada kemana mereka?
ps: Eh ternyata saya tidak cuma nonton di TV wew…da sorenya saya berkesempatan pergi dengan teman-teman kampung nonton upacara penurunan bendera di lapangan Gasibu. Laporan pandangan mata: yang paling jelek barisnya dari kelompok Pegawai Negeri, paling rapi seragamnya dan paling kompak barisnya adalah dari pasukan Baret Merah Kopassus, dan yang pakai seragam tapi paling tidak rapi dari Kepolisian. Oh ya, dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan satu stanza saja.
pps: Btw, dimanapun dia berada, paling norak ya Roy Suryo. Hi Roy!
pertamax!™
ealah..mbak kayak nggak tau aja..kalo long weekend begini ya pada libur..mana mau upara.. Mustinya klo gak upacara kudu di skors aja.. Iya nggak? 😉
Ketigax!!
Eh, maap blom diganti
Ketigax!!
Eh .. keempat deng …
*jrit .. kuduna kelima*
*mau nyepam…tapi batal…*
:))
Suharto nggak datang karena marah sama Habibie. Nggak dink, karena takut dituduh sehat.
Habibie nggak datang karena kejauhan.
Gusdur nggak datang karena marah sama Mega.
Mega nggak datang karena dipermalukan (kalah pemilu) sama SBY.
SBY datang karena belum marah.
Perlu amandemen UUD. Pasal tentang sumpah presiden. Ditambah “saya bersumpah akan datang ke Upacara 17 Agustusan, walaupun sudah tidak jadi presiden, andaipun nanti saya turun dari kursi kepresidendan sambil marah atau malu.”
Ah! Kirain mo report yang rada lengkap!! *cubit mami*
😀 mas roy, ada yg ngefans tuh 😀 huehhehe
Eh tadi nyasab ke http://miramarselia.wordpress.com/
Masih punya dirimyu juga?
Da rarasaan yg english version mah di blogspot
#10 bukan sayah..duka saha eta teh
nah, yang keduabelas ini saya 😀
Tapi saya iri juga dengan Mira yang pengen upacara bendera-an… Buat saya, yang namanya tanggal merah itu hari malas se-dunia 😀
Sssh… masih boleh tereak m-e-r-d-e-k-a nggak? :-))
#12 kadang2 saya juga kalo tanggal merah bisa tidur seharian kok
#13 lho kok saya masih pake akon Abi sih?
walah…si roy masih disebut juga diakhir tulisan 😀 Hi Suryo!
haha
haha
haha
hoho
hoho
hihihi