The Sundanese Tragedy

Minggu-minggu ini adalah hari libur anak sekolah. Yang berarti saya jadi liburan kantor juga. Soalnya kasihan sama Dimas, Dinda, dan Drea dibiarkan diam di di rumah, libur begini jadi mudah bosan, juga kasihan sama kakak yang mengasuh mereka. Tiga anak dalam masa pertumbuhan dan banyak makan dibiarkan melulu di rumah cuma berarti satu hal -perang dunia- soalnya bawaannya mereka jadi berantem melulu. Daripada membuat bencana kecil bagi orang sekitar, ya mau engga mau saya harus mengambil cuti (again!). Sebenarnya sih pinginnya dan maunya saya mah pergi ke Dufan, buat nyoba naik Tornado itu tuh. Edun liat rekaman si Wawa kemaren asik pisan ya..muter-muternya mantap banget. Yeee…yang mau main liburan sebenarnya siapa ya?

Nah setelah kemarin muter-muter taman Lansia di Cilaki dengan naik kuda, yang sepertinya jadi kegiatan rutin mingguan buat saya (lama-lama saya mau coba cepret juga kudanya biar lari Gallop), giliran hari ini pergi ke Kebun Binatang. Eh harusnya kan KeBON Binatang yah? Biasanya disingkat jadi Bonbin kan? Bukan Bunbin. Mungkin karena hari Kamis, jalan Tamansari tidak macet seperti halnya bila hari Sabtu dan Minggu. Parkir mobil pun tidak sulit. Dimas ribut terus dari rumah untuk melihat monyet, dia yakin katanya monyet mirip SAYA. Menyebalkan. Tiket masuk Rp 9.000,- sepertinya anak-anak dan dewasa sama saja.

Saya selalu suka berjalan-jalan di kebun. Entah kebun raya, kebun binatang, ataupun kebun singkong. Pokoknya kebun lah. Saya ingat sewaktu masih SMA, karena kost di Cihampelas, saya sering berjalan lewat Kebon Bibit ke Kebun Binatang untuk nongkrong atau baca buku sendirian -alternatif lain selain ketiduran di perpustakaan ITB. Atau bila sedang sedih sering melihat-lihat binatang yang frustasi terkurung dalam jeruji, sekedar menyamakan perasaan. Menjelang sore baru pulang dan kembali berjalan kaki, tapi lewat Dago, baru naik angkot lagi dari Simpang Dago. Kalo dipikir-pikir jauh juga saya dulu jalan kaki. Pantes betis saya kekar.

Kebun Binatang Bandung sebetulnya menyenangkan untuk hiburan murah meriah keluarga, atau siapapun dan apapun di segala usia. Letaknya strategis untuk dicapai kendaraan umum. Namun sering bikin macet Jl. Tamansari dan Jl. Ganesha sih. Murah lagi. Cuma itulah, keadaannya sekarang kok makin terlihat tidak terurus. Tanaman dan pepohonan tampak meranggas, apa karena musim kemarau ya? Bahkan ada pelepah Pinang Raja yang kering yang tiba-tiba jatuh dari atas. Untung tidak menimpa orang. Kalau dalam bahasa Sunda nama bunyi jatuh untuk pelepah kering adalah “aki-aki ragrag surak” -Kakek-kakek yang jatuh bersorak- istilah itu untuk pelepah kelapa kering berikut “kararas” – daun kelapa kering- yang jatuh dari atas pohon kelapa, bukan istilah untuk pohon pinang sih, tapi anggap saja sama, toh sama-sama Monoctyl. Memang benar, bunyi jatuhnya berisik sekali. Seperti bersorak-sorak.

Melihat binatang terpenjara sebetulnya bukan menyenangkan. Menyedihkan malah. Apalagi melihat mereka kurus-kurus dan cuma bisa berjalan bolak-balik di kandang sempit. Sementara orang-orang suka sembarangan melempar makanan berikut BUNGKUS PLASTIK ke kandang mereka. Ampun deh, kasihan binatang itu kalau diberi makanan sembarangan untuk kemudian jadi sakit. Sudah cukup buruk hutan tempat mereka digunduli. Tak perlu dicekoki dengan sampah plastik juga. Terus melihat macan-macan itu kok kayaknya kurus-kurus ya? Apa kurang pasokan makanan? Tapi meureun yah, siapa mau disalahkan. Biaya ngurus binatang-binatang ini pasti besar. Boro-boro ngurus makanan yang bagus buat binatang dan konservasi alamnya sekalian yah. Buat ngurus sampah aja kayaknya susah. Sampah di kebun binatang ini banyak berserakan dimana-mana. Heran juga deh sama pengunjung. Saya lihat sih tempat sampah cukup lumayan jumlahnya, dan ada di tempat-tempat strategis, artinya tidak usah koprol dulu lah untuk sekedar buang sampah. Tetap saja jalan-jalan dan rerumputan diseraki sampah plastik bekas makanan dan lainnya. O ya tadi Dimas senang sekali bisa melihat seekor Beruk sedang menggaruk-garuk pantatnya. Jangan tanya kenapa!

Banyak keluarga-keluarga yang datang berkunjung yang kemudian membuka bekal piknik dengan ngampar samak dan botram di bawah pohon rindang. Ada juga yang main sepeda air di kolam dekat kolam buaya. Moga-moga tidak ada buaya nyasar ke kolam bermain tersebut. Setelah puas berjalan-jalan dan melihat-lihat binatang, anak-anak memborong mainan tidak karuan yang banyak dijual pedagang disana. Soal mainan ini memang sih mainan teu pararuguh. Artinya dibuat dengan kualitas seadanya. Murah meriah tea. Ada boboko mini, hihid mini, dan kompor mini, pokoknya peralatan masak kampung sederhana dari bambu ukuran mini tea. O ya ada juga ketel dan cutik mini. Ranjang dan kursi mini, pokoknya yang begitu-begitu deh. Tapi dipikir-pikir lagi rasanya lebih rela bayar seratus ribu buat pedagang-pedagang kecil ini daripada memperkaya Mattel Corporation dengan membeli Si Barbara boneka anoreksia itu. Yang harga bonekanya SAJA hampir duaratus ribu kurang seribu. Tambahkan sayap satu dipunggungnya, tambah lagi harga si Barbie ini jadi duaratus lima puluh rebu kurang seribu.

O ya saya benci si boneka kaki belalang ini. Bikin saya mikir, emang ada ya bodi cewek seperti Barbie itu? Kaki langsing dada menonjol, pinggang super sempit. Yang saya yakin berpaket-paket tusuk jarum pun kalau saya ikuti (Kalau yah, tolong dicatat ini cuma kalau, bukan berarti saya udah nyoba tusuk jarum buat melangsingkan perut) tidak akan membuat saya selangsing Barbie. Belum lagi saya punya kecurigaan bahwa Barbie ini pastinya adalah cewek matre. Baju, asesoris, rumah, dan mobil, dan sebagainya dan sebagainya memang melatih untuk selalu demanding -penuh tuntutan.

Jadi ingat boneka pertama yang saya miliki. Sebuah boneka perempuan mungil buntet berkulit hitam yang pastinya dia berasal dari suku pedalaman. Karena si Poppy (saya namakan boneka itu Poppy), memakai rok dari rerumputan dan bertelanjang dada. Untung bonekanya masih kanak-kanak. Bajunya cukup kertas yang saya gunting atau kain perca yang saya jahit sendiri. Saya sayang sekali pada si Poppy suku terasing ini, setiap mandi dia selalu saya ajak. Karena Poppy ini boneka karet model bebek yang biasa ikut mandi itu lho, dan kalau dipencet berbunyi “toet”. Nah si Poppy ini jelas tidak banyak tuntutan seperti Barbie. Lah wong bodinya saja buntet kok. Pake baju glamour yang menggelembung itu mana pantas. Sepatu mungil berhak tinggi juga gak akan muat, karena jarinya jempol semua.