Sabtu kemarin -akhirnya- sebagai cucu yang berbakti, saya pulang kampung ke lereng gunung Sawal sana untuk menengok nenek saya yang sudah tua. Setelah tahun kemarin pun -walaupun Lebaran- saya tidak menengoknya *jitak kepala sendiri keras-keras*. Maafkan saya ya Nek. Ampun. Saya sayang kok sama Nenek. Cuma yah begitulah. Namanya kerja, susah cuti tapi gampang bolos tea. Kalau sengaja buat ambil cuti kok susah banget ya. Tau-tau sisa cuti saya masih 35 hari! Buset dah. Tapi saya yakin seyakin-yakinnya memang ada yang salah dengan datanya. Boro-boro kelebihan hak cuti. Malahan saya mah mengalami tahun dengan minus jatah cuti saja pernah kok.
Saya pergi dari Bandung dengan sepupu saya , Aa Ade. Nama yang aneh. Karena Ade berarti Adik. Sementara saya memanggil dengan dia dengan atribut Aa yang berarti Kakak. Jadinya saya panggil dia Aa Ade, yang berarti Kakak Adik. Ya Kakak ya Adik. Kumaha tah? Pusing deh. Ceritanya sih saya ajak dia dengan iming-iming bergantian nyetir. Yang walhasil, pergi pulang ke Ciamis pun tetap saja dia yang nyetir, saya sih ya sibuk makan, tidur, dan mainin Ipod. Pergi dengan Dimas dan Dinda juga. Dimas berisik sepanjang jalan, buka jendela, dan bikin kita stres karena sering menongolkan kepalanya dari jendela. Sepanjang jalan dia nyaris tidak makan, tidak minum, dan selalu sibuk dengan pertanyaan “kapan sampai?”. Sementara Drea hanya duduk manis dan sibuk makan juga seperti saya. Dan akhirnya Drea muntah-muntah di Malangbong. Jalan disitu keriting banget sih. Katanya dia jadi pening. Sementara si Dimas yang selalu berisik dan tidak mau makan, tidak apa-apa. Pusing pun tidak katanya. Anak yang aneh.
Sebetulnya saya suka sekali pulang ke desa saya. Serasa kembali ke masa lalu. Konon menurut buku-buku dan sepertinya memang demikian, daerah saya adalah pusat kerajaan lama berabad silam. Mungkin jangkrik dan tonggeret yang sibuk bernyanyi sekarang disana satu turunan dari jangkrik dan serangga yang dulu juga bernyanyi untuk penghuni di masa lalu. Suasana disana sangat-sangat lain terasa dibanding di tempat lain. Dibanding Ujungberung misalnya. Atau dibanding Citatah lah yang deket Bandung juga. Dan suasana yang seperti itu hanya bisa dirasakan. Bukan dilihat. Misalnya: menikmati cahaya bulan pada malam hari yang terasa cair dan mistis di antara gelapnya pepohonan dan rerumahan. Hawa yang sejuk segar yang terasa mencuci hidung dan membilas paru-paru. Air gunung pun seolah memiliki nafas karena penuh dengan gelembung udara. Mengaliri sungai dan selokan, gemercik di antara bebatuan, cair bening dan dipenuhi titik-titik kemilau sinar matahari. Hijau dan hijau dimana-mana. Sedikit sekali perubahan di desa saya selama seumur hidup saya tahu. Rumah-rumah tak banyak bertambah jumlahnya. Hanya satu dua. Paling-paling jalan berbatu-batu besar kini naik kasta menjadi beraspal. Pohon kelapa yang makin tinggi saja, dan kuburan yang bertambah penghuni isi dalam tanahnya. Selain itu nyaris tak berubah. Desa saya memang rada tertinggal kali ya dalam hal pembangunan. Buktinya ya masih begitu-begitu saja.
Ada testimonial baru dari adik saya tentang saya yang sudah duluan datang ke rumah Nenek dengan orang tua saya. Saya dikatakan sebagai “Makhluk egois (atau egosentris? tidak terdengar terlalu jelas kemarin) yang hanya mencintai anak-anak, macbook, dan selimut tuanya SAJA”. Begitu dikatakannya sesaat setelah mengamati saya yang selalu berkutat dengan macbook, dan bergelung dengan selimut tua saya yang berumur 18 tahun. Selimut tua saya ini selalu menjadi bahan olok-olok setiap orang pada saya di setiap kumpul-kumpul acara keluarga. Walaupun pernyataan mereka salah tentang saya yang dikatakan SELALU membawa-bawa selimut ini kemana-mana. Karena tidak SELALU. Koreksi dari saya, bahwa saya SELALU membawa selimut ini dimana MEMUNGKINKAN untuk membawanya. Saya tidak akan sebodoh itu untuk membekalnya dalam ransel untuk jalan-jalan ke Bangkok, misalnya. Dan tentang perkataan adik saya tentang saya yang nyaris tidak berfungsi dalam hal sosio-family (ataupun apapun istilahnya untuk manusia yang berperilaku dan bersikap penuh basa-basi dengan saudara-saudara dan keluarga), cukup saya katakan hal itu hanya ungkapan kekecewaan tak beralasan dari adik saya yang ngotot minta jatah coklat Ritter yang ada di tas saya.
Sebetulnya saya pulang kampung selain untuk menengok nenek, sekalian juga mengunjungi sepupu yang menikah. Salahkan pemberi informasi kepada saya yang mengatakan pesta pernikahan berlangsung hari Sabtu. Karena saya pergi dari Bandung pun hari Sabtu, saya pikir saya memang telat untuk datang ke pesta atau kenduri kali yah namanya, kan di kampung gitu lho. Jadi tidak bawa pakaian-khusus-berkunjung-ke-pesta dong. Ternyata pesta atau kendurinya dilangsungkan hari Minggu. Dan saya jadi mahluk aneh yang satu-satunya datang ke kawinan dengan celana jeans belel selutut bersandal jepit dan berkaos vintage belel warna hijau yang bertuliskan sesuatu tentang Flower Generation or samting laik det. Teuing atuh lah.
Dan sekali lagi tentang nenek saya. Memang nenek saya itu orang yang tidak bisa diam. Jarang sekali beliau berdiam di kursi sejenak berleha-leha. Atau berjemur di halaman seperti layaknya seorang nenek-nenek seusianya. Begitu subuh menjelang dia sudah sibuk di dapur, dan kemudian akan membereskan kasur-kasur dan karpet yang tergelar tanpa peduli masih ada orang yang tidur di atasnya ataupun tidak. Kemudian dia akan menghilang entah kemana. Ke warung atau mengumpulkan kayu bakar mungkin. Entahlah. Pokoknya kalau menurut istilah bahasa Sunda “sok luas leos teu puguh”. Nah, pas kemarin saya pulang, setelah setengah jam perjalanan meninggalkan desa saya kembali menuju Bandung lewat Panjalu, saya baru ingat kalau saya belum berpamitan dengan Nenek saya. Duh.
lansia gitu malah seneng kok banyak aktifitas… malahan lansia yang minus aktifitas biasanya rentan stress… stress karena gak ada kerjaan… beda dengan orang muda, stress-nya kambuh kalo banyak kerjaan… 😛
“Incu teh luas leos teu puguh!”
*nyamar*
“dasar incu bedegong, nyaho-nyaho geus di bandung deui! sugan teh keur ngala cai..”
*ceuk nini kukulutus…
anjrit, sisa cuti kok 35 hari, sini dapet 12 aja potong cuti bersama 😦
bagi2 dong
mEt pulkam……
🙂
#4 Kan udah dibilangin salah data
#5 Iya Lis, asik ya pulkam
oh…. urang gunung sawal.
pantesan sok luas leos teu puguh 🙂
ceuk saya ge lain nyimpang heula ka imbanagara, pangalongokeun ma Anah, secara sudah lama gak kesana.
Jadi berniat ah, minggu depan kesana. Ma Anah here I come….
Nenek gw masih tua gitu masih ujrag ajrug kamana-mana.
tuhhhhhhhhkannnnnnnn gue gak diinpaittttttttttttttt
#10 jadi pilih Ciamis dibanding Alexandria nih?
road trip, seperti di film 3 hari untuk selamanya 🙂
teh mira bener-bener incu nini….
12# owh, kirain road trip kayak Travelers Tale. ^_^
aduh..lucu pisan dongengna, salam kenal nya teh…
sigana bakalan sering ka dieu yeuh!!! lucu…bodor….
huaaaaaaaaaaaaaa
jadi pengin liburan ke desa
#12 Mba Alaya, aku udah baca novelnya. Keren euy.
#13 Incu Nini nu pituin estuning
#14 Belon punya modal kalo ke luar Nagreg mah atuh Be
#15 Mangga atuh, sering mampir ya..salam kenal
#16 Maksudnya pulang ke Palembang? hihihihi
pengen pulkam
#18 Lho punya kampung toh? kirain asli warga Betawi
makasih ya udah baca novelnya 🙂