Aku bukan WNI keturunan Cina. Mungkin ada sih keturunannya, di nenek moyangku entah di urutan ke berapa (konon ceritanya begitu). Dan kalaupun ya, memang apa salahnya dengan itu? seperti halnya seseorang tidaklah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah derajatnya gara-gara dilahirkan sebagai orang Afrika, orang Pigmi, orang Papua, ataupun orang Amerika (yang asli penduduk Amerika lagian kan Indian), apalagi untuk dinyatakan bersalah gara-gara identitas berdasarkan suku. Tapi ada yang jadi beda rupanya dengan pandangan orang di sekitarku (para tukang sayur sih kebanyakan), terhadap aku khususnya.
Bukan mauku dilahirkan dengan kulit putih (atau kuning bangsat?) -apapun deh warnanya itu, yang kata beberapa orang terlihat lebih terang dibandingkan orang-orang yang mengaku sebagai orang Indonesia asli, dan mataku memang agak sipit (karena memang tidak sipit-sipit amat) nyaris tak berlipatan di kelopak mata, dengan rongga mata yang nyaris pula sama ratanya dengan tulang hidung (tidak menjorok ke dalam seperti orang Timur Tengah atau Bule). Rambutku juga lurus. Itu semua menjadikanku hampir tidak pernah dipanggil “Teteh” atau “Ceuceu”, tapi selalu dengan “Ci”, “Cici”, ataupun “Enci”. Baik oleh pramuniaga, tukang sayur, supir angkot, bahkan teman-temanku, dan yang terakhir menyapaku itu khusus untuk menggodaku, tepatnya.
Walaupun sebenarnya salah sasaran, karena ya itu tadi, apa salahnya jadi cakep? Hehehe, dan tenang saja, saya tidak pernah terprovokasi untuk nginjek-nginjek HP mereka bila digoda/diledek model apapun. Kalau kapasitasnya masih becanda (lucu tidak lucu itu mah lain soal). Padahal sama orang Cina sendiri aku juga tidak diaku-aku sebagai anak mereka yang hilang kok, buktinya kalau nawar di King’s tetap saja sama dengan yang lain, malah bisa jadi harga yang aku dapat lebih mahal karena aku memang tidak piawai menawar-nawar.
Sudah lama aku menyerah mengoreksi mereka soal ke-bukan-cinaan-ku. Seperti halnya aku menyerah menjemur kulitku untuk jadi hitam. Karena setelah gosong yang sangat, sangat menyakitkan, selalu kembali ke warna asal. Lagipula toh, kulit putih tidaklah jelek. Lihat saja tuh iklan-iklan di tv, berapa milyar digelontorkan industri kecantikan untuk iklan kosmetik pemutih wajah dan lotion pelembab sekaligus pemutih itu. Dan sekarang jumlah wanita yang rela membunuh dan terbunuh untuk mendapatkan warna kulit putih cantik alami dan segar bestari berkembang pesat seperti deret hitung (atau deret ukur?).
Kalau dipikir lagi, manusia itu memang suka tidak jelas. Ini tentang teman-temanku; ada orang tua yang sangat bangga dengan kesukuannya, membuat perkawinan antar suku urun terjadi (gara-gara dilarang keluarga katanya), atau ada yang malah tidak bangga sama sekali. Sampai-sampai tidak sudi mencantumkan marganya karena tidak mau disebut sebagai orang Batak. Nah kan, coba, apa salahnya jadi orang Batak?
Lucunya saat aku pulang kampung pun (yang kadang dua tahun sekali itu), orang-orang kerap menanyakan pada kerabatku,
“Punten, Neng nu itu teh Cina nya?”
Nah lho, itu di kampung tempat nenek moyangku sendiri padahal. Jelas-jelas mereka satu turunan dengan aku, orang nyekar ke kuburan yang sama kok.
Bicara soal turunan, kalau kita menyimak pelajaran IPS jaman SD dulu, bukankah jelas-jelas tercantum bahwa nenek moyang kita yang datang ke Indonesia itu berasal dari Yunan Cina Selatan?. Mungkin abad berikutnya memang beberapa ada yang datang dari India, Arab, Melayu, dsb, namun jelas, bukan – POP! -muncul tiba-tiba dari tanah sehabis hujan seperti jamur. Jadi nyaris tidak ada orang Indonesia asli, kecuali mungkin Pithecanthropus Erectus atau Homo Soloensis. Untuk yang disebut WNI keturunan Cina yang datang kemudian, ya itu mah masalah datang duluan dan belakangan saja kan? Tetap saja sama-sama datang dari negara tempat telur seribu tahun itu diciptakan (sampai saat ini aku masih bingung bagaimana cara mengubur telur ayam untuk menjadi telur bertekstur cantik dengan warna bening kecoklatan itu).
Selanjutnya soal tempat tinggal. Saya memang tinggal di perumahan yang kalau dipresentasekan 98% dihuni oleh Cina (Cina asli bukan cuma mirip doang seperti saya). Selalu saja ada komentar seperti, dari non Cina tentunya:
“Lho itu kan perumahan Cina” atau
“Oh sengaja ya biar kumpul dengan komunitasnya”
“Nyari yang mukanya samaan nih?”
Ya ya ya, saya sangat mengerti mereka becanda.
Yang paling-paling aku jawab, tetanggaan mah sama aja dimana-mana, yang baik banyak, yang nyebelin juga banyak, ga liat bangsa atau suku apa. Tapi kalau soal dibaikin tetangga ya gimana kitanya aja menyesuaikan diri dalam bertetangga. Buktinya saya sering lho dikirim makanan; dodol cina, kue, nasi goreng pete, pernah juga jengkol setengah karung, ubi kayu, bahkan ikan mas hasil mancing.
Itu kalau aku sedang mood ngomong, kalau malas, ya tinggal nyengir kuda saja. Beres. Rumah juga rumah aku sendiri kok. Masalah turun temurun dan keturunan ini sih kan kalau dibahas kapan juga toh selesainya? Aku sih sebenarnya tidak begitu ambil pusing mau jadi orang Sunda asli ataupun Cina aspal sekalipun. Masalah penting sekarang kan bagaimana ngurangi sampah Bandung agar tidak menggunung. Dan yang penting aku masih diaku sebagai warga dunia, bukan alien (padahal asik juga jadi alien cantik kayak di pelem Kim Basinger yang makannya cuma setrum dari aki mobil itu). Ya kalau Mars sudah bisa ditinggali bolehlah aku pindah kesana. Sekalian sama dengan nama belakang saya ; Mars-ellia. Alien dari Mars.
Orang memang bertendensi menyapa dengan atribut kesukuan yang terlihat kasat mata yang diharapkan cocok, dengan maksud mencoba menghargai. Namun sering terjadi hal-hal seperti di atas.
Saya sering dipanggil: “Ko Eep, Ko Eep…, kemana aja…?”
Apa masih kurang jelas, namaku EEP, bukan Han Ciang…
Dulu sewaktu punya toko home theater.., ada orang nawar: “Ko, hargana sbraha ieu..? Lakpego we nya…?”
Saya jawab: “Lakpego teh sbraha..?”
Nu meuli heraneun, “Oh lain orang Cina nya..?”
Emang kunaon sih antara Cina, non Cina, Sunda, Batak, Jawa…? Sarua bae we umat Gusti.
ya saya ? *narsis*
pami menurut sayah nya, Teh…justru tampang2 urang Sunda asli (sayah nyebut-na: Sunda buhun) itu memang lebih mirip orang2 Tionghoa…ya begitu: putih dan sipit (ari sayah mah item dan sipit… :p)…temen sayah jg ada tuh yg putih dan sipit…tapi dia jg da urang Sunda asli…mungkin emang ada sejarah-nya dulu kali ya…so what geto loh…?
wah.. beruntungnya dirimu.. berkulit putih…gak usah dikasih bleach kayak orang-orang.. hehehe
btw.. bibi (tante) saya juga bermuka seperti orang cina.. padahal sunda asli. setelah alhamdulillah berjilbab.. orang memanggilnya… muallaf… biar sipit asal geulis we lah… 😀
Yang lucu tetangga saya yang Cina totok. Kulitnya coklat, matanya besar. Dan katanya waktu kami jongkok sama-sama depan rumah sambil nonton anak-anak maen di jalan;
“nasib kita kebalik ya, saya engga pernah disangka Cina”.
Hehehe ini yang namanya sama-sama teralienasi gara-gara warna kulit.
Ceu Mira.., meni sarua atuhnya kejadian teh. Yaitu sewaktu punya toko teh saya disangka Cina, sedangkan importir produknya orang Cina beneran, malah lbh hideung, teu sipit..
hehe.. saya juga sering gitu mih, padahal ga ada keturunan cina dan ga mirip cina juga, tapi kadang2 tetep aja ada yang manggil koko atau ngira kalo saya ini cina.
gua pas ke borobudur disangkain turis jepang sama turis dari jawa timur
#9 Padahal kamu kan buluan.. harusnya kan disangka.. ah sudahlah.
#2 Hihihi saya juga sering sih diajak ngomong Mandarin. Seringnya terbengong-bengong. Tapi sebenarnya saya pingin banget belajar bahasa Mandarin. *Tarik Koh Jipeng* Ajarin saya woooii!
#3 Laut Merah ternyata engga merah ya
#4 Muhun, sapertosna mah kitu.
#5 hihihi Bapak saya suka disangka mualaf juga.
hahaha… mestinya Nugi yg njawab disini.. dia lbh sering dipanggil Ngkoh, apalagi kalo jalannya ma aku.
Kadang2 malu aku sebagai setengan cina (emang bukan 100% cina sih) koq ngga bisa bahasa cina walopun untuk yg percakapan tawar menawar. Jadinya pake bahasa indonesia, atau jawa, atau ya bahasa jakarta. Apalagi kalo di Spore, selalu disapa bahasa mandarin, tapi mentok2 bahasa inggris, dan malah paling bete kalo disapa bahasa melayu. Hahaha..
#15 kursus ke Om Jipeng yuk
Dulu waktu SD dan SMP saya sering disangka orang Kristen karena nama. Aneh, padahal firdaus itu bahasa Arab dan bahasa di Qur’an.
Saya pernah ditanya sama ibu2 di supermarket, apakah ibu / bapak saya orang belanda, saya jawab sejujurnya aja, kalo ibu saya itu Banten slash Kalimantan dan bapak saya itu Padang slash Betawi. Jadi saya orang mana aslinya?
Produk bandung 100%.
kalo aku marcella… kita nanti sama-sama tinggal di Mars dong.. yuhuuu..
(gak nyambung bgt sihh)
di sini (bali) juga gitu mba… tp kita cewek2 yang kulit hitam(kayak aku).. suka di sama in sm cewek dari bali… suka ditanya2 in.. dari mana..asal mana?? padahal bukan gak mau disama in..
tp yah udah dehh gak usah nanya gituuuu
(they tend to think that balinese girl jalan sm co bule itu ayam)
ughhhhh….gemes..
(apalagi kalo aku lg jalan sm sven)
#19 hihihi item tapi kan cantik banget. Yang ngomong gitu kali sirik karena liat Sven yang ganteng jalan sam elo (ihik..blushing).
#18 Bi mudik kemana Bi?
#21
Tah eta, saya ge bingung kadang2
nyakakak maca “….orang nyekar ke kuburan yang sama kok.”
Kalo adik & kakak gimana? sama kyk Cina?
Kalo di keluarga saya mah ada 1 nyelip yg mirip Cina, abis neneknya ibu orang cina asli sih.
Waktu saya baru masuk SMA dulu, saya sering dikerjain teman-teman karena dikira cina. Mereka baru percaya kalau mereka salah kira ketika dua orang diantara mereka saya ajak ke rumah dan ketemu dengan ortu. Waktu saya kecil sampai remaja memang memiliki ciri-ciri fisik mata, rambut dan kulit yang 70-80 % mirip cina. Sejak kecil ( belajar bicara ) rupanya saya sudah menyadari kemiripan tersebut. Ortu dan kakak saya sering cerita kalau waktu kecil saya sering ngomong “AKU CINO PAK, AKU CINO”.
Terus terang saya sangat prihatin dengan diskriminasi yang menyangkut SARA tersebut. Sewaktu saya kuliah, ada beberapa teman dekat yang keturunan cina baik yang totok ( asli ) maupun yang ( blasteran ). Dari mereka saya tahu betul bahwa mereka sering lebih Indonesia daripada kita yang mengklaim diri Indonesia Asli hanya berdasarkan asal muasal nenek moyang. Saya juga sering mendengar keluhan mereka tentang diskriminasi yang mereka terima baik dari masyarakat maupun dari birokrasi negara. Kalau ditelusuri motifnya, kebanyakan karena iri ( kecemburuan sosial ).
Menurut pengalaman saya, memilki fisik yang mirip cina juga ada sisi positifnya. Setidaknya, saya menjadi tidak rasialis dan lebih mudah diterima dalam lingkungan pergaulan teman-teman yang keturunan cina. Selain itu, ortu saya juga meyakini bahwa saya cerdas, ulet, bisa sukses dan bisa memiliki kemapanan ekonomi seperti keturunan cina lebih dari saudara saya yang lain. Hal itu berpengaruh positif pada perjalanan hidup saya sampai sekarang.
Jadi apa salahnya mirip cina atau memang keturunan cina sekalipun. Pede aja lagi … Terimakasih dan salam eksperimen.
#24 Saya setuju. Salam juga, eh salam eksperimen teh naon?
Lah kalo gw ke daerah mangga 2 sering dipanggil koh , mungkin karena perut gw kali yah?
*tredmil di pojokan
#26 kekekekekek… Om Andri cobain banyak makan sayuran aja deh..
dulu, ada orang liwat di depan rumah mamiw mira (yang masih di tempat dulu itu). entah siapa. pas itu aku lagi duduk2 di luar. dan ada nanya kira-kira aku ini “adiknya” mamiw mira kah?
mi… angkat aku jadi adikmu dong… *ngarep*
🙂
emangnya orang jepang nggak ada yang berbulu?
banyakan orang lihat cuman kulitnya doang, enggak dalamnya eits punten!, maksudnya hatinya, luarnya baik dalamnya ular berbisa, kan bahaya tuh!
#20 hihi.. bisa aja.. mba mira..kapan main ke bali lg?? kangen deh aku..
aku pengen putiiihhhhhhh…
*injek2 nTub yang ternyata lebih putih*
#22 ke Biak, Bi ? ;))
AKu, tiap kali aku ktemu orang, trus dia liat tag name ku, kalimat pertamanya selalu….
“are you filipino ?”
Kl liat muka doang…
“are you japanese ?”
membingungkan dan mengherankan karna susah jelasin kalo aku ini Indon…
#35 Lho bukan orang Itali ya? hihihihi
saya juga udah sering banget disangka orang cina. emang sih mata saya sipit, tapi kulit saya kan item. dan saya 100% sunda (sorry gak bermaksut SARA)
#17: jay, temen kuliah ada yang bernama yoseph tulandi. dia sering disangka orang kristen, padahal orang islam (bukan SARA lagi)
ah, gw ajah punya temen orang cina, katanya china aseli, orang nenek moyangnya masih ada di cina, eh pas gw ngobrol, dia ngajak ngobrol pake bahasa jawa totok
tapi nu lucu mah uing, waktu smu pertama sekolah kelas satu, katanya ada orang manado katolik satu orang, pas gw kenalan ama temen
“namanya sapa?”
“abdi geri,”
“loh udah bisa basa sunda yah?, mang dah lama pindah dari manado?”
“yeuh, duka ah, punten bade ka mushola heula”
“euleuh, geuning tos masuk islam”
yey, aya-aya wae. mang susah punya nama nggak sundanese udah punya kulit item n muka ketimuran
ha.. ha..
*buka kursus bahasa hokkian medan dan mandarin gado2*
Suatu hari saya sedang menyusuri tepi jalan raya, dan saya ingin menyebrang jalan yang sedang padat. Tiba-tiba ada mikroket yang ngebut cepat dan hampir nabrak saya. Bukannya ia yang minta maaf eeh….malah saya dihardik, “dasar cina lho…..!!!” Saya sempat bengong dan bingung, apa hubungannya Cina dengan nyebrang jalan……?
Pramudya Ananta Toer pernah menulis bahwa hampir 3/4 pendudukan Indonesia jika diusut memiliki asal-usul Cina didalam darahnya. Salah satu indikasinya adalah pantat anak balita Indonesia yang acapkali memiliki warna biru…….
hidup sunda.
#40 Waaah tuh kan beneran saya keturunan Cina, pantat saya biru-biru lagi bayi..sayang engga ada potonya, kalo ada saya pajang deh.. Pak Husni itu buku yang mengusut pantat biru apa judulnya ya? kalo ada saya pingin baca.
dari sekian banyak komen gak ada yg manggil
‘cici mira’ ?
# iya koh, ada apa? hihihi
#40 Jadi inget saya pernah dimaki-maki tukang ngamen seperti itu, padahal salah saya apa juga engga jelas, wong seringnya tukang ngamen saya kasih uang juga (da sieun tea). Rasanya sakit hati banget.
1. Dulu, waktu masih kecil, kalo berantem sama adek gue yg item, suka cela2an SARA. Gue bilang ke dia, “dasar anak jawa!”, dan dibales sama dia “dasar anak cina!”
2. Pas SMA di Bandung, pernah dikunjungi sama temen nyokap. Eh, dia malah bilang, “Kok ini mah gak mirip Bu Haji? Malah mirip orang China”
3. Kalo dipanggil engkoh/koko di Mangdu ato daerah kota mah wajar, udah biasa. Pas mau ke Hong Kong, lagi ngantri mau check-in di check-in counter Garuda Cengkareng, tiba2 didatengin 2 orang cewek oriental. Pertama mereka ngomong cas-cis-cus bhs cantonese, gue pasang tampang kebingungan. Trus mereka ngomong bhs mandarin, gue masih bengong, lalu bilang “English, please”. Baru mereka yg bingung mau ngomong apa. Takjub, di negeri sendiri masih dianggap Chinese sama orang Chinese beneran.
4. Waktu di Jepang, sama orang Jepang (Tabata-san) malah dibilang tampang gue lebih Jepang daripada tampang dia yg Chinese-look.
5. Apakah gue anak pungut? hihihihihi
#46 point 5, kudu diteangan deui sigana Gi, asal usul teh =))
thanx god gwa cuma dibilang orang nggak normal aja ama my lady boss…
eh, itu klasifikasi yg lebih parah ya?
*garugarug*
HAY MIH!!!
*dadah2 ka mamih*
#40 om Thamrin, katanya kalo pantad bayi biru2 itu gara2 pas hamil ibunya masi ML aja. tuz tu bayi jadi biru soalnya kesodok-sodok.
hehehe… gwa baca itu di kumpulan cerpen jepang. sumpah, bikin ngakak. padahal itu ceritanya seriyuz pisan!
euh, saya cuma disangka beda pulau aja kadang sebel. ini disangkanya beda negara… ck ck ck…
[…] untuk curhat tentang yang satu ini. Biarin dituduh narsis juga. Pokoknya pengen curhat dah, kan curhat beginian bukan hanya monopoli Mami Mira . Ini mulai dari hal yang menyenangkan sampai hal yang menyakitkan, yang disebabkan tampang saya […]
Wah.. sama banget tuh. Aku juga dari dulu sering dikira cina, dipanggil koko, bahkan disangka cina ama Bos ku yang turunan tionghoa. Padahal sunda.. da.. da.. cuma mata sipit n kulit kuning. Mamaku juga sering dipanggil enci, dia sunda dari Majalengka, kalo papa sunda bogor. Giliran mereka liat aku shalat, malah berpikir Oooo Cina muallaf.. Ya udah deh. Yang kutahu sih, emang dulu di kerajaan sunda, warganya banyak yang berasimilasi dengan etnis tionghoa. Akibatnya ada gen nenek moyang yang muncul di generasi-generasi berikutnya. Tapi sekarang enjoy, rambut lurus sengaja dipotong ala F4, belajar mandarin n budaya cina sekalian biar enggak jadi orang diskriminatif.
xixixixixixixi….
jadi inget bokap dulu di bandung, kalo lagi belanja di toko2 jl otista suka dipanggil..koh..koh…sama yg jualan..udah gitu dikasih halga mulahh..hayyyaaaaaa…
Mungkin ada benernya kalau muka anda mirip-mirip Cina, memang ada keturunan meski dari nenek moyang yang terdahulu.
Sejarah mengungkapkan tahun 1740 terjadi pembantaian besar-besar an terhadap 10.000 orang Cina di Batavia oleh VOC. Sisanya yang selamat bersama warga Cina yang tinggal diluar tembok berlindung di beberapa daerah sekitar dan membaur dengan masyarakat Sunda.
Sama banget tuh ….. Kalo pergi main jauh saya juga sering di kira orang cina padahal saya orang sunda….. Ada juga yang kira saya orang cina dari bogor…. Xixixiiiiii
Kalau aku..memamg dri kecil mirip cina.. diantara anak2 sudara bapak berwajah pribumi Gorontalo ( mirip filipina) dan dari anak2 sudara ibu emang mirip cina, tapi setelah ditelusuri beberapa generasi diatas gak ada sama sekali terekam sebagai gnerasi keturunan cina atau filipina. Waduhh jadi bingung jelasinnya.. namaku Faisal, lah namaku sja sudah menggambarkan aku bukan cina justru mirip nama arab..tapi loh wajahku ini bisa nipu. Pernah wktu kuliah gw kenalan sma cewek fakultas sebelah, guwa bilangin nama gw faisal..eh dia nyolot.. “nama asli atau..??” 😀 dan lebih parahnya lagi dia nanya gini… “”ohh faisal ya.. muallafnya sejak kpn?”” GUBRAKKKKKK…. 😦
Jadi sok hayang seuri sorangan nya ari ngalaman kitu teh.hehehe
Sakapeung mah sok hayang seuri sorangan nya ari ngalaman kitu teh.hahaa