Pecinan di Kuala Lumpur
Sewaktu saya mengikuti suatu training di Kuala Lumpur yang penuh penderitaan karena tugas yang tak henti-henti, akhirnya pada hari kesekian saya mendapatkan juga waktu luang untuk kabur dan jalan-jalan. Dan salah satu kebodohan saya yang lain dari sekian banyak kebodohan lainnya (sampai-sampai Abi ngajak bikin daftar Every Stupid Things We’ve Done) adalah saya tidak bawa kamera.
Saya menginap di Hotel Istana yang terletak di pusat kota. Kalau niat jalan kaki kemana-mana enak sebenarnya. Misalnya kalau mau jalan kaki ke Twin Tower. Tapi ya itu deh, yang bikin jadwal training rupanya pemuja sistem kerja rodi. Sebenarnya Stasiun Monorail terdekat sangat dekat dari hotel, terletak di seberang jalan yang kalau mau kita bisa “engkle” –loncat-loncat dengan satu kaki, untuk mencapai kesana.
Salah satu tempat yang saya berhasil kunjungi di waktu yang mepet adalah daerah Pecinan di Petaling Street atau Jalan Petaling. O ya kalau tidak salah saya ke Petaling Street naik Monorail terus ganti naik MRT. Soal rutenya saya lupa. Tapi tidak sulit sih untuk kemana-mana, bahkan untuk saya yang sering nyasar. Soalnya ada peta toh. Saya ke Petaling bukan niat untuk belanja. Tapi bagi saya sangatlah menyenangkan untuk menjadi pejalan kaki melihat suasana yang berbeda di kota lain. Untuk pejalan kaki disediakan nama tersendiri yaitu jalan kaki lima. Walaupun panas, namun sepanjang jalan di Petaling teduh karena ada tudung di sepanjang jalan depan pertokoan yang melindungi pejalan kaki dari panas (ataupun hujan). Pecinan di Kuala Lumpur yang cukup bersih dan teratur ini, ternyata tak lepas dari nama besar seorang Cina perantau bernama Yap Ah Loy.
Menurut cerita Kota Kuala Lumpur di tanah Malaya ini didirikan oleh Yap Ah Loy seorang pemuda berumur 17 tahun waktu pertama kali datang. Yap seperti cerita Don Corleone di God Father, awalnya menyambung hidup dengan berdagang dan menjadi kuli. Kemudian ia menjadi seorang pendiri perkumpulan rahasia. Perkumpulan rahasia ini didirikan untuk melindungi kaum imigran perantauan, menjaga budaya leluhur termasuk menghabisi pihak lain yang mengancam usaha dan keberadaan mereka. Nama Yap Ah Loy kemudian menjadi legenda, dan dari pihak kerajaan Melayu ia diserahi jabatan menjadi deputi pertama Kapten Cina di kota itu. Pada tahun 1868 Yap mengukuhkan diri sebagai kapten Cina generasi ketiga.
Petaling Street ramai luar biasa berdesakan oleh pejalan kaki dan berjejal oleh stan dagangan. Toko-tokonya khas oriental. Lampion merah bergantungan dimana-mana sebagai hiasan. Berbagai souvenir dan kerajinan perak dapat ditemukan disini. Yang banyak sekali ditemui tentu saja replika Twin Tower kebanggaan Malaysia. Sebagai sablonan di T-Shirt, gantungan kunci, hiasan meja, pembuka botol, pemberat kertas, dan lain-lainnya. Pedagang chest nut panggang dengan kompornya yang panas berada di tengah jalan. Harumnya menggugah selera. Namun serem juga kalau chest nut panas beserta batu bara panas itu tumpah ruah tertabrak pejalan kaki. Ada juga pedagang buah leci yang merah dan segede-gede goblok hilir mudik menjajakan dagangannya.
Selain jalan-jalan mengukur jalan, tempat lain yang dapat dikunjungi yaitu Kuil Sze Ya, salah satu kuil tertua aliran Tao di Kuala Lumpur. Didalam kuil ini terdapat patung Sin Sze Ya dan Sen Ta, Dewi Kuan Im, dewa Kemakmuran Choi San, Penjaga Tahun Thai Swe, dan altar kecil tempat foto hitam putih Yap Ah Loy dipajang. Tempat lain yaitu Central Market yang berdesakan luar biasa. Pasar ini adalah pasar tradisional dimana dapat ditemukan beragam dagangan khas pasar tradisional; sirip ikan hiu, sosis cina, abalon, banyak deh. Lalu ada Old China Café yang unik, yang benar-benar bernuansa lama dan menyajikan hidangan bercita rasa khas untuk peranakan Cina dan Melayu.
Pecinan di Singapore
Pecinan lainnya yang sempat saya kunjungi di waktu lain dan kesempatan lain (yang ini tidak penuh penderitaan karena khusus untuk main bukan training) yaitu China Town di Singapore. China Town di Singapore sangatlah unik karena sebagian di antaranya bukan kebudayaan yang berasal dari Negeri Cina. Ada Kuil Hindu di Pagoda Street (rada engga nyambung ya antara nama jalan dan bangunan) dan Masjid yang juga memiliki sejarah yang panjang atas keberadaaan perpaduan keaneka ragaman di Singapore.
Mencapai China Town di Singapore lebih mudah lagi. Mau naik MRT atau bis, dua-duanya mudah. Atau jalan kaki. Bila ingin menjajal kekuatan kaki. Toh jalan kaki di Singapore sangat menyenangkan. Sering-sering saja minum karena udara cukup panas.
Di area pelataran tempat parkir kendaraan terdapat bangunan dengan dinding terbuka dengan bangku-bangku tempat orang-orang Cina yang sudah tua duduk-duduk bersantai, mengobrol dan bermain mahyong. Trishaw bertudung hijau berderet-deret menanti turis yang ingin berkeliling China Town, kalau tidak salah tarifnya SGD 30 lebih. Di Bandung dengan biaya segitu mah bisa keliling kota dan alun-alun puluhan kali sepertinya.
Areal Chinatown di Singapore ini sangat luas. Namun banyak tempat istirahat tersedia sepanjang jalan. Banyak kedai kopi, toko kue dan makanan di sepanjang rute perjalanan. Bahkan ada tukang sosis bule berdagang wurst, sosis Jerman yang gendut-gendut, berminyak bersaus mustard yang mengundang selera. Saya sih tidak pernah makan di Chinatown ini, jadi tidak tahu makanan disini enak atau tidak. Namun saya suka sekali minum jus tebu. Segar sekali minum jus tebu yang dingin sementara kita basah berkeringat dan kepanasan.
Semua barang disini nyaris berharga sama; Three for Ten. Tanda mata yang umum di peroleh dari China Town biasanya barang-barang berpernis (lacquerware), kerajinan tangan dari kayu, sutera Cina, kaligrafi, ukiran, perhiasan, mahjong game set, hong bao (amplop uang warna merah), barang antik, perabotan, dan patung Laksamana Cheng Ho yang gagah.
Kalau saya sih membeli dua potret tua hasil reproduksi yang cantik sekali, beserta buku tentang sejarah Chinatown di Singapore. Dan harganya tidak 3 for 10 *cemberut*. O ya tempat yang unik disini yaitu Chinatown Heritage Centre. Tempat ini terletak di Pagoda Street no 48. Ini adalah sebuah kapsul waktu tentang Chinatown di masa lalu. Ruangan di tata kembali tanpa merusak nilai sejarahnya. Ada barang tua koleksi pribadi, patung, poster wanita cantik yang antik memberikan gambaran kehidupan di masa silam dimana kehidupan perantau tersebut masih sangat sulit.
Masjid terletak di sebelah kuil agama Hindu Sri Mariamman di Pagoda Street. Masjid Jamae ini didirikan tahun 1800 sampai 1835. Dirancang oleh George Coleman yang merancang Armenian Church dan Parliament House Singapura. Arsitekturnya campuran. Perpaduan antara timur dan barat. Mesjid ini menghadap ke Mekah, sehingga tata letaknya tidak sejajar dengan bangunan lain. Ada pula Al Abrar Mosque yang dulu bernama Kuchu Palli yang dibangun tahun 1827 bermotif Islam India. Tak jauh dari mesjid ini terdapat Thian Kock Keng Temple, dibangun sebagai rasa terima kasih karena para Cina pendatang berhasil menyeberangi lautan yang ganas dengan selamat. Terdapat patung Ma Cho Po, sang Dewi Laut kepercayaan Cina.
Memang mengagumkan keberanian para leluhur ini. Saya jadi teringat bahwa nenek moyang keluarga Sampoerna yang datang dari Cina naik perahu hanya berbekal piring porselen untuk modal berdagang. Sehingga sang nenek kemudian dikenal dengan nama Piring. Kalau tidak salah yang saya baca begitu. Maaf kalau salah. Kadang-kadang saya suka sulit meretrieve bacaan yang telah saya baca di ingatan saya.
Ada sebuah puisi di buku yang saya beli tentang cerita masa lalu dan sulitnya hidup mereka di awal bermukin di Chinatown Singapore ini:
Braving the Rain – No greater love than thine
Poem by Andrew Yip
I walk in the heavy rain
And search in vain in a narrow lane
The tender love that I knew
To start my life a newIt was the same narrow lane
I was caressed by the wind and the rain
With You by my side, whispering and walking together
The fury or roar of downpour – it didin’t matter
Are those rain drops on my face
Or sadness and guilt that won’t erase?
Take, oh take those tears away
And say You’ll forgive and always love and stay I brave the wretched wind and relentless rain
To search for You in the narrow winding lane
Here I’ll remain – lonely, lost and in pain
And I will call out your name – again and again
Banyak sekali tempat-tempat yang unik dan menarik di Chinatown ini. Dan bersihnya bukan main. Pejalan kaki sangat sangat dimanjakan dengan suasana disana. Untuk belanja, makan-makan, atau sekedar menikmati suasana. Bangunan yang unik pun tetap dipertahankan sehingga menjadikan Chinatown ini objek foto yang sangat menyenangkan. Walaupun di Singapore banyak tempat lain seperti tempat perbelanjaan yang modern, saya pikir Chinatown ini adalah tempat yang menarik dan eksotis, membawa cerita Singapore masa lalu, dan keluwesan di tengah modernisasi yang megah dan kaku.
Pecinan di Bandung
Nanti deh. Saya keburu cape ngetik.
Nah saya teruskan lagi setelah makan sekilo duku, dan bengong dua jam melihat ke jendela..
Pecinan di Bandung yang dulu oleh Pemerintah Hindia Belanda disebut Chineezenwijk,-terutama untuk perdagangan, katanya pada jaman itu terpusat di daerah seputar Pasar Baru. Dari buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karangan Haryoto Kunto disebutkan bahwa koloni pemukiman orang asing di kota-kota besar disebut “Fondachi” atau “Wijk” dalam Bahasa Belanda. Wijk dipimpin oleh seorang Wijkmeester. Disebutkan bahwa Wijkmeester Cina untuk daerah Suniaraja pada tahun 1914 adalah Thung Pek Koey, dan untuk daerah Citepus adalah Tan Nyim Coy. Lalu diatas Wijkmeester ada pimpinannnya lagi yaitu seorang Liutennant der Chineeschen. Kota Bandung Liutennant Cinanya adalah Tan Djoen Liong. Tidak jelas apakah riwayat hidup Tan Djoen Liong ini mirip dengan Yap Ah Loy pendiri Pecinan Kuala Lumpur atau tidak, karena sedikit sekali saya memperoleh data sejarah Pecinan dari Om Gugel (atau saya memang tidak jago dalam ngubek-ngubek data lewat om Gugel yah?).
Wijk Tionghoa di Bandung ini tergolong masih muda (1825), bila dibandingkan dengan Pecinan di kota-kota lain misalnya Semarang dan Surabaya, masih menurut catatan Haryoto Kunto orang-orang Cina datang ke Bandung melalui Cirebon berbarengan dengan meletusnya perang Diponegoro di tahun tersebut. Adalah ahli tukang dan perkayuan yang datang untuk membantu Belanda membangun kota Bandung yang baru menggeliat. Beberapa dari mereka bertempat di kampung Suniaraja, lalu di sebelah belakang Grote Postweg yang kemudian tempat tersebut disebut sebagai Jalan Pecinan Lama. Lalu di belakang hotel Preanger disebut jalan Tamblong mengikuti nama seorang mandor tukang kayu bernama Babah Tan Long.
Bila sekarang kita mencoba menelusuri daerah Pecinan di bandung, kita dapat menemukannya di daerah Jl. Astana Anyar, Jl. Kalipah Apo, Jl. Kelenteng, Jl. Pasar Baru, Jl. Otto Iskandar Dinata, Jl. ABC, Jl. Banceuy, dan Jl. Pecinan Lama. Hanya saja berbeda dengan Chinatown Singapore dan Petaling di Kuala Lumpur, Pecinan di Bandung ini hanyalah penuh dengan toko dan toko. Bahkan bangunan tua lama tampak sangat kusam dan sedikit demi sedikit tampak mulai menghilang digantikan bangunan baru. Tempat peribadatan agama Budha Vihara Satya Budhi adalah kelenteng tertua dan terbesar di Bandung dan dibangun di tahun 1885, nama lainnya adalah Kuil Hiap Thian Kiong yang artinya Istana Para Dewa, di Jl. Kelenteng ini dapat ditemukan vihara-vihara lainnya dengan merah sebagai warna yang mendominasi sehingga mudah dibedakan dengan bangunan lainnya. Masjid Cina juga ada, di Jl. Tamblong yaitu Masjid Lao T’se mengikuti nama seorang Cina Muslim.
Tempat makan aneka rupa tentu saja dapat ditemukan di daerah Pecinan.Bahkan menurut saya lotek terenak itu ada di Jl. Kalipah Apo. Selain itu juga di daerah Pecinan ada juga Lo Mie, Bebek Panggang, Ba Pau, dan segala jenis kue maupun masakan khas Cina lainnya. Bahkan masakan Sunda, seperti Soto Bandung yang enak sekali di Jl. Cibadak. Tak heran di buku Semerbak Bunga di Bandung Raya Haryoto Kunto, ada semboyan koki Cina yang mengatakan bahwa semua dapat dimasak, sebagai berikut:
Semua yang berkaki empat, melata di bumi, kecuali meja
Semua yang bisa terbang di awang-awang, kecuali layang-layang
Semua bisa dimasak, dihidangkan, dan dimakan
Saya sih menyayangkan saja bahwa Pecinan di Bandung ini tidak seperti di Singapore atau Kuala Lumpur. Dimana akulturasi dan keaneka ragaman disana menjadi sebuah potensi wisata yang sangat menarik bagi para pengunjung. Padahal Bandung kurang apa coba, udaranya sejuk nyaman, segala jenis makanan enak bisa ditemukan. Sayang sekali untuk berjalan kaki trotoarnya tidak nyaman, penempatan pedagang kaki lima semrawut, dan bangunan kuno yang cantik diabaikan.
Ah andaikan….
**Disarikan dari berbagai buku Haryoto Kunto, Majalah Bandung and Beyond, dan pengalaman pribadi saya nyasar ke Kuala Lumpur, Singapore, dan ngukur jalan di Bandung
bandung juga punya kawasan pecinan ya? *garug2*
gua gak gaul ternyatah…
punya, cuma ga tertata apik *sedih*
Iya, akulturasinya kurang. Padahal faktanya pedagang keturunan Cina sangat banyak, kontribusi mereka pula ekonomi kota selalu berputar dalam volume tinggi.
kenapa gak pake kamera ber hape?
eh hp yang segede batako itu udah laku blom? di blog dong 🙂
#4 pake kamera di hp 9500 mah butut banget hasilnya. Belum, belum laku.. padahal kan dijamin tangan pertama. Hehe cuma kalo sampe jatuh di pemilik berikutnya entahlah jatuh keberapa.
Pasirkaliki nggak termasuk kawasan Pecinan ya…?
#7 hihihi engga tau, kalau Gardujati mungkin iya terutama mengingat banyaknya restoran Cina disana
aku belom pernah ke pecinan di bandung… minta diajak dong mi. 😀 naek brem-brem dong… *kok jadi banyak mintanya ya… hihihihi*
#8 wah Hen, motornya udah aku jual..hehehe..ntar beli CBR dulu deh..*ngayal*
Pecinan di Semarang terkenal dengan makanan dan Semawis-nya. Silakan berkunjung di waktu sore, makanan disana (menurut temen) rasanya mantab. Saya sendiri blum pernah cobain karena faktor kehalalan saya sendiri kurang yakin.
Pecinan di Singapura di tengah kota dan gampang banget kalau mau kesana, silakan cari Bus / MRT yang ke arah Outram atau Pearl Centre, terus jalan aja (kalau nyasar tanya ma orang2 sana :p). Memang kalau di Singapura lebih terasa akulturasinya, ada Masjid Chulia dan Kuil Buddha + Hindu India disana.
Untuk yang Malaysia saya belum pernah kesana, pengen nie..
Kalau entar saya ke Bandung, ajakin kesono ya mami 😀
#10 Siyap!
loh motor dah dijuwal?
padahal urg momotoran nguliring bandung jigana seru
#12 sebenernya ga dijual tapi tukar guling sama bikin kanopi depan rumah
pecinan di bandung banyak yg bening bening gag?
hihihi
#14 Ada! Banyak! Eh emang di Kuwait ga ada Pecinan ya?
pecinan di medan lumayan tuh…
orang2nya masih bisa bahasanya trus ada kesawan square yang kalo malem ditutup buat kendaraan jadi buat jual makanan.
medan emang lebih multiculture, mengingatkan gue pada singapur & malaysia.
#15 gag ada. disini kebanyakan orang pilipin.. bukan orang cina…
mi, nanti kalo aku ke bandung ajax-ajax yax… 😛
Wah, wah. Saya baru tahu kalau di Bandung ada pecinan. Selama ini saya hanya pernah mengunjungi pecinan di Singkawang (saya sih dulu tinggal di sana), Surabaya, Semarang, dan Kuala Lumpur.
#18 wah, menurut cerita pecinan di Singkawang itu menarik banget!
Di pecinan Bandung, orang cinanya ngomong sundanya kasar banget ya? HEES, SIA, dll. Diajar ti sahanya manehna?
Beda sama cina jawa yg halus banget bicaranya.
what?
mio yang pernah gue bawa itu (cuma masukin ke garasi doang sih) udah gak ada ??
#21 Anu, ntar ganti CBR deh
Jago lah ngupas per-pecinan mah, dah emma mah siga **** , buktinya kalo ke ABC sama kamu pasti harganya lebih murah he he he… , coba ke daerah kota di jakarta bawa kamera (gak bakal nyesel!!) n duit (buat blanja di pasar pagi yang mmmmmurah-mmmurah)… Hmmm je l’aime !!
Wah… Kalo di Aceh gak ada tuh pacinan. Gimana kalo Mira ngajak teman rame2 masuk Aceh..!
20 Odoy
Di pecinan Bandung, orang cinanya ngomong sundanya kasar banget ya? HEES, SIA, dll. Diajar ti sahanya manehna?
Beda sama cina jawa yg halus banget bicaranya.
-> Hehehe halus tapi medok ya mas 😀 hehehee kalo liat tampang bisa blink blink begitu ngomong ngedrop dah 😀
materi tulisan dan cara penyajiannya menarik.. kata pak Tino Sidin mah, “bagus”
#26 Makasih Om Zik
Hai salam kenal! Memang susah tahu banyak ttg Tan Djoen(Yun) Liong, I wish I knew better. Tapi yang saya tahu, dia juga pendiri kelenteng Vihara Satya Budhi & he used to live in it, too… 🙂 I guess he was adopted, too. Konon, jaman masih kecilnya, karena dia anak angkat, dia ga ikut belajar bareng saudara-saudaranya yang asli anak kandung bapak angkatnya, so he used to hide behind the door or panels to listen to all of the lessons. Anak-anak kandung bapaknya pemales & dia karena jiwa survivalnya tinggi, sehingga yang hidupnya jauh lebih berkembang adalah dia. Jalan Baranang Siang, dulunya pake nama dia, dan akhirnya diganti. Semoga sepercik info lumayan buat tambahan mengenai pecinan Bandung. 🙂 cheers!
#28 Wah terima kasih banyak atas tambahan infonya.
Hi Mira….
interesting writing
saya sedang research tentang Chinese settlement di Bandung di NUS (Singapore)
saya lihat komentar Alexandra di atas banyak info baru yang menarik tentang kapitan Tan Djoeng Liong
apa Mira punya email Alexandra??
Thanks sebelumnya
menarik…
kebetulan saya sedang bingung buat TA, tentang pusat budaya tionghoa di Bandung.
Kelihatannya sulit banget, soalnya banyak yang bilang lebih cocok jenis bangunan ini di semarang atau kota lain yang komunitas tionghoanya banyak.
padahal di bandung banyak kontributor budaya (tioanghoa atau bahkan sunda) yang adalah turunan tionghoa.
gimana yah..
mggu kmrn gw sm tmn2 gw muter2 bdg bwt bkn film dokumenter tionghoa sunda…
sussah jg boo!cz waktu gw sempit & krg info niy…
yg punya banyak info gw mw dnk…
haiii Mira….
sudah pernah ke pecinan makassar nga? disana tu makanan dan bangunan tuax masih asli dan sekarang dia di jadikan wiata kota tua makassar.
potensi2 yang ada di pecinan, sangat memunkinkan untk dikembangkan seperti semarang, dan jakarta.
bisa minta masukan dong soal ide-ide pengembangannya, soalnya lagi nulis soal pengembangan wisata pecinanmakassar.
teman-teman yang mau bantu, mohon saran dan kritiknya di pecinanmakassar.blogspot.com
trims___
aku juga bikin informasi seputar pecinan di blog,tapi masih sementara kumpulin data…(masih jelek).
bisa nanya ngak soal bagaimana model pengembangan pecinan singapura, semarang, ataupecinan yang ada di daerah lain yang pernah mira kunjungi.
juga wisata andalan pecinannya apa?
thanks___