Ngaret kok disebut sebagai hasil budi daya. Ngaret alias tidak tepat waktu rupanya sudah menjadi kebiasaan. Yang pada akhirnya (celakanya) jangan-jangan diterima sebagai budaya. Dan lebih sedihnya kadang-kadang suka mendengar ucapan seperti ini ” Ya namanya juga di Indonesia”. Tidak cuma soal korupsi, percaya pada dukun lepus (dari soal nyantet Bush sampai kapal jatuh), rupanya ngaret juga lama-lama jadi kebiasaan yang dianggap wajar dan diterima disini. Ya itu tadi bahkan sampai ada istilah budaya ngaret. Lho bukannya budaya itu untuk hal-hal yang baik bagi kehidupan ya? ini kok untuk hal-hal negatif sih?.
Hari ini saya melakukan suatu transaksi dengan notaris, penjual, dan pihak bank. Kemarin, kami sudah sepakat untuk hadir di tempat yang telah ditentukan jam 10 pagi waktu Indonesia Bagian Barat tepatnya Waktu Bagian Bandung. Sejak pagi saya sudah memikirkan untuk mandi kira-kira sekian menit, menyiapkan dan mengecek ulang dokumen sekian menit, dan pergi dari rumah kurang 45 menit dari waktu yang telah ditentukan untuk antisipasi kemacetan lalu lintas. Pada jam 9.45 saya sudah sampai, dan sesuai rencana saya menyiapkan uang pembayaran untuk pajak dan sebagainya. Untuk kemudian saya menemukan bahwa pihak-pihak lain belum tampak batang hidung maupun batang tubuhnya. Jam 10 lebih saya jadi menelepon orang-orang tersebut hanya untuk mendapatkan informasi bahwa mereka baru meninggalkan rumah dan kantor mereka. Akhirnya satu jam saya menunggu, terbengong-bengong di ruangan yang dingin. Cangkeul halis, kalau menurut istilah Oki sih. Kemudian saya pindah duduk ke ruang depan untuk menghindari bosan. Saya duduk di depan para customer service dan kasir bank yang sebetulnya cantik-cantik, hanya sayangnya saja saya perempuan. Dan perempuan cantik yang saya anggap layak untuk dipelototi hanya Angelina Jolie. Total hampir 1,5 jam saya menunggu. Demikian.
Kalau di kantor, antisipasi kebiasaan ngaret ini biasanya dilakukan dengan memberitahu bahwa batas waktu terakhir untuk kumpul adalah 1 jam sebelum keberangkatan (dalam hal ceritanya kita mau pergi ke suatu tempat dengan rombongan). Satu jam untuk toleransi waktu ngaret sebetulnya mewah banget. Walaupun begitu ada saja satu dua orang yang melanggar komitmen ini. Bila dipikir-pikir, lain rasanya wasting time yang tidak jelas seperti ini, misalnya menunggu karena menjadi korban kebiasaan ngaret orang lain, dengan bersantai-santai di kafe. Yang terakhir sih jelas urusannya untuk refreshing.
Tetap saja rupanya saya -yang entah kenapa seringkali jadi korban kejahilan- dalam hal urusan dimana saya nyaris tidak pernah telat untuk urusan kumpul berkumpul di kantor, menjadi korban kembali sewaktu pergi ke Singapore rame-rame beberapa bulan lalu. Saya ingat benar padahal bahwa kita harus kumpul di kantor maksimal jam 3 pagi. Sehingga jam 2 kurang saya sudah bersiap-siap dengan tidak terburu-buru, bahkan bikin kopi dulu. Namun si Pak Kumis sang Ketua Rombongan rupanya berencana lain. Dia menelepon saya dan berkata semua orang sudah kumpul dan tinggal saya yang belum datang. What???!!! kopi pun menyembur, dan saya pergi lintang pukang ke kantor. Sebetulnya dalam pikiran sih saya yakin saya tidak salah jam. Tapi entahlah, dasar si Pak Kumis memang bila bicara suka terdengar meyakinkan. Sampai di kantor, ternyata memang bohong besar. Cuma ada Pak Kumis yang cengar-cengir beserta Satpam.
“Why me?? Why me?? kenapa engga ngerjain Pak Gio aja yang jelas-jelas tukang telat?????”
tanya saya histeris, apalagi teringat kopi panas yang tidak sempat saya minum tadi.
“Soalnya cuma kamu yang suka takut telat, yang lain mana percaya kalo ditelepon. Lagian saya engga ada temen nih untuk nunggu yang lain..” jawab Pak Kumis santai.
pertamax!
Kebiasaan jelek yang dianggap umum semakin diperkuat sehingga menjadi budaya, menjadi generalisasi yang menyakitkan bagi yang tidak suka jam karet.
Orang Indonesia itu cenderung lebih patuh pada aturan formal yang mempunyai pelaksanaan penalti yang jelas. Ketika penalti bisa dihilangkan atau dianggap hilang, atau dilicinkan jika berbenturan dengan hilangnya waktu, maka muncul prinsip baru misalnya tidak mau antri, menolak tilang ke pengadilan, menyogok dan sebagainya.
Orang yang suka ngaret cenderung membanggakan ceritanya kenapa sampai ngaret. Secara tak langsung meminta toleransi yang sebenarnya sudah di luar toleransi yang layak.
iya mi, sayah juga takut telat.
lebih baik nunggu daripada di tunggu.
lebih2 urusan formal kayak gini.
entahlah, lebih banyak peminat wib (waktu iraha bae) :p
setuju ama jay..
eniwei, kebiasaan telat itu kadang dibawa2 ampe ke negeri orang… :S
Budaya ngored?
budaya nu tos galib di endonesia…
sesuatu yg jelas2 salah tapi karena udah jd kebiasaan maka-nya jd keliatan bener (baca: jd kebiasa-an yg terlihat bener) atau di-cari2 pembenar-annya…
kenapa ya, ngaret itu menular loh
gara2 gue kebiasaan janji sama orang yang jam karet, akhirnya gue ikut ngaret, daripada nungguin dia kelamaan.
andai kalo ngaret itu didenda sama seperti projek yang ngaret dan di denda.
ada lagunya, yg nyanyi vonda shepard
http://www.lyricsfreak.com/v/vonda+shepard/jam+karet_10171528.html
Kalau ngaret selalu ada alasannya, jalan macet (karena ada galian kabel-kabel), pejabat lewat, ada mobil yang mogok, harus anter anak ke sekolah (karena supir mbolos), kabel listrik putus (KRL jadi mogok), dll. Tapi kalau on time alasannya apa? 🙂
taw bener nih, saya juga benci sekali kalo ada orang yang ngaret,, tapi masalahnya saya juga suka ngaret,,, hahha
anyway, kita sebaiknya harus menerapkan budaya: “datang terlalu cepat 10 menit berarti masih terlambat 5 menit”
http://www.taman-kecil.tk
ada yang pernah bilang sama saya.
‘kalo janji dateng jam 2… jam 2.30 masih dianggap jam 2, jadi gak telat. asal jangan dateng jam 2.45… itu udah dibilang telat’
owh… gitu ya? baru tau si sayah…
Kalo mau blajar untuk ga ngaret, coba deh ke bandung dari jakarta naek travel semacam X-Trans atau Cipaganti gitu…. telat 15 detik aja ditinggal!!!!…. huh menyebalkan!!!!
*misuh-misuh jenggut-jenggut rambut*
sayah mah dah lima taunan mogok janjian & kerjasama sama temen2 yg suka ngaret sampai batas waktu yg tidak dapat ditentukan. I’m a Lone Ranger (again) now
[…] manusia Indonesia toleransi dianggap sebagai budaya, hingga ke hal-hal yang negatif toleransi yang berlebihan menjadi hal yang biasa, seperti jam karet. Penyalahgunaan atau penyalahartian toleransi inilah yang sering membuat manusia bersinggungan, […]
ha ha ha ha
jurus pak kumis juga sering saya terapkan. penerapan terakhir minggu kemarin. saya bilang ma anak2 buat kumpul jam 6 pagi. akhirnya berangkat pukul 7.15 juga (busyet dah) nunggu anggota lain yang ngaret. yang tepat waktu cuman 9 orang dari total 10 peserta. (bus*k banget pokoke kalo musuh orang yang suka ngaret)
aku sangat berkesan karna apa yang aku baca sangat menynangkan sekali, kalau boleh ceritanya lebih banyak dan lebih janjang ok
hai hai hai
aku sekarang butuh teman siapa yang mau menjadi teman ku soalnya aku lagi sendian, dan aku punya cerita yang culu sekali dan menarik, kamu mau dengar ga’ ini ceritanya.
seorang petani yang sedeang pergi ke kerbun untuk melihat hasil tanamannya, tp hasil tamannya di makan oleh sebuah hewan yang cerdik dan culu(kancil), suatu hari petani itu membuat jebakan kepada si kancil ahirnya sikancil di tangkap dan di kurung,lalu petani itu pergi ke pasar tiba2 ada hewan yang ganas(anjing), anjing builang kenapa kamu ada di dalam kata najing,kancil jawab aku mau di kawinkan sama anaknya petani, anjing ga’ percaya kata anjing kamu kan lebih tanpan aku, kancil berkta gimana kalau kamu yang menggantikan aku, iya udah aku yang menggantikan mu kata si anjing, lalu si kancil pergi berbirit-birit, kemudian petani itu datang dia terkejut melihat anjing petani bilang kenapa kamu ada di dalam anjing jawab katanya mau di jadikan pantu ama pak tani, petani bilang kata siapa.
kata sikancil, akmu udah di bohangi ama sikancil akhirnya anjing marah, sampai disini duluy
OK saya setuju banget dengan wacana anda…..
emang neh,, orang indo tuh suka ngaret,, reseh bener,,, itu tanda orang yg egois gak pduli ma sesama,,grr