The Sundanese Tragedy

Bandung kering dan garing. Bukan cerita baru. Bukan hal yang mengagetkan buat sebagian besar orang . Mungkin bahkan sedikit yang peduli. Saya pun mungkin masuk ke golongan yang tidak peduli. Karena sampai saat ini saya belum pernah menggedor rumah pak Walikota atau Gubernur Jawa Barat misalnya, untuk protes kenapa Bandung Utara terus-terusan digunduli.

Pagi tadi saya melirik surat kabar, yang jarang sekali saya baca, akibat selalu merasakan rasa mentega tengik di mulut setiap kali membaca berita-berita tragis yang menyedihkan yang seringkali menjadi hiasan di halaman muka. Malah akhir-akhir ini saya malah mencari koran lampu merah – yang walaupun isi dan bahasanya noraknya minta ampun – paling tidak bisa membuat saya tertawa.

Menjadi apatiskah saya? Berita soal air tanah Bandung susutpun tidak meninggalkan keegoisan dalam diri saya ternyata. Pertama kali hal konyol yang saya pikirkan, waahh saya tidak bisa mandi sering-sering, dan kalau air berkurang saya harus stok tisu basah banyak-banyak. Mungkin banyak orang lain juga begitu. Kenapa harus pusing selama punya duit? Toh air bisa beli di mobil yang keliling-keliling jualan dan berisiknya minta ampun itu. Peduli amat hutan Dago Pakar gundul. Toh selama menghasilkan duit banyak air bisa dibeli. Kenapa pula harus pusing banyak binatang hutan berlarian panik kelaparan dan kekeringan – dan akhirnya jadi mudah ditangkap oleh pedagang binatang liar depan BIP.

Kemarin saat senja saya bengong di atap gedung kantor saya. Menatap ke arah gunung-gunung dan perbukitan di Bandung Utara. Hampir setiap hari dalam setiap pagi dalam sepuluh tahun ini saya melihat matahari menyinari wilayah Bandung dari jendela kantor saya (akhir-akhir ini sih sudah tidak bisa, karena pemandangan kesana tertutup BE Mall, kalau mau melihat jelas sekarang harus naik dulu ke atap gedung). Menyadari dari hari ke hari hutan disana tidak hijau lagi. Mungkin pada suatu hari nanti akan sampai dimana hari saya memandang dengan kosong ke arah pegunungan yang bukan lagi benteng pertahanan atas banjir maupun perlindungan atas hewan, tapi hanya jadi simbol keserakahan manusia yang menguras tanah airnya.