The Sundanese Tragedy

Bandung mulai sering mendung setiap pagi. Hore hore!. Soalnya sudah lama kan tidak turun hujan. Sedih juga selama ini melihat pohon-pohon yang meranggas dan rumput-rumput yang kering menguning.

Mendung pagi hari ini jadi menimbulkan sedikit masalah. Berhubung saya tidak memiliki pengering rambut. Dulu pernah diberi sih sama Neng Eni, temen kantor (dia cantik, seksi, dan model rambut serta warnanya berganti tiap satu bulan sekali). Mungkin dia merasa nelangsa melihat rambut saya yang gak jelas bentuk rupanya. Tapi hair dryer pemberian dia dimanfaatkan adik saya untuk usaha sablon kaos kecil-kecilan. Jadi setiap pagi saya biasa moyan sambil mengeringkan rambut.

O ya pernah beli juga yang model jet air begitu, tapi sudah lama entah kemana. Lalu ada satu alat yang ceritanya bikin rambut kriwil. Tapi saya tidak mahir menggunakannya. Tangan saya sering kesundut dan rambut saya sering hangus. Saya tidak begitu suka mengurus rambut. Buat saya rambut yang penting tidak bau dan tidak berkutu. Pernah sih coba-coba dicat merah atau pirang gitu. Hasilnya? Godaan dan tertawaan tak henti-hentinya dari kerabat dan teman-teman di lingkungan kerja . Kebanyakan sih bilang mirip anak nakal tukang maen layangan di lapangan.

Saya sih bukan pelanggan setia salon. Karena tidak betah duduk lama-lama. Saya rada terheran-heran pada seorang teman saya yang hanya mencuci rambut di salon saja. Dua atau tiga kali seminggu. Wah biayanya saja cukup untuk berbotol-botol shampoo. Tapi terserah deh.

Pagi tadi saya menunggu sinar matahari yang tak kunjung menyemburat akibat terhalang awan mendung. Akhirnya saya pakai hihid. Hihid itu adalah kipas bambu untuk mengipasi sate, atau untuk geber-geber nasi yang panas sambil ngakeul.

Kipas-kipas rambut sambil nyanyi :
Geber-geber hihid aing
hihid aing kabuyutan
titinggal nini awaking

Lumayan lah hasilnya. Cukup kering tapi rambut jadi sedikit bau sate.

Hmm mungkin sudah waktunya beli pengering rambut.